Oleh: Radhar Tribaskoro
DALAM dunia yang semakin kacau — dari konflik geopolitik hingga fragmentasi ekonomi — Scott Bessent, investor kawakan, mantan Chief Investment Officer Soros Fund Management dan sekarang Menterti Keuangan AS, menawarkan satu visi radikal: Fortress America. Konsep ini membayangkan Amerika Serikat sebagai sebuah “benteng” ekonomi dan geopolitik, yang berusaha mengurangi ketergantungan pada dunia luar, membangun kekuatan domestik, dan mengandalkan diri sendiri untuk bertahan hidup dalam dunia yang tidak stabil.
Visi ini bukan sekadar respons terhadap ketidakpastian global, melainkan sebuah strategi jangka panjang untuk mengamankan posisi Amerika Serikat dalam abad ke-21. Namun, seperti semua pilihan besar, Fortress America membawa konsekuensi yang dalam, tidak hanya bagi Amerika sendiri, tetapi juga bagi seluruh dunia.
Scott Bessent dan Visi “Fortress America”
Untuk memahami bagaimana Bessent sampai pada gagasan ini, penting untuk menelusuri tiga arus besar pemikiran yang membentuk visinya. Pertama, Bessent mengamati kematian globalisasi klasik. Ia melihat bahwa era globalisasi bebas yang mendominasi dunia sejak akhir Perang Dingin perlahan-lahan runtuh. Konflik perdagangan antara Amerika Serikat dan Tiongkok, keluarnya Inggris dari Uni Eropa (Brexit), dan disrupsi yang dibawa oleh pandemi COVID-19 telah memperlihatkan bahwa ketergantungan yang berlebihan pada rantai pasok global justru menciptakan kerentanan sistemik. Dunia kini bergerak ke arah multipolaritas, di mana negara-negara berusaha memperpendek rantai pasok mereka, mengutamakan produksi dalam negeri, dan memproteksi industri strategisnya. Dalam kondisi ini, Bessent menyimpulkan bahwa Amerika tidak lagi dapat mengandalkan globalisasi untuk mempertahankan pertumbuhan dan keamanannya.
Kedua, Bessent mengkhawatirkan fragmentasi finansial global. Sanksi ekonomi terhadap Rusia, yang mempercepat upaya negara-negara seperti Tiongkok, India, dan Brasil untuk mengurangi ketergantungan pada dolar, menjadi peringatan serius baginya. Jika dolar kehilangan posisinya sebagai mata uang cadangan dunia, Amerika Serikat akan kehilangan salah satu keunggulan strategisnya: kemampuan untuk membiayai defisit besar dengan biaya rendah. Dalam dunia yang semakin terfragmentasi, menjaga kekuatan finansial domestik menjadi lebih mendesak dibanding mempertahankan dominasi global.
Ketiga, Bessent mencemaskan kondisi internal Amerika sendiri. Ia melihat meningkatnya polarisasi politik, krisis sosial akibat ketimpangan ekonomi, kerusakan infrastruktur, serta ketertinggalan dalam pendidikan dan kesehatan sebagai tanda-tanda rapuhnya fondasi nasional. Baginya, mempertahankan kehadiran Amerika di panggung global tanpa membenahi kelemahan domestik adalah sebuah strategi bunuh diri. Sebelum bicara tentang memimpin dunia, Amerika harus memperkuat rumah tangganya sendiri.
Apa Itu Fortress America?
Dalam pandangan Bessent, Fortress America bukan sekadar isolasionisme buta, melainkan sebuah proyek nasional untuk memperkuat ketahanan internal. Ia membayangkan sebuah Amerika yang menghidupkan kembali basis industrinya melalui reindustrialisasi besar-besaran, mengamankan kebutuhan energinya lewat eksplorasi maksimal minyak, gas, dan energi terbarukan, serta menerapkan proteksionisme selektif untuk melindungi sektor-sektor strategis dari persaingan tidak adil.
Di saat yang sama, Amerika menurut Bessent harus memastikan keunggulannya dalam teknologi tinggi seperti kecerdasan buatan, semikonduktor, dan keamanan siber, sambil mengurangi keterlibatan dalam konflik-konflik luar negeri yang tidak secara langsung memengaruhi kepentingan vital nasionalnya. Dengan kata lain, Fortress America adalah pivot besar ke dalam negeri: membangun kekuatan domestik sebagai dasar kekuatan eksternal di masa depan.
Konsekuensi Fortress America bagi Amerika
Implementasi Fortress America tentu membawa dampak besar bagi Amerika Serikat sendiri. Salah satu konsekuensi utamanya adalah perubahan kebijakan tarif. Bessent mendukung penerapan tarif tinggi terhadap impor, terutama dari negara seperti Tiongkok, guna melindungi manufaktur domestik dan mempersempit defisit perdagangan. Konsekuensinya, harga barang konsumen di Amerika kemungkinan akan naik. Inflasi dapat terdorong naik, terutama dalam sektor barang kebutuhan sehari-hari seperti elektronik, tekstil, dan produk rumah tangga.
