SIAGAINDONESIA.ID – Dua sastrawan top tanah air hadir dalam kuliah umum di Unesa pada Rabu (22/11). Mereka adalah Arafat Nur, sastrawan asal Aceh dan Sutejo, sastrawan asal Ponorogo.
Kedua sastrawan tersebut sudah menghasilkan berbagai karya sastra dan mendapat berbagai penghargaan. Arafat Nur, misalnya, beliau adalah penerima Kusala Sastra Khatulistiwa (Khatulistiwa Literary Award) 2011 dan Pemenang Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta 2010 & 2016.
Sementara Sutejo, merupakan Pemenang Sayembara Penulisan Buku Bacaan Fiksi tingkat Jawa Timur (2000), Tokoh Inspirasi Tahun 2021 Jawa Timur dari beritajatim.com, dan Penghargaan Seni dari Gubernur Provinsi Jawa Timur bidang Sastra tahun 2022.
Dalam kesempatan itu, Arafat Nur membagikan kisah proses menulis kreatifnya yang penuh liku ketika menjadi korban konflik di Aceh. Dirinya bahkan pernah ditangkap dan hendak dibunuh oleh kelompok yang tidak menyukai karyanya ketika terbit di salah satu penerbit ternama.
Prinsip Arafat Nur dalam menulis, tidak dilandasi agar terkenal. Pun, dia tidak tahu punya bakat menulis atau tidak, tetapi dia percaya bahwa semua orang yang lahir punya kemampuan menulis.
“Hanya mereka mau mengasahnya atau tidak. Jika tidak pernah membaca atau menulis maka keahliannya tidak akan berkembang,”ujarnya.
“Yang terpenting menjadi seorang penulis adalah menjadi pembaca. Makanya kenapa di Indonesia banyak orang kesulitan menulis karena mereka tidak membaca, jadi membaca, membaca, membaca sampai bosan baru menulis. Hanya segelintir di Indonesia yang membaca 50 buku,” tambahnya.
Dia menambahkan, hal paling utama yang harus diperbaiki oleh penulis maupun pendidik adalah literasi itu sendiri. Karena baginya jika tidak ada yang membaca maka tidak akan mampu menulis dengan baik.
“Menulis jitu itu sederhana tetapi menerapkannya itu sangat sulit. Mereka yang memiliki daya banting itulah yang bertahan. Saya yakin sastrawan hebat adalah mereka yang mau banyak membaca, mulai menulis, dan terus mengasah kemampuannya” tandasnya.

Sementara, Sutejo, yang menyampaikan materi dengan tajuk “Kreativitas Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia” menjelaskan beberapa langkah menjadi penulis kreatif. Antara lain memiliki imajinasi yang liar, berani bereksperimen, banyak membaca, dan memperluas relasi dengan penulis. “Kunci dari menulis kreatif adalah N3 (Niteni, Nerokne, Nambahi),” jelas sastrawan yang juga dosen di STIKIP PGRI Ponorogo.
Selain membawakan topik menulis kreatif, dia juga menjelaskan problematika yang dihadapi pendidikan bahasa dan sastra saat ini. Dia mengatalan, yang membuat ruwet pembelajaran adalah kebijakan yang menyatakan bahwa sastra harus menginduk pada pembelajaran bahasa Indonesia, sistem birokrasi yang bobrok, dan pendidik yang kurang berkompeten di bidang sastra.
Sutejo menjelaskan cara mempertajam rasa dalam membuat puisi, antara lain berlatih vokal secara berulang, menggunakan kata-kata konotatif, sering bermain pasang kata, serta memperbanyak literasi kesastraan.
“Syarat menulis kreatif itu yang pertama imajinasi, kedua bebas dan tidak terikat, ketiga banyak membaca, keempat meningkatkan rasa, dan kelima mulai menulis,” tambahnya.

Sementara itu, kritikus Sastra UNESA, Prof Anas Ahmadi mengapresiasi kegiatan ini karena bisa menjadi bentuk pemenuhan kebutuhan rohani keilmuan penulisan yang sangat dibutuhkan para mahasiswa bahasa dan sastra. “Ini sarapan rohani yang penuh vitamin,” ungkap Prof Anas.
Untuk diketahui, kegiatan kuliah umum dengan tema Menulis Kreatif dalam Pembelajaran Bahasa dan Sastra diselenggarakan oleh Prodi S-1 Sastra Indonesia, S-1 Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, S-2 Pendidikan Bahasa Indonesia, S-2 Pendidikan Bahasa dan Sastra, dan S-3 Pendidikan Bahasa dan Sastra Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Surabaya. @AP/AZ/SIR