Oleh: IM. Sumarsono
Empat ratus tahun sebelum masehi, para sophia –penganjur sophisme- menghukum Socrates untuk mati dengan cara meminum racun. Dalam pengadilan rakyat di Athena, para sophia menyatakan bahwa Socrates secara sah dan meyakinkan, telah merusak jiwa generasi muda, yaitu: mengajarkan para pemuda untuk melakukan pencarian kebenaran obyektif.
Socrates secara fisik digambarkan sebagai sosok yang kurang menarik dibandingkan rata-rata pria Yunani pada masa itu. Socrates tidak menawan, atau tepatnya berkebalikan dengan rata-rata ciri fisik pria Yunani.
Dia digambarkan sebagai pria pendek, sedikit gemuk, mulutnya lebar, hidungnya tidak mancung, dan matanya menjorok ke luar. Namun, semuanya tertutupi oleh ciri yang menonjol. Socrates memiliki kepribadian yang matang dan berbudi luhur.
Socrates meninggal tahun 399 SM. Bapaknya seorang pemahat patung, ibunya seorang bidan. Awalnya, cita-cita Socrates adalah mengikuti jejak sang bapak: membuat patung.
Socrates hidup di masa ketika Athena sedang gandrung-gandrungnya dengan sophisme. Para guru sofisme mengajarkan: “bahwa kebenaran yang sebenar-benarnya tidak akan pernah tercapai. Oleh karenanya, tiap-tiap pendirian hanya dapat dibenarkan oleh retorika. Setiap kebenaran, harus diujicobakan di khalayak orang banyak untuk mendapatkan persetujuan. Ketika yang bersetuju unggul secara jumlah terhadap pendirian itu, maka itulah kebenaran!”
Socrates dikenal cerdik, tidak pernah khilaf dalam menimbang baik dan buruk. Kehidupannya sederhana, tidak ambisius, periang dan tenang. Sesekali, tangkas dan lucu. Para pemuda Athena suka padanya. Terutama kebiasaan unik Socrates, yaitu selalu memberikan kesempatan bagi siapa saja untuk bertanya.
Ya. Sungguh-sungguh bertanya. Socrates suka berbicara dengan siapa saja, dengan pelukis, tukang, prajurit, ahli perang bahkan politisi. Pertanyaan-pertanyaan itu, mulanya mudah dan sederahana. Begitu juga jawabannya. Namun, yang kemudian menjadikan Socrates berbeda adalah: pertanyaan-pertanyaan itu akan disusul dengan pertanyaan-pertanyaan baru yang lebih mendalam. Begitu terjadi seterusnya: pertanyaan-pertanyaan mendapatkan jawaban, namun untuk kemudian melahirkan pertanyaan baru lagi. Begitulah berlangsung hingga mereka yang bertanya akan dihadapkan dengan apa yang disebut sebagai tanggunggjawab kebenaran. Bahwa pada akhirnya, setiap orang adalah tidak tahu apa-apa. Inilah yang kemudian terkenal dengan Ironi Socrates.
Hingga dua ribu empat ratus tahun, setelah kematian Socrates dilakukan dengan cara meminum racun, perilaku berpikirnya telah berhasil mengunci perilaku berpikir para sofisme. Setiap muncul benih-benih “kehidupan berpikir” sofisme, di situlah perilaku berpikir Socrates menghalaunya.
Socrates menjadi salah satu manusia yang dinilai penting untuk membuka “satu diantara sekian pintu” dalam mencari kebenaran. Ajaran Socrates sampai saat ini tidak pernah dituliskan. Dia menjadi penganjur dan salah satu peletak pondasi awal pemikiran filosofis dengan perbuatann, yakni dengan cara hidup. Bagai Socrates, filosofi bukan hasil, bukan pula ajaran yang berdasarkan dogma. Filosofi adalah fungsi yang hidup.
Dengan kematiannya, Socrates telah mampu mengunci dialog dengan kaum sofis. Socrates telah menjadikan kita pada suatu ruang berpikir yang disebut dengan berdialog. Berdialog dengan diri sendiri. Berdialog dengan apa yang dilahirkan dari pandangan orang lain, berdialog dengan apa dilihat dan ditemukan dalam fenomena kehidupan.
Bagi Socrates, jiwa manusia adalah karena inti sari manusia, hakekat manusia sebagai pribadi yang bertanggungjawab. Oleh karena itulah manusia wajib mengutamakan kebahagiaan jiwanya (eaudaimonia, memiliki jiwa yang baik), lebih dari kebahagiaan lahiriah seperti kesehatan dan kekayaan. Hidup saja tidak cukup. Tetapi, hidup yang baik adalah bagi jiwa. Jika tujuan hidup baginya adalah bagaimana orang dapat mencapai kebahagiaan.
Socrates membuktikan bahwa kebenaran objektif dengan metode yang bersifat praktis dan dijalani melalui percakapan-percakapan. Dialog adalah metode dimana peranannya dalam menggali kebenaran yang objektif akan ditemukan. Bagi Socrates, kebenaran universal dapat ditemukan dengan cara ini. Kehidupan adalah satu dan tak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Oleh karena itu, dasar dari segala penelitian dan pembahasan adalah pengujian diri sendiri. Bagi Socrates, pengetahuan yang sangat berharga adalah pengetahuan tentang diri sendiri.
Socrates mencetuskan bahwa pemikiran memerlukan eudaimonia (keluhuran budi). Ini adalah keutamaan dalam pengetahuan. Philosophi adalah kata yang berasal dari philos (teman) dan sophia (wisdom). Karenanya, kebajikan adalah hal yang paling berharga diantara semua yang dimilik seseorang, bahwa kebenaran terletak di luar ”bayang-bayang” pengalaman kita sehari-hari, dan bahwa kebenaran adalah tugas yang tepat bagi filsuf untuk menunjukkan betapa sedikitnya hal yang benar-benar kita ketahui.
Terinspirasi dari ibunya yang bidan, Socrates juga telah menyumbangkan teknik kebidanan (maieutika tekhne) dalam berfilsafat. Melalui dialog, Socrates mengajak kita untuk “melahirkan” pengetahuan akan kebenaran yang dikandung dalam batin orang. Ini adalah peletakkan dasar bagi pendekatan deduktif.
Pemikiran Socrates telah dibukukan oleh Plato, muridnya. Hidup pada masa yang sama dengan mereka yang menamakan diri sebagai sophis -yang bijaksana dan berapengetahuan. Socrates lebih berminat pada masalah manusia dan tempatnya dalam masyarakat, dan bukan pada kekuatan-kekuatan yang ada di balik alam raya ini seperti para dewa-dewi dalam mitologi Yunani itu.
Seperti diungkapkan oleh Cicero kemudian:
Socrates menurunkan filsafat dari langit, mengantarkannya ke kota-kota, memperkenalkannya ke rumah-rumah. Karena itu dia didakwa memperkenalkan dewa-dewi baru, dan merusak kaum muda dan dibawa ke pengadilan kota Athena. Dengan mayoritas tipis, juri 500 orang menyatakan ia bersalah. Ia sesungguhnya dapat menyelamatkan nyawanya dengan meninggalkan kota Athena, namun setia pada hati nuraninya ia memilih meminum racun cemara di hadapan banyak orang untuk mengakhiri hidupnya. (*)
Referensi: https://www.history.com/topics/ancient-history/socrates