Oleh: Agung Purwantara
RATU tanah Jawi mung siji nanging podho nyawiji. Agaman agodhong pring nom, atetenger lintang belik, anyekel gaman uleg-uleg wesi lambung, pandereke anyangklong once londo isine lombok kuning. Bumbung wulung tan rosan gineret kreto tan turonggo.
Nanging kombak mosiking dene suworo gemrenggeng pindho tawon gung, sing nganglang Gatutkoco, kembar sewu. Suksmane iwak lo den munggah daratan. Kawulo podho suko-suko margo adiling Pengeran wus teko.
Ratune nyembah kawulo, pandereke yo podho ngujo, iku momongane Pengeran ing Perang. Sing wis adus wirang nanging kondang, sing agaman Tri sulo Wondho, genah kiblate gamblang tur njingglang, ora ono wong nggersulo, gemah ripah loh jinawi, kolo bendu wis mungkur ganti wuku…..
Bait di atas secuplik dari Jangka Jayabaya, Penulisnya mewakili kerinduan manusia di Jawa. Peperangan dan permusuhan silih berganti untuk memuaskan nafsu angkara pada tahta, harta dan wanita. Sebuah keadaan seperti bendu atau hukuman dari Sang Hyang Maha.
Sejarah panjang manusia memang dipenuhi oleh kesengsaraan. Bahkan ketika seorang atau sekelompok orang membuat kerajaan, kekuasaan mereka digunakan untuk memperkaya diri sendiri, memuaskan nafsu birahi. Cendikiawan dibungkam agar tidak bersuara benar.
Hasil bumi melimpah tetapi rakyatnya sengsara karena tidak bisa menikmati. Pajak semakin berat membebani. Semua hanya untuk penguasa dan pejabat busuk.
Yang pandai berbohong, mencuri, menjilat semakin terpuji. Yang benar tidak diberi hati. Semua orang sudah seperti orang gila. Jika tidak gila maka tidak memperoleh apa-apa.
Kerinduan ini adalah orang-orang yang tetap waras. Yang merindukan suatu keadaan yang adil. Gemah ripah loh jinawi. Dengan pemimpin yang benar-benar menghormat kepada rakyat. Memberikan kedaulatan bagi rakyat.@
*) Penulis adalah pemerhati budaya
Discussion about this post