Oleh: Sugiyanto (SGY)-Emik
PADA Minggu, 20 April 2025, saya menulis artikel berjudul “Presiden Prabowo Sebaiknya Instruksikan Menteri BUMN Erick Thohir untuk Ganti Total Direksi dan Komisaris Pelindo.” Sehari sebelumnya, pada Sabtu, 19 April, saya juga telah menerbitkan tulisan berjudul “Tanjung Priok Lumpuh Total dan Serentetan Masalah Jakarta: Gubernur Pramono Tunjukkan Sikap Tenang dan Komitmen terhadap Tanggung Jawab Moral.”
Kedua artikel tersebut saya tulis sebagai respons atas kemacetan parah yang terjadi di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara, pada Kamis, 17 April 2025. Kemacetan tersebut begitu serius hingga dampaknya meluas ke berbagai wilayah Jakarta, melumpuhkan aktivitas dan menimbulkan kerugian besar. Dalam situasi itu, Gubernur DKI Jakarta, Pramono Anung, menunjukkan sikap negarawan dengan menyampaikan permintaan maaf kepada masyarakat yang terdampak langsung oleh krisis tersebut.
Perlu saya tegaskan bahwa sejatinya peristiwa kemacetan horor tersebut bukan disebabkan oleh kesalahan Gubernur Pramono Anung. Namun demikian, beliau tetap bersedia memikul tanggung jawab moral. Sikap ini menunjukkan bahwa Pramono memiliki jiwa kepemimpinan yang tangguh dan layak mendapat apresiasi. Momentum ini sangat penting untuk direspons dari sisi positif, sehingga saya merasa perlu melanjutkan pembahasan melalui tulisan ini, sesuai dengan judul yang telah saya tetapkan di atas.
Tulisan ini bukan sekadar kelanjutan dari kritik sebelumnya, tetapi juga merupakan dorongan untuk menghadirkan solusi struktural yang lebih konkret dan berkelanjutan. Saya memilih menulis artikel ini pada tanggal 21 April 2025 sebagai bentuk penghormatan terhadap Hari Kartini—sebuah simbol perjuangan akan kesetaraan dan keadilan. Jika dulu R.A. Kartini memperjuangkan hak-hak perempuan, maka hari ini saya berharap semangat itu menjadi inspirasi untuk menghadirkan keadilan dan kesetaraan antara Pelindo dan Pemprov DKI Jakarta dalam pengelolaan Pelabuhan Tanjung Priok.
Persoalan kemacetan parah di kawasan Tanjung Priok tidak hanya mencerminkan kelumpuhan infrastruktur, tetapi juga memperlihatkan masalah struktural yang lebih mendalam. Ketiadaan peran signifikan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam pengelolaan dan pengawasan terhadap salah satu simpul ekonomi paling strategis di Indonesia menjadi sorotan penting dalam tulisan ini.
Pelabuhan Tanjung Priok adalah urat nadi logistik nasional. Namun ironisnya, pemerintah daerah yang menjadi tuan rumah tidak memiliki kewenangan memadai dalam pengambilan keputusan maupun dalam pembagian manfaat ekonomi. Jakarta menanggung dampak, tetapi tidak mendapatkan bagian yang adil.
Gubernur Pramono Anung telah menunjukkan tanggung jawab moral dalam merespons situasi ini. Tapi lebih dari sekadar respons moral, kondisi ini seharusnya menjadi momentum untuk meninjau ulang posisi strategis Pemprov DKI dalam aktivitas pelabuhan—khususnya dalam hal kepemilikan saham, otoritas kebijakan, dan kontribusi terhadap pendapatan asli daerah (PAD).
Kemacetan akibat lonjakan truk kontainer dari Pelindo adalah alarm keras. Selama ini, Pemprov DKI tidak memiliki kendali atau kewenangan atas operasional Pelindo di Tanjung Priok. Ketika terjadi lonjakan aktivitas—baik karena penundaan jadwal kapal, penumpukan kontainer, maupun efek libur panjang—pemerintah daerah tidak memiliki instrumen antisipatif atau pengendalian yang efektif. Namun, beban sosial, ekonomi, dan politik akibatnya tetap harus ditanggung Pemprov dan warga Jakarta. Sementara itu, Pelindo sebagai BUMN nasional beroperasi sepenuhnya di luar jangkauan kontrol daerah.
