Oleh: Rosdiansyah
KEKUATAN persuasi Jepang sudah lama dikenal dunia. Semua produk Jepang usai Perang Dunia kedua yang membanjiri pasar Asia, Afrika, Amerika Latin dan Eropa, tak bisa dilepaskan dari kekuatan persuasi tersebut. Melalui berbagai media yang tersedia, seperti papan reklame, produsen Jepang merangkai kata atau kalimat yang mampu meyakinkan calon konsumen untuk menjadi konsumen fanatik. Selalu mencari barang produk Jepang karena berkeyakinan, bahwa hanya produk dari Jepang yang mempunyai kualitas serta tahan lama.
Wajar jika seni persuasi menjadi penting dalam dunia perdagangan. Oleh karena itu, seni persuasi lebih dari sekadar publisitas yang diproduksi secara massal. Seni ini membangun ideologi sosial dan politik yang memengaruhi kehidupan sehari-hari masyarakat. Bayangkan saat anda misalnya berjalan-jalan siang hari di distrik Ginza, Tokyo, distrik yang dipenuhi toko, suprmarket, kedai-kedai menarik. Walau sekadar jalan-jalan, anda bisa merasakan suasana gebyar. Kegiatan jalan-jalan ini lazim disebut Ginbura — aktivitas populer berjalan-jalan dan berbelanja di area komersial terkenal ini.
Atmosfir jalanan dipenuhi tanda iklan, banner dan spanduk. Menghiasi jalan-jalan, layaknya tempat pameran eksposisi. Kemudian siang berubah menjadi malam, dan banjir lampu listrik serta tanda neon mengubah pemandangan jalanan menjadi panggung teater yang lebih dramatis. Ginza di waktu malam, gemerlap jalanan, suasana kian ramai. Desain ruang kota Jepang modern yang dinamis menghasilkan transformasi lingkungan perkotaan ini. Itulah apa yang disebut banyak kritikus pada saat ini sebagai “artifikasi” jalanan. Jalanan yang berubah menjadi ruang seni dengan tampilan neon terang, lampu gemerlap, videotron, suara jingle, dan banner semarak.
Dalam buku ini, Gennifer Weisenfeld meneliti evolusi desain grafis periklanan Jepang dari awal tahun 1900-an hingga Olimpiade Tokyo 1964, sebuah peristiwa desain penting yang mengubah citra Jepang di panggung dunia. Melalui studi kasus yang diilustrasikan dengan kaya, Weisenfeld menceritakan kisah tentang bagaimana korporasi modern dan kapitalisme konsumen mengubah budaya visual dan produksi artistik Jepang selama periode pra dan pascaperang. Selain itu, Weisenfeld juga mengungkap bagaimana seni komersial membantu membentuk formasi ideologis pembangunan negara dan kekaisaran.
Pun buku ini menunjukkan, bagaimana di bawah rezim militeris Jepang kekaisaran, politik nasional secara efektif dikomoditisasi dan dipasarkan melalui mekanisme budaya massa yang sama yang digunakan untuk mempromosikan barang-barang konsumen. Dengan menggunakan analisis berlapis-lapis mengenai maksud retorika proyek desain dan konteks produksi, implementasi, dan konsumsinya, Weisenfeld menawarkan kerangka teoritik interdisipliner yang menjelaskan pentingnya desain periklanan Jepang dalam budaya visual global abad ke-20.
Citra merek dagang semakin penting untuk kesuksesan sebagian besar perusahaan besar Jepang. Penulis buku ini merujuk pada sejarawan bisnis Louisa Rubinfien untuk melihat perkembangan tersebut. Rubinfien menyatakan, bahwa jagat dagang barang-barang rumah tangga biasa di Jepang telah berkembang tidak hanya dari pasar komoditas ke pasar berorientasi merek, tetapi juga dari pedagang ke pasar yang didominasi produsen. Fokus produsen pada penjualan merek secara nasional ketimbang memasok barang secara lokal menyebabkan ketergantungan besar produsen pada estetika guna mempengaruhi keinginan publik konsumen, bahkan ketika publik itu sering tidak memiliki kemampuan keuangan untuk membeli barang-barang tersebut.
Disitulah seni persuasi memainkan peran penting. Untuk merayu konsumen, untuk mempengaruhi konsumen. Jalanan menjadi pasar penuh rayuan iklan komersial, yang ditampilkan semenarik dan sekreatif mungkin. Tujuannya jelas, ingin meningkatkan daya persuasi kepada konsumen agar terpikat lalu tergoda membeli barang yang ditawarkan.
Yang menarik, ada situasi yang harus dihadapi para desainer periklanan Jepang usai perang dunia kedua. Sebab, selama perang dunia kedua, propaganda serta agitasi melalui berbagai media juga melibatkan para desainer, tujuannya agar konten propaganda bisa diterima publik di luar Jepang. Saat ini, muncul masalah etika desain yang suram dalam pelayanan perdagangan dan negara. Terdapat upaya aktif untuk mengaburkan koneksi ini, seperti yang dilakukan oleh kritikus desain terkemuka seperti Ogawa Masataka. Ia menyatakan secara berani bahwa jagat desain grafis di Jepang baru muncul usai berakhirnya Perang Dunia Kedua.
Pada tahun 1951, dibentuk klub seni periklanan Jepang. Pembentukan klub ini untuk mewadahi berbagai kegiatan serta upaya untuk melahirkan sebuah seni grafis baru yang berorientasi pada suasana dunia yang baru. Namun, para anggota klub ternyata juga menampung mereka yang punya rekam jejak ikut dalam produksi propaganda Jepang selama perang dunia kedua. Mereka bukan generasi baru desainer periklanan.
Ala kulli hal, buku ini menyuguhkan paparan menarik metamorfosis jagat periklanan Jepang, dari era perang dunia kedua ke era pasca perang dunia. Selama perang dunia kedua, seni persuasi dalam propaganda tentu sangat dibutuhkan militer Jepang, namun usai perang, seni persuasi tetap diperlukan dalam medan periklanan. Medan baru yang juga menantang, yakni laga merebut pasar.@
*) Penulis adalah akademisi asal Surabaya