Oleh: Ahmad Khozinudin, S.H.
ADA anomali dalam pemberian pangkat kehormatan jendral bintang 4 dari TNI yang disematkan Presiden Jokowi kepada Prabowo Subianto. Sebab, status Prabowo Subianto diberhentikan dari dinas militer TNI.
Sekali lagi, status Prabowo Subianto diberhentikan. Bukan mengajukan pensiun dini, mengundurkan diri, atau menjadi purnawirawan TNI karena telah purna tugas (pensiun).
Putusan Dewan Kehormatan Perwira (DKP) TNI Angkatan Darat telah memberhentikan Prabowo Subianto dari dinas kemiliteran karena dugaan keterlibatannya dalam kasus penculikan dan penghilangan paksa sejumlah aktivis pada 1997 sampai 1998. Ini adalah putusan kode etik TNI yang berujung pemberhentian Prabowo dari dinas militer oleh Panglima ABRI Wiranto kala itu, bukan putusan terkait peristiwa pidananya.
Adapun peristiwa dugaan tindak pidana penculikan, penganiayaan dan penghilangan nyawa sejumlah aktivis pada 1997 sampai 1998, sampai saat ini belum pernah disidangkan. Padahal, peristiwanya jelas ada, korbannya jelas ada, sejumlah saksi masih ada. Bahkan dalam video yang beredar viral, Letjen Purn TNI Agum Gumelar mengaku tahu bagaimana penyiksaannya hingga dimana pembuangan mayatnya.
Kalau ingin diperbandingkan, ada peristiwa yang relevan untuk dijadikan rujukan, yakni peristiwa pembunuhan berencana terhadap Brigadir Joshua Hutabarat oleh Mantan Kadiv Propam Polri Irjen Pol Ferdy Sambo. Secara etik, Ferdy Sambo telah dipecat dari dinas di kepolisian.
Sementara secara pidana, Ferdy Sambo telah divonis dengan pidana seumur hidup (mulanya pidana mati), karena telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana pembunuhan berencana, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 240 KUHP. Kasus Pembunuhan Brigadir Joshua Hutabarat ini tuntas. Etiknya, Sambo dipecat dari dinas Polri. Pidananya, Sambo divonis penjara seumur hidup.
Sementara dalam kasus dugaan tindak pidana penculikan, penganiayaan dan penghilangan nyawa sejumlah aktivis pada 1997 sampai 1998, secara etik Prabowo Subianto memang telah diberi saksi berdasarkan pemeriksaan DKP berupa pemberhentian dari dinas militer TNI. Namun, secara pidana Prabowo belum pernah diadili, bahkan belum ada satupun orang yang dinyatakan bersalah dan bertangungjawab pada peristiwa dugaan tindak pidana penculikan, penganiayaan dan penghilangan nyawa sejumlah aktivis pada 1997 sampai 1998.
Lalu, tiba-tiba Prabowo mendapat kenaikan pangkat jenderal kehormatan. Secara norma dan etika, agak janggal orang yang telah diberhentikan dari dinas TNI (terlepas dengan nomenklatur masih diberhentikan dengan hormat), mendapat kenaikan pangkat kehormatan. Karena sejumlah perwira tinggi TNI yang juga mendapatkan kenaikan pangkat kehormatan, statusnya pensiun dari TNI. Bukan diberhentikan dari dinas militer TNI.
Disinilah letak anomalinya. Maka wajar, jika publik menduga pemberian gelar ini justru dijadikan modus operandi untuk membersihkan nama Prabowo dari jejak peristiwa penculikan, penganiayaan dan penghilangan nyawa sejumlah aktivis pada 1997 sampai 1998. Penganugerahan Pangkat kehormatan ini akan dijadikan semacam ‘Deterjen Pembersih’ dengan meminjam otoritas TNI dan pemerintah, agar kedepan tidak ada lagi narasi Prabowo Subianto terduga pelaku kejahatan peristiwa 1998 – 1999, karena tidak mungkin institusi TNI memberikan pangkat kehormatan kepada penjahat.
Kalau keluarga Brigadir Joshua Hutabarat masih tidak puas dengan vonis pidana penjara seumur hidup terhadap Ferdy Sambo, orang yang terbukti melakukan pembunuhan berencana kepada keluarga mereka, keluarga Joshua Hutabarat masih bisa berbesar hati karena setidaknya Sambo telah dipecat dan dipenjara.
Akan tetapi, bagaimana dengan suasana batin keluarga korban penculikan, penganiayaan dan penghilangan nyawa sejumlah aktivis pada 1997 sampai 1998? Alih-alih dipenjara, orang yang diduga terlibat peristiwa itu malah mendapatkan kenaikan pangkat jenderal kehormatan.
Inilah, anomali yang harus dianggap sebagai peristiwa biasa di era rezim Jokowi. Rezim yang terkenal dengan jargon “semua terserah saya, kalian mau apa?”@
*) Penulis adalah advokat
Discussion about this post