SIAGAINDONESIA.ID Labschool Unesa memiliki puluhan siswa disabilitas. Sebagai sekolah yang ramah disabilitas, tentunya sistem pelayanan dan pendampingan harus terus ditingkatkan. Sistem pendampingan juga perlu ditopang dengan sinergi yang kuat antara pihak sekolah dan orang tua.
Guna meningkatkan kualitas pelayanan dan pendampingan, tim dosen Universitas Negeri Surabaya (Unesa) mengadakan pelatihan pendampingan siswa difabel kepada guru dan orangtua. Sebanyak 16 guru selingkung Labschool Unesa dan 10 orangtua anak berkebutuhan khusus (ABK) berpartisipasi sebagai peserta.
Kegiatan ini dilaksanakan secara berkala mulai Mei-November 2022 di Rektorat Unesa. Pelaksananya yaitu Prof Maria Veronika Roesminingsih bersama Muhammad Nurul Ashar, Dr. Asri Wijiastuti, Widya Nusantara, dan I Gusti Lanang Putra Eka Prismana.
Ketua pelaksana, Prof Maria Veronika Roesminingsih menjelaskan bahwa semakin banyaknya siswa disabilitas, kemampuan guru pendamping pun harus terus ditingkatkan secara berkala.
“Guru pendamping ini kita siapkan agar bisa menemani siswa belajar di dalam kelas, bahkan orang tua siswa dilibatkan. Karena mereka inilah yang menemani di sekolah dan di rumah. Karena anak-anak ini istimewa, maka perlakuannya pun harus istimewa,” ujarnya.
Perempuan asal Cepu ini menambahkan, guru reguler seringkali harus menjadi guru pendamping di kelas khusus, sementara satu tidak semua dari mereka berlatar-belakang pendidikan dari Pendidikan Luar Biasa (PLB).
Selain itu, para orang tua pun melakukan fungsi pendampingan di sekolah maupun di rumah atas dasar pemahaman ABK yang terbatas.
“Pendampingan bukan sekadar menemani anak belajar, tetapi lebih dari itu,” tukasnya dalam keterangannya, Rabu (12/10/2022).
Memang, banyak guru reguler yang ditunjuk menjadi pendamping kelas khusus. Ini bisa berdampak pada kualitas pendampingan itu sendiri jika gurunya tidak diberikan pembekalan khusus. Selain itu, menurut guru besar yang akrab disapa Prof Roes ini masih banyak sekolah di Indonesia yang belum memiliki komponen pendukung pendidikan inklusi.
Untuk materi, tim pelaksana memilih subjek materi yang sesuai dan didasarkan pada analisis kebutuhan yang dilakukan sebelumnya.
Selain itu juga didasarkan pada kondisi siswa yang guru-orang tua ajar dan dampingi. Ada sekitar 20 siswa disabilitas di Labschool Unesa mulai dari jenjang TK, SD dan SMP. Ada yang autis, disleksia hingga down syndrome.
Pelatihan ini dikemas dalam dua skema, pemaparan materi dan praktik.
Pada tahap materi, tim pakar yang terlibat memberikan pemahaman awal mengenai sistem pendampingan, difabel, karakteristiknya, gaya dan cara belajarnya serta strategi pendampingannya.
Kemudian pada tahap praktek, peserta diarahkan langsung praktik di dalam kelas.
Praktek ini langsung dibimbing oleh tim pengabdian kepada masyarakat (PKM). Saat praktek, peserta dinilai sejauh mana mereka mendeskripsikan perubahan dalam penanganan siswa ABK dan sejauh mana peserta menerapkan teori yang disampaikan.
“Karena ini termasuk kecakapan jadinya teori hanya sekitar 25 persen saja, siswanya praktek,” katanya.
Setelah kegiatan, para guru dan orang tua diharapkan memahami konsep dan prinsip dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif, dan mampu memahami, membedakan dan memberikan perlakuan yang tepat kepada berbagai jenis ABK.
Selain itu, meningkatkan kompetensi guru dalam pembelajaran dan kompetensi pedagogik guru dalam pelayanan ABK di sekolah. Peserta mampu membuat pembelajaran yang efektif bagi anak disabilitas.
Diharapkan peserta menjadi tenaga pendidik yang mampu merancang, merencanakan dan melaksanakan pembelajaran yang efektif dan menyenangkan bagi siswa reguler maupun siswa disabilitas.
Kemudian para orang tua juga lebih memahami kebutuhan belajar anak di sekolah maupun di rumah, dengan begitu perlakuan yang diberikan orang tua bisa tepat sesuai kebutuhan pertumbuhan dan perkembangan anak.@hasna