Kondisi ini jelas tidak adil dan tidak dapat terus dibiarkan. Sudah saatnya Pemprov DKI Jakarta mengambil langkah strategis dan progresif dengan menuntut keterlibatan sebagai pemegang saham di Pelindo. Ini bukan semata-mata soal dividen, melainkan partisipasi aktif dalam pengambilan keputusan strategis yang menyangkut kepentingan publik Jakarta. Kepemilikan saham akan membuka akses ke forum-forum penting dalam penyusunan kebijakan operasional, pengaturan arus barang, serta mitigasi dampak lingkungan dan sosial. Pemprov DKI bisa masuk sebagai pemegang saham melalui skema penyertaan modal daerah.
Keterlibatan ini akan menaikkan posisi Pemprov DKI dari sekadar pelaksana kebijakan pusat menjadi mitra strategis dalam pengelolaan pelabuhan. Hal ini juga memperkuat legitimasi politik Gubernur dalam menjaga kepentingan warganya, sekaligus memberi daya tawar lebih besar terhadap pusat dalam menjaga keseimbangan antara kepentingan ekonomi nasional dan kualitas hidup masyarakat ibu kota.
Terkait kepemilikan saham, perlu dicatat bahwa Pemprov DKI Jakarta saat ini memiliki 26,8516% saham di Kawasan Berikat Nasional (KBN), sementara PT Danareksa (Persero) memegang 73,1481%, dan Pemerintah Republik Indonesia sebesar 0,0003%. Karena PT Danareksa adalah BUMN yang seluruh sahamnya dimiliki pemerintah pusat, seharusnya tidak ada kendala bagi Pemprov DKI untuk juga memiliki saham di Pelindo.
Namun jika opsi tersebut tetap menemui jalan buntu akibat struktur BUMN yang tertutup, maka langkah alternatif yang dapat diambil adalah membentuk entitas baru: Port of Betawi. Pelabuhan ini bisa dikelola langsung oleh Pemprov DKI melalui BUMD atau skema kemitraan strategis lainnya. Port of Betawi bisa menjadi pelengkap sekaligus penyeimbang dari dominasi Pelabuhan Tanjung Priok. Dengan demikian, Jakarta tidak hanya menanggung dampak logistik nasional, tetapi juga memperoleh manfaat ekonominya secara adil.
Saya mengusulkan nama Port of Betawi karena Jakarta adalah tanah Betawi, dan penamaan ini sekaligus menjadi bentuk penghormatan terhadap masyarakat Betawi sebagai penduduk asli ibu kota. Perlu diketahui, gagasan pelabuhan milik daerah sejatinya bukan hal baru. Pada masa Gubernur Fauzi Bowo (Foke), pernah diusulkan pembangunan Pelabuhan Marunda. Di era Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), sempat pula digagas pendirian Port of Jakarta. Namun semua rencana tersebut belum sempat terwujud karena berbagai hambatan struktural dan birokrasi.
Krisis kemacetan ini seharusnya menjadi momentum kajian ulang tentang perlunya pelabuhan milik Pemprov DKI. Kini saatnya Gubernur Pramono Anung mewujudkan gagasan visioner para pendahulunya, Foke dan Ahok, dengan menggagas pembentukan Port of Betawi. Soal lokasi, aspek teknis, dan operasional dapat dibahas lebih lanjut bersama para ahli kepelabuhanan yang kompeten.
Isu ini bukan hanya soal keuntungan finansial. Ini adalah soal keadilan struktural, kontrol kebijakan, dan kedaulatan daerah atas ruang hidup dan masa depan ekonominya. Selama Jakarta terus berada dalam posisi pasif—menanggung akibat tanpa kuasa atas sebab—maka krisis serupa tinggal menunggu waktu untuk kembali terjadi. Pemprov akan terus menjadi pemadam kebakaran dari sistem yang tidak pernah mereka rancang.
Komitmen Gubernur Pramono Anung untuk hadir dan bertindak patut diapresiasi. Namun komitmen itu perlu dilanjutkan dengan kebijakan yang konkret dan visioner. Jakarta tidak boleh terus-menerus menjadi penonton atau penanggung risiko. Memang, inisiatif besar seperti ini perlu persetujuan pemerintah pusat. Namun, dengan pengalaman Pramono Anung sebagai politisi senior dan mantan Sekretaris Kabinet dua periode, kemampuan komunikasi dan manuvernya diyakini sangat teruji. Inilah saat yang tepat untuk mengubah peta relasi kekuasaan, agar Jakarta benar-benar menjadi tuan rumah di wilayahnya sendiri.@
*) Ketua Himpunan Masyarakat Nusantara (Hasrat)