Oleh: TG. DR. Miftah el-Banjary
SEORANG profesor ditanya oleh seorang mahasiswanya, “Apa yang menyebabkan Anda nampak sehat segar bugar dan berumur panjang?!”
Sang profesor menjawab, “Saya selalu meninggalkan perdebatan, meskipun saya benar!”
“Tapi itu tidak mungkin, Prof!” Sanggah si mahasiswa mendebat.
Sang profesor menjawab, “Anda benar!” Kata sang Profesor sambil berlalu.
========
Dulu ketika masih usia 20-30 tahunan, saya senang berdebat dan berbantahan komentar di media sosial, dan dengan begitu dulu saya merasa saya benar, saya pintar, dengan demikian saya berpikir, saya bisa melatih kemampuan berdebat saya.
Lebih hampir 10 tahun lebih, saya senang dalam beradu argumentasi dan hujjah, baik dalam bidang keilmuan maupun fenomena sosial dan politik. Saya merasa sudah “memperjuangkan” yang benar menurut penilaian subjektif.
Seiring dengan usia dan waktu yang kian dewasa, saya menyadari eufuria anak muda memang lah demikian, berapi-api, bergelora, berghairah, sampai lupa bahwa ada yang lebih penting dari ilmu adalah hikmah ilmu, ada yang lebih penting dari perdebatan adalah menghargai semua pendapat dan pandangan orang lain.
Saya mulai belajar etika dalam menilai sebuah kebenaran ketika mengamati sudut pandang para imam mazhab dalam berpendapat, seperti Imam Malik misalnya, beliau mengatakan:
“Boleh jadi, pendapat saya benar akan tetapi juga ada kekeliruan. Boleh jadi pandangan Anda keliru, tapi mengandung kebenaran.”
Tidak selamanya pandangan dan pendapat kita selalu benar selamanya, sebaliknya tidak semua pendapat dan pandangan orang lain salah selamanya. Selama masih bersifat asumtif atau wacana, masih terbuka ruang untuk berdiskusi.
Perlu sikap saling keterbukaan untuk saling menghargai dan menghormati untuk mencapai kebenaran, bukan saling mengklaim kebenaran mutlak. Kita tidak bisa memaksakan semua pendapat kita mutlak benar. Terlebih, bahasa tulisan bisa dengan mudah disalahtafsirkan.
Saya teringat ungkapan ungkapan Imam Syafie, “Tinggalkan perbedabatan, meskipun engkau benar!”
Jika kita hanya menghabiskan waktu berdebat, meskipun hanya melalui media sosial, berapa kerugian waktu yang hilang. Padahal esensi hidup ini adalah asas kemanfaatan, karena waktu hidup begitu sangat terbatas.
Imam Junaid al-Baghdadi berkata:
طاحت تلك العبارات وفنيت الإشارات وما نفعنا إلا ركيعات ركعناها في جوف الليل
“Telah hilang ungkapan-ungkapan itu, telah fana isyarat-isyarat itu, tiada ada yang bermanfaat, melainkan apa yang kami lakukan dua rakaat di penghujung malam.”
Apakah perdebatan di media sosial mendatangkan manfaat?
Ya, boleh jadi ada manfaatnya, tapi tidak terlalu besar manfaatnya dibandingkan kinerja nyata di dunia nyata.
Semenjak saya meninggalkan perdebatan di media sosial, saya ingin menjadi orang yang lebih bermanfaat di dunia nyata, ingin menjadi orang yang lebih banyak mendengar, ingin lebih menghargai banyak pendapat dan masukan, akhirnya Allah berikan jalan perjuangan yang lebih real dan nyata.
Sekarang alhamdulillah, jamaah kami lebih dari 2.000 orang di Indonesia, Malaysia dan Brunei hingga Jerman untuk memperoleh pencerahan ilmu tentang cinta Allah dan Rasulullah.
Alhamdulillah, kami sudah mampu membeli lahan hampir 1 hektar untuk majelis dan pondok pesantren dengan nilai aset hampir 1 Milyar dalam waktu kurang dari 1 tahun. Dan insya Allah, kami akan memberangkatkan jamaah umrah sendiri.
Hal yang lebih jelas dengan meninggalkan perdebatan dan sibuk berkomentar, hati dan pikiran lebih tenang, lebih bahagia, lebih bisa tawadhu dan lebih bisa mencintai banyak orang, dan tentu tidak merasa jauh lebih baik dari orang lain.
Inilah yang saya rasakan, ternyata ada hal yang lebih bermanfaat dari sekedar perdebatan di media sosial adalah pengabdian nyata di tengah umat.
Nah, jika ada orang yang masih senang mendebatmu atau senang berdebat dalam hal-hal yang tidak banyak membawa kemaslahatan nyata di tengah umat ini, cukupkan katakan, “Anda benar! Sedangkan saya masih harus terus belajar membenahi diri!”@
*) Pengasuh Majlis Dalail Khairat Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam & Pimpinan Ponpes Dirasat al-Qur’an wal Hadits Dalail Khairat Tabalong