Oleh: Prihandoyo Kuswanto
RAKYAT sesungguhnya tidak mengetahui amandemen UUD 1945 yang telah dilakukan sejak tahun 2002. Ini yang kemudian mengubah negara Proklamasi 17 Agustus 1945.
Dari negara berdasarkan Pancasila menjadi negara yang berdasar liberalisme dan kapitalisme.
Ternyata amandemen yang dilakukan terhadap UUD 1945 berimplikasi terhadap perubahan sistem ketatanegaraan.
Kita perlu membedah perbedaan negara bersistem MPR berideologi Pancasila dan negara dengan sistem Presidenseil berideologi Individualisme, Liberalisme, Kapitalisme agar semua paham dan mengerti telah terjadi penyimpangan terhadap ideologi Pancasila.
Sistem MPR basisnya elemen rakyat yang duduk sebagai unsur MPR yang disebut golongan politik diwakili DPR. Sedang golongan fungsional diwakili utusan golongan-golongan dan utusan daerah .
Tugasnya merumuskan politik rakyat, politik negara bersumber dari visi misi negara yang disebut GBHN.
Setelah GBHN terbentuk dipilihlah Presiden untuk menjalankan GBHN. Oleh sebab itu, presiden adalah mandataris MPR.dan Presiden di masa akhir jabatannya mempertangungjawabkan GBHN yang sudah dijalankan kepada MPR.
Presiden tidak boleh menjalankan politiknya sendiri atau politik golongannya. Apalagi Presiden sebagai petugas partai, seperti di negara komunis.
Sejak UUD 1945 diganti dengan UUD 2002 maka sistem ketatanegaraan berubah dari sistem MPR diganti dengan sistem Presidenseil.
Sistem MPR dengan basis kolektivisme sedang sistem Presidenseil basis nya individualisme.
Demokrasi berdasarkan Pancasila adalah Kerakyatan yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan.
Pemilihan Presiden dilakukan dengan permusyawaratan perwakilan yang dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan artinya tidak semua orang bisa bermusyawarah yang dipimpin oleh bil hikmat. Hanya para pemimpin yang punya ilmu yang bisa bermusyawarah sebab musyawarah bukan kalah menang, bukan pertaruhan tetapi memilih yang terbaik dari yang baik.
Pemilihan didasarkan atas nilai-nilai kemanusiaan. Nilai Persatuan Indonesia. Permusyawaratan perwakilan yang bertujuan untuk Keadilan Sosial Bagi Sseluruh Rakyat Indonesia dan semua hasil itu semata-mata untuk mencari ridho Allah atas dasar KeTuhanan Yang Maha Esa.
Dengan sistem MPR maka pelaksanaan demokrasi asli Indonesia berdasrkan Pancasila tidak menguras triliunan rupiah. Tidak ada pengerahan massa, tidak ada kampanye, tidak ada pengumpulan massa. Sebab yang dipertarungkan adalah pemikiran gagasan. Tidak lagi membutuhkan korban yang sampai hampir 900 petugas KPPS meninggal tidak jelas juntrungannya.
Sistem presidenseil basisnya individualisme. Maka kekuasaan diperebutkan banyak-banyakan suara, kuat-kuatan, pertarungan, kalah menang. Yang menang mayoritas dan yang kalah minoritas.
Demokrasi dengan cara-cara liberal dan kapitalis, membutuhkan biaya yang besar menguras dana rakyat triliunan rupian untuk memilih pemimpin pilkada, pileg, dan pilpres.
Dengan sistem pemilu yang serba uang bisa kita tebak maka menghasilkan para koruptor hampir 80% kepala daerah terlibat korupsi. Dan yang lebih miris korupsi seperti hal yang lumrah di negeri ini begitu juga dengan petugas KPU nya juga bagian dari sistem korup. Kecurangan bagian dari strategi pemilu.
Demokrasi bisa dibeli geser menggeser caleg memindakan suara adalah bagian dari permainan KPU. Ini bukan isapan jempol. Bukannya sudah dua anggota Komisioner KPU yang dipecat karena terlibat permaian uang.
Dalam sistem Presidenseil, Presiden yang menang melantik dirinya sendiri dan menjalankan janji-janji kampanyenya. Kalau tidak ditepati janjinya ya harap maklum. Artinya di akhir masa jabatan presiden tidak mempertangungjawabkan kekuasaannya.
Sistem Presidenseil Menggulung Ideologi Pancasila
Dipilihnya sistem Presidenseil tanpa rakyat tahu dan disadari visi misi negara telah diganti dengan visi misi Presiden visi misi Gubernur, visi misi Bupati Walikota, jadi tanpa persetujuan rakyat negara sudah tidak lagi bertujuan Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Sementara BPIP mencoba bermain-main dengan Ideologi Pancasila yang disetubuhkan dengan individualisme, liberalisme dan kapitalisme. Entah apa yang ada di pikiran Megawati dan punggawa yang ada di BPIP. Sudah jelas mana mungkin keadilan sosial diletakkan pada sistem liberalisme dan kapitalisme. Jelas bertentangan. Bukankah Pancasila itu antitesis dari individualisme, liberalisme, kapitalisme?
