SIAGAINDONESIA.ID, (Surabaya) – Kisah inspiratif datang dari seorang dosen Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) Universitas Negeri Surabaya (Unesa) yang menceritakan perjuangannya merantau ke kota demi menggapai harapan, cita-cita, dan impian mendapatkan pendidikan tinggi. Dialah Dr. M. Bambang Edi Siswanto, M.Pd. Pria yang akrab disapa Bambang itu sejak usia belia memang sudah memiliki keinginan kuat untuk terus belajar.
Ketertarikan untuk terus belajar itu, tidak hanya dalam hal ilmu pengetahuan umum, tetapi juga ilmu agama. Maklum, ia tumbuh di lingkungan desa yang agamis di sebuah kabupaten berjuluk Bumi Wali, Tuban.
Selepas SMA, pada 2006, Bambang ‘nekad’ merantau ke Surabaya untuk menempuh program studi D-2 Pendidikan Guru Sekolah Dasar di Unesa dan berhasil lulus tahun 2010. Setelah lulus, ia langsung mendapatkan pekerjaan sebagai staf pengajar di SDIT At-Taqwa Babatan Mukti Surabaya selama 2 tahun.
Karena ada peraturan bahwa guru harus minimal lulusan S-1, Bambang pun berkuliah kembali sambil mengajar di SDIT At-Taqwa. Lulus S-1, ia pindah kerja di Dinas Pendidikan Kota Surabaya sebagai konsultan dan mengisi berbagai pelatihan, setelah menambah kuliah profesi konsultan selama 6 bulan.
Melihat bahwa tuntutan keahlian dunia kerja semakin ketat, pria 37 tahun itu kembali melanjutkan studi S-2 sembari bekerja sebagai konsultan. Berbagai tantangan selama S-2, termasuk masalah biaya, ia hadapi. Ia bahkan harus mengambil pekerjaan tambahan sebagai seorang MC agar bisa membayar kuliah.
Semua perjuangan itu pun berbuah manis. Lulus S-2, ia diterima sebagai dosen Program Studi S-1 PGSD, Universitas Hasyim Asy’ari (UNHASY) pada 2016. Dua tahun menjadi dosen di UNHASY, ia lantas melanjutkan studi S-3 di Unesa.
Bagi Bambang, pendidikan tidak akan ada habisnya. Mulai dari lahir hingga meninggal dunia tidak bisa terlepas dari pendidikan atau menuntut ilmu. Unesa bagi Bambang merupakan rumah tempat belajar dan kembali untuk mengabdi, berbakti, dan berbagi ilmu pengetahuan yang ia dalami.
Bambang bersyukur pernah berada di pondok pesantren yang banyak memberi pelajaran tentang konsep hidup sederhana. Selain itu, karena ia bukan dari keluarga berada, ia sudah terbiasa dengan hidup yang penuh perjuangan dan tidak mudah mengeluh.
“Alhamdulillah, ada orang tua yang selalu mendukung. Tidak ada yang mudah selama studi D-2 hingga S-3, berbagai pekerjaan saya tekuni mulai dari penjaga perpustakaan, pelatih pramuka, konsultan, guru ngaji, hingga MC,” terangnya.
Perjuangan Bambang tidak sia-sia. Sejak 2023 lalu, ia pun diterima sebagai dosen di almamaternya, Unesa. Bambang ingat, momen yang tak pernah bisa dilupakan, yakni ketika pertama kali mengutarakan niat kuliah, orang tuanya hanya bisa membiayai 250 ribu. Bahkan, orang tuanya membuat kesepakatan jika tidak bisa membayar UKT maka harus berhenti berkuliah.
Hal tersebut yang memotivasi Bambang terus berusaha, melakukan berbagai pekerjaan demi menggapai impian. Ia masih ingat dulu harus berjuang ketika mau berangkat kuliah dari Tuban naik bis ke Surabaya. “Itu saya pakai seragam sekolah SMA agar bisa mendapatkan potongan harga separuh ongkos bis. Saya hanya bayar 2.500, saya ngomong ke kondekturnya kalau anak sekolah. Setelah sampai Terminal Bungurasih saya ganti baju” kenangnya.
Bambang yakin, yang menjadikannya seperti sekarang adalah doa. Doa kedua orang tua, doa kepada sesepuh kakek neneknya, doa dari guru-gurunya, doa dari para kyai selama di pondok, dan doa semua orang di sekitarnya.
“Ketika kita menyambung silaturahmi, mendoakan orang tua kita yang telah meninggal, itu akan menjadi amal jariyah, doa baik yang kita lantunkan akan kembali kepada kita sendiri. Keikhlasan ayah saya sebagai anak pertama yang tidak lanjut sekolah demi membiayai adik-adiknya bisa sekolah, juga menjadi keberkahan yang saya rasakan sekarang,” terangnya.
Ke depan, Bambang berharap agar masyarakat pesantren yakni santri, harus bisa mewarnai dunia akademis di bangku perkuliahan. Dia yakin bahwa mengubah nasib itu wajib bagi seorang anak desa, karena menurutnya, tidak akan mampu mengubah peradaban dunia jika seseorang tidak merantau. Dengan merantau seseorang paham bagaimana keadaan di luar daerahnya, kehidupan yang kompetitif, perjuangan, dan dinamika kota. Dia juga menyadari bahwa sebagai dosen, dirinya memiliki tanggung jawab untuk punya andil bermanfaat bagi masyarakat desanya.
“Tantangan saya sebagai dosen, harus mengadakan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM) di desa saya. Ini bisa dilakukan salah satunya ketika saya masuk di komunitas mahasiswa dari Tuban. Ibarat kacang tidak lupa kulitnya. Memberikan kebermanfaatan bagi desa, untuk menginspirasi anak-anak desa. Apapun kegiatannya kebermanfaatan harus dirasakan orang banyak,” pungkassnya. @zar/sir