Oleh: Isa Ansori
KONTESTASI Pilpres 2024 semakin dekat, ibarat pertandingan, katanya paslon dukungan istana sudah diatas angin, berbagai survey dikerahkan untuk membangun opini bahwa mereka akan memenangkan pertandingan. Namun sayangnya sang pemain tahu kemampuan, tahu kenyataan, bahwa yang dibangun survey itu adalah bukan kenyataan sebenarnya, itu hanyalah alat propaganda untuk mempengaruhi opini publik.
Inilah bagian dari cara cara propaganda memanipulasi kesadaran publik kalau kalau main curang bisa dimaklumi oleh publik.
Dalam berbagai survey, paslon dukungan istana selalu diberi angka mendekati 50 %, bahkan bisa diduga menjelang 7 hari pelaksanaan Pilpres angka yang dimunculkan adalah di atas 50 %, sebagai bagian dari melegalkan dugaan perbuatan curang untuk pemilu satu putaran. Jadi tidak sepatutnya kalau yakin menang dan percaya bahwa angka survey itu adalah realitas yang benar, melakukan hal hal yang menodai demokrasi.
Faktanya di lapangan hal yang dilakukan sangat berbeda dengan realitasnya. Di beberapa wilayah di Indonesia banyak ditemukan praktek politik uang dibagi-bagikan ke rakyat dengan besaran antara 100 – 200 ribu, bahkan karena pembagian yang tak rata diantara mereka saling bentrok menuntut pembagian yang adil.
Menggunakan bansos yang didanai APBN untuk kepentingan calon yang didukung oleh istana. Bahkan yang kasat mata, tanpa memperdulikan etika, presiden mengatakan bahwa pejabat pemerintah, presiden, menteri, gubernur dan ASN boleh berpihak dan berkampanye, padahal dibolehkannya dengan syarat mengajukan izin cuti. Yang terjadi justru aturan dilanggar, etika tak dihiraukan.
“Power tend to corrupt” adalah sinyal yang dilanggar, mereka terabas aturan itu seolah tak berbuat salah. Substansi keberpihakan aparat terhadap salah satu paslon sebagaimana disampaikan oleh Aiman Witjaksono tak lagi dihiraukan, padahal yang disampaikan oleh Aiman adalah realitas yang ditemui, seharusnya realitas itu yang dicari kebenarannya, bukan si Aiman yang diperiksa dianggap menyebarkan berita bohong.
Hal lain kecurangan yang dilakukan adalah dengan mengintimidasi pelaksana lain yang berhubungan dengan paslon yang tidak didukung seperti yang dialami oleh paslon nomor urut 1, Amin.
Di beberapa tempat izin penyelenggaraan kegiatan kampanye Amin, khususnya Anies dicabut mendadak, seperti yang terjadi di Jogja, sehingga terpaksa harus berpindah. Juga persiapan acara kampanye akbar di Jakarta, penyelenggara transportasi yang digunakan oleh pendukung pasangan nomor urut 1 banyak mengalami intimidasi dan terpaksa dibatalkan sepihak.
Pasangan nomor urut 1 ini, Anies Baswedan – Muhaimin Iskandar adalah pasangan yang seringkali mengalami perlakuan curang oleh pihak pihak yang merasakan kekuasaannya terancam, karena pasangan inilah yang dianggap berpotensi menang.
Aneh saja kalau paslon dukungan pemerintah yakin menang, mengapa harus melakukan hal hal curang melanggar etik, mengerahkan aparat untuk berpihak, menggunakan bansos untuk kepentingan pribadi dan banyak lagi model model kecurangan yang berlindung dibalik kekuasaan.
Perubahan ini rasanya tak bisa lagi dihentikan, arusnya deras, gelombangnya besar, dan tegak bagaikan karang, tak gentar menghadapi desingnya politik uang dan pelanggaran etik kekuasaan. Meminjam istilah anak anak millenial, Hai wir, mundur aja, lu bukan saingan Amin, kalau mau menang jangan berbuat curang.
Selamat datang presiden perubahan, selamat datang presiden rakyat, selamat datang terang 2024, Selamat datang Mas Anies dan Cak Imin untuk Indonesia yang lebih baik dan berkeadilan.@
*) Kolumnis dan Akademisi, Tinggal di Surabaya