Oleh: Mohammad S Gawi
PARA Kepala Daerah (Gubernur, Bupati/Walikota serta Wakilnya) saat ini sedang menjalani masa persiapan di Magelang setelah dilantik Presiden pekan lalu. Salah satu persiapan paling penting menurut saya adalah persiapan mental untuk bekerja dengan amanah dan tidak melanggar hukum. Potensi korupsi menjadi ihwal paling penting untuk diantisipasi karena itulah batu sandungan utama para kepala daerah dalam melaksanakan tugasnya.
ICW seperti dikutip TEMPO membeberkan data; jumlah Kepala Daerah yang tersangkut kasus korupsi dalam dua tahun terakhir sebanyak 61 orang (TEMPO, 7/8-2024), tidak termasuk 27 Kepala Daerah yang terjaring OTT KPK dalam 6 bulan terakhir. Dalam raport KPK, sejak tahun 2004 hingga 2024, jumlah Kepala Daerah yang terjerat korupsi sebanyak 167 orang.
Data ini harusnya menjadi warning kuat kepada para Kepala Daerah yang saat ini sedang menjalani masa ‘pengasingan’ di Magelang. Mereka sudah harus mengkalkulasi langkahnya dari sekarang, termasuk mendalami potensi korupsi yang berpeluang terjadi dalam lingkup kewenangannya.
Struktur pemerintahan daerah sesuai UU No. 23/2014 menempatkan Bupati/Walikota demikian sentral. Seiring dengan semangat otonomi daerah yang berbasis di daerah tingkat II, yang melimpahkan hampir semua urusan ke Bupati/Walikota, telah melahirkan raja-raja kecil yang berkuasa secara full power.
Sedangkan Gubernur yang adalah wakil pemerintah pusat di daerah hanya bisa mengkoordinasi dan monitor. Ada sejumlah kewenangan Gubernur yang bisa menjadi alat kendali terhadap Bupati/Walikota namun tak berjalan efektif karena Bupati/Walikota masih memililiki kewenangan istimewa yakni “Monopoli” dan “Diskresi”. Kewenangan ini memungkinkan Bupati/Walikota bisa melakukan sesuatu yang tak ada aturannya. Kedua senjata inilah yang membuatnya menjadi digjaya di daerahnya masing-masing.
Tentang monopoli misalnya, berdasarkan wawancara riset Litbang BPKP, ditemukan fakta bahwa Bupati/Walikota memiliki kekuasaan yang sangat besar dalam pengelolaan anggaran APBD, perekrutan pejabat daerah, pemberian ijin sumber daya alam, pengadaan barang dan jasa dan dan pembuatan peraturan kepala daerah. DPRD setempat umumnya dengan mudah ditundukkan tanpa perlawanan dengan beberapa peluru seperti jatah proyek, perjalanan dinas, dan fasilitas lainnya.
Demikian juga tentang penggunaan kewenangan diskresi. Harusnya, diskresi baru digunakan karena tidak semua hal tercakup dalam peraturan sehingga diperlukan kebijakan untuk memutuskan sesuatu. Dengan begitu apa yang ditarget itu bisa terpenuhi tanpa harus menunggu adanya aturan yang tersedia.
Namun, dalam prakteknya, untuk hal-hal yang tidak terlalu penting dan mendesak, kewenangan diskresi bisa dilakukan. Di lapangan ditemukan, banyak penggunaan kewenangan diskresi yang menggerus dana APBD.
Dalam pelaksanaannya kepala daerah sering dihadapkan pada kenyataan untuk membiayai suatu kegiatan yang tidak dianggarkan dalam APBD. Ditemukan adanya situasi dimana seorang kepala daerah mengeluarkan biaya yang tidak ada dalam APBD. Untuk menambalnya, kepala daerah mencari celah untuk menciptakan pengeluaran fiktif untuk menutupi biaya tersebut sehingga kepala daerah cenderung melakukan korupsi untuk kepentingan dinas maupun untuk kepentingan pribadi.
Terhadap fakta inilah, Busyro Muqoddas membuat rumusan korupsi daerah menjadi C=D+M-A. Ini adalah rumus sumber korupsi versi mantan ketua KPK ini. Apakah maksudnya?
Sumber korupsi itu ada di lembaga pemerintah, lembaga negara, lembaga apapun juga. Ketika demokrasinya itu memenuhi unsur C=D+M-A, maka lembaga itu cenderung koruptif.
Dalam rumus ini, C merupakan corruption atau korupsi, D adalah discretionary alias kewenangan penentuan kebijakan, M adalah monopoly dan A adalah accountability atau pertanggung jawaban.
Jika sebuah lembaga memiliki diskresi atau kekuasaan untuk mengambil keputusan, serta bersifat monopoli dan tanpa akuntabilitas, maka lembaga apapun juga akan cenderung korupsi.
Busyro lantas mengusulkan 3 hal yang bisa dilakukan terutama oleh Perguruan Tinggi sebagai lokomotif pembangunan. Pertama, perubahan paradigma pendidikan. Kedua, kegiatan teaching atau pendidikan menjadi pendidikan dan penelitian. Ketiga, membentuk tradisi kegiatan yang bersifat sosial dan kepemimpinan di perguruan tinggi.@
*) Pegiat Antikorupsi dan Pengamat Hukum