SIAGAINDONESIA.ID Sidang perkara dugaan pembobolan dana senilai Rp 100 miliar di Bank Pembangunan Daerah (BPD) Jawa Timur kembali digelar di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Kamis (24/4/2025) kemarin. Agenda sidang pembacaan eksepsi atau nota keberatan dari salah satu terdakwa, Abdul Rahim alias Apong.
Kuasa hukum Abdul Rahim dalam persidangan secara tegas meminta kepada Majelis Hakim agar menerima dan mengabulkan eksepsi atas dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU), karena menurut mereka, PN Surabaya tidak memiliki kewenangan mengadili perkara ini.
“Dakwaan Jaksa tidak cermat, tidak jelas dan tidak lengkap atau kabur, sehingga batal demi hukum,” ujar penasihat hukum terdakwa dalam persidangan.
Sementara itu, tiga terdakwa lain dalam perkara ini, yakni Sahril Sidik alias Rudi, Oskar, dan Melinda, memilih untuk tidak mengajukan eksepsi.
Merespons keberatan tersebut, Majelis Hakim memberikan waktu kepada JPU untuk menanggapi eksepsi terdakwa Abdul Rahim dalam sidang selanjutnya.
Mengacu pada dakwaan JPU Lujeng Andayani dan Rakhmawati Utami dari Kejaksaan Tinggi Jawa Timur, kasus ini bermula saat ditemukan adanya transaksi mencurigakan melalui sistem BI-FAST di PT Bank Jatim pada 22 Juni 2024. Dalam kurun waktu hanya tiga jam, terjadi 483 transaksi transfer dengan total nilai fantastis mencapai Rp 119.957.741.943.
Transaksi tersebut dilakukan melalui dua rekening Bank Jatim atas nama Ratna Sofwa Azizah dan Titis Ajizah Oktaviana. Dana lalu mengalir ke berbagai rekening bank penerima di sejumlah bank swasta dan BUMN, dengan nilai terbesar tercatat masuk ke rekening atas nama Raja Niaga Komputer dan Evo Jaya Intan.
Menurut dakwaan, Terdakwa Sahril Sidik berperan sebagai inisiator dengan merekrut orang-orang untuk membuka rekening. Rekening-rekening tersebut kemudian dijual kepada pihak lain seharga Rp 500 ribu. Salah satu rekening atas nama Sahril Sidik diserahkan kepada Abdul Rahim yang kemudian menyerahkannya kepada Oskar.
Di Batam, Oskar bersama Meilisa menggunakan rekening-rekening tersebut untuk melakukan transaksi atas perintah Deni, yang hingga kini masih buron (DPO). Atas jasanya, Oskar dan Meilisa menerima imbalan bulanan sebesar Rp 8 juta.
Lebih lanjut, dana hasil kejahatan yang mengalir ke rekening atas nama Ridduwan (Rp 5,3 miliar) dan Sahril Sidik (Rp 5,5 miliar) kemudian digunakan untuk pembelian aset kripto, guna menyamarkan asal-usul uang. Aset digital tersebut disimpan dalam dompet kripto (wallet) yang dikuasai oleh pelaku.
Atas perbuatannya, keempat terdakwa dijerat Pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP tentang penyertaan dalam tindak pidana.
Kerugian Bank Jatim mencapai Rp 119.957.741.943 akibat serangkaian transaksi anomali yang dilakukan secara sistematis dan terorganisir oleh para terdakwa bersama pelaku lainnya yang kini masih dalam pengejaran aparat penegak hukum.@tiasa