Negara ini didirikan dengan konsep ‘semua untuk semua’. Indonesia terbentuk dari bemacam macam suku, bermacam macam adat istiadat, bermacam macam agama dan kepercayaan.
Pengejawantahan negara ‘semua untuk semua’ beralaskan Bhineka Tunggal Ika. Sistem MPR terdiri dari anggota DPR, utusan utusan golongan dan utusan daerah. Jadi tidak dikenal anggota MPR tetapi disebut utusan. Di MPR inilah pengejawantahan seluruh rakyat Indonesia terwakili
Oleh sebab itu sistem yang terbangun adalah keterwakilan bukan keterpilihan. Pasalnya MPR adalah terdiri dari unsur unsur bukan anggota. Anggota MPR ini akan menjadi besar. Maka tugas MPR bersidang lima tahun sekali di ibukota negara. Setelah selesai kembali ke daerah masing masing. Negara hanya memberi fasilitas akomodasi selama sidang.
Tugas MPR menetapkan UUD, membuat GBHN, mengangkat Presiden, dan memberhentikan Presiden. Itu pun dilakukan lima tahun sekali kecuali ada keadaan darurat.
Akibat diamandemennya sistem MPR maka rakyat tidak bisa lagi melahirkan pemimpin negara. Padahal rakyat harusnya bisa mempersiapkan pemimpin-pemimpin negara yang berkarakter. Hak rakyat mempersiapkan Pemimpin telah dicabut.
Semua Harus Lewat Parpol
Inilah penyimpangan dari ketatanegaraan, dengan sistem utusan utusan golongan maka semua golongan bisa menyalurkan pemikirannya.
Sejak utusan golongan dihilangkan maka lahir parlemen jalanan yang terjadi dengan 212 dan lain-lain.
Dan akhir akhir ini politik aliran menjadi isu. Padahal negara ini didirikan dengan politik aliran dan sistem berbangsa dan bernegara Bhineka Tunggal Ika. Sekarang dihabisi dan tidak lagi menggunakan sistem Pancasila.
Amandemen UUD 1945 seharusnya dilakukan dengan referendum. Tetapi MPR telah melakukan akal-akalan yang tidak elok dengan cara mencabut TAP MPR No 4 th 1993 tentang referendum. Agar amandemen rakyat tidak dilibatkan dalam mengambil keputusan.
Tentu saja hal ini perlu dipersoalkan. Sebab Amandemen bukan sekedar menambah dan megurangi pasal-pasal di dalam batang tubuh UUD 1945.
Yang terjadi justru mengamandemen prinsip-prinsip negara berdasarkan Pancasila.
Referendum (dari bahasa Latin) atau jajak pendapat adalah suatu proses pemungutan suara semesta untuk mengambil sebuah keputusan. Terutama keputusan politik yang memengaruhi suatu negara secara keseluruhan. Misalnya seperti adopsi atau amendemen konstitusi atau undang-undang baru, atau perubahan wilayah suatu negara.
Karena menyangkut konstitusi sebuah negara maka atas nama kedaulatan rakyat sudah semestinya rakyat ditanya setuju atau tidak negara ini diubah.
Amandemen UUD 1945 tidak sah, sebab didahului dengan pemufakatan jahat menghilangkan TAP MPR no 4 th 1993 tentang referendum.
Untuk meluruskan kembali negara proklamasi maka rakyat Indonesia harus segerah meminta dilakukan kembali pada UUD 1945 Asli.
Amandemen atas UUD 1945 yang dilakukan sebanyak empat kali oleh partai-partai politik dan pemerintahan reformasi (1999-2002). Ditinjau dari semua sisi tentu tidak konstitusional dan tidak sah.
UUD Amandemen melanggar prosedur dan aturan administrative. Dilakukan tanpa TAP MPR dan tidak dimasukkan dalam lembaran Negara. Seluruh konsepnya yang menginjak-injak Pancasila dan UUD 1945 dirancang sesuai kepentingan asing dan seluruh proses pembuatannya dibiayai asing.
Artinya sejak 2002, Indonesia pada hakekatnya sudah berjalan tanpa konstitusi. Pengkhianatan-pengkhianatan amandemen 2002, mengkhianati filosofi dan ideologi Pancasila yang dituangkan dalam batang tubuh UUD’45, diganti dengan nilai-nilai individualisme, liberalisme dan persaingan bebas.
Ini sekaligus mengkhianati cita-cita para pendiri bangsa mewujudkan Indonesia negara merdeka yang berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi, berkepribadian tinggi secara budaya dan berdiri di atas landasan filosofi Pancasila.
Juga, menyerahkan kemerdekaan Indonesia yang dulu diperjuangkan dengan mengorbankan harta benda dan nyawa rakyat ke tangan penjajah asing.
Ini yang kemudian membuat politik negara didominasi asing. Kekayaan bangsa dikuasai asing, pemerintahan dikooptasi asing, aturan dan Undang Undang dikendalikan asing, hingga pemilihan presiden dirancang sesuai kehendak asing.@
*) Ketua Pusat Studi Kajian Rumah Pancasila