Namun, bagi Bessent, pengorbanan ini layak diterima. Ia berpendapat bahwa kemandirian industri dan ketahanan nasional lebih penting daripada mempertahankan harga barang impor yang murah. Menurut logikanya, harga lebih tinggi dalam jangka pendek adalah investasi untuk menghindari kerentanan struktural dalam jangka panjang.
Selain ekonomi, Fortress America juga akan berdampak terhadap kebijakan luar negeri, terutama dalam isu-isu seperti perdamaian di Ukraina. Dengan orientasi ke dalam, Bessent memperkirakan bahwa Amerika akan mengurangi keterlibatan militernya di luar negeri, termasuk dalam mendukung Ukraina menghadapi invasi Rusia. Ia menilai bahwa sumber daya Amerika sebaiknya diarahkan untuk membangun kekuatan internal daripada dikeluarkan untuk konflik di luar negeri yang tidak secara langsung mengubah keseimbangan kekuatan global. Dalam kerangka ini, kemungkinan besar bantuan militer dan finansial untuk Ukraina akan dikurangi, dan dorongan untuk mencari solusi diplomatik yang cepat akan semakin besar. Amerika akan mendorong penyelesaian konflik lewat negosiasi, bukan eskalasi.
Konsekuensi Fortress America bagi Dunia
Dampak visi ini tentu tidak berhenti di Amerika. Dunia pun akan berguncang jika Amerika benar-benar membangun Fortress America. Salah satu dampak utamanya adalah fragmentasi ekonomi global. Dengan Amerika memberlakukan proteksionisme dan menarik diri dari perdagangan bebas, banyak negara yang selama ini mengandalkan pasar Amerika harus mencari pasar alternatif. Negara-negara seperti Meksiko, Vietnam, bahkan sekutu lama seperti Jerman dan Jepang akan menghadapi tantangan besar. Rantai pasok global yang selama ini terintegrasi dengan erat akan rusak, mendorong negara-negara untuk memperpendek dan mengamankan rantai produksinya sendiri.
Di tingkat geopolitik, pengurangan keterlibatan Amerika di dunia akan mempercepat kebangkitan aliansi non-Barat. Tiongkok, Rusia, India, Brasil, dan negara-negara BRICS lainnya kemungkinan besar akan mengisi kekosongan kepemimpinan global yang ditinggalkan Amerika. Ini akan mempercepat lahirnya tatanan dunia multipolar yang lebih kompetitif, di mana tidak ada satu kekuatan pun yang dominan.
Selain itu, penarikan Amerika dari urusan global berpotensi menciptakan kekosongan dalam menjaga stabilitas internasional. Selama ini, meski sering dikritik, kehadiran Amerika di berbagai wilayah konflik kerap menjadi faktor pencegah eskalasi. Tanpa kehadiran Amerika, risiko konflik terbuka di kawasan seperti Laut Cina Selatan, Timur Tengah, atau Eropa Timur bisa meningkat. Institusi-institusi global seperti PBB, WTO, dan IMF juga bisa kehilangan efektivitas karena tidak lagi mendapat dukungan penuh dari kekuatan utama dunia.
Fortress America, Sebuah Perjudian Besar
Visi Scott Bessent tentang Fortress America adalah sebuah respons rasional terhadap realitas baru dunia: globalisasi melemah, kompetisi antarnegara menguat, dan ketergantungan global menjadi sumber kerentanan. Ia menawarkan jalan alternatif: bukan ekspansi tak terbatas, melainkan konsolidasi nasional sebagai fondasi kekuatan sejati.
Namun, Fortress America juga adalah sebuah perjudian besar. Di dalam negeri, Amerika harus menghadapi tantangan inflasi, transisi industri yang berat, dan ketidakpastian sosial. Sementara di luar negeri, dunia yang ditinggalkan oleh Amerika mungkin akan berubah ke arah yang lebih tidak stabil, memperkecil peluang Amerika untuk kembali memimpin bila suatu saat Fortress ini dibuka kembali.
Apakah dengan membangun benteng di sekeliling dirinya, Amerika akan mampu melindungi dan membangkitkan kembali kekuatannya? Ataukah justru ia akan terperangkap dalam dunia baru yang telah berubah tanpa kehadirannya?
Seperti semua pertaruhan sejarah besar, jawabannya hanya akan terungkap dalam perjalanan waktu. Apa yang pasti adalah bahwa dalam dunia yang semakin kompleks ini, strategi bertahan hidup memerlukan lebih dari sekadar benteng batu; ia membutuhkan kelenturan, kecerdasan, dan kesiapan untuk beradaptasi terhadap perubahan yang tak terhindarkan.@
*) Komite Eksekutif Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia