SIAGAINDONESIA.ID Belum direvisinya Undang-Undang (UU) No 22 tahun 2001 tentang minyak dan gas bumi menjadi biang kerok jatuhnya produksi dan menurunnya pendapatan negara dari minyak.
Hal ini disampaikan Peneliti Asosiasi Ekonomi dan Politik Indonesia (AEPI), Salamuddin Daeng dalam keterangan tertulis, Kamis (26/5/2022).
“Keberadaan UU tidak lagi kuat untuk mengatur Migas. UU ini telah beberapa kali mengalami pengujian di MK, yang mengakibatkan perubahan mendasar dari isi dan struktur kelembagaan yang diatur dalam UU migas,” kata Daeng.
Ditambahkan Daeng, di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), UU Migas disiasati dengan putusan MK secara tidak tepat sehingga mengakibatkan konflik kelembagaan di Migas parah dan berkepanjangan.
Daeng menilai, UU Migas pada akhirnya menimbulkan aturan yang tidak pasti terkait kelembagaan, kontrak migas hingga konsep penguasaan negara atas migas.
“Misalnya UU ini dapat diterjemahkan dalam konsep cost recovery, atau gross split atau bagi hasil lainnya yang meresahkan pelaku usaha Migas,” jelasnya.
UU Migas, lanjutnya, telah gagal dalam mengatasi konflik antara pemerintahan sendiri, konflik antar lembaga dan konflik antara pemerintah pusat dan daerah.
“Dalam sektor Migas banyak sekali lembaga pemerintah atau entitas yang terkait pemerintah berebut otoritas dan memperjuangkan kepentingan sendiri sendiri. Meskipun semuanya tidak mampu bekerja mengangkat produksi Migas,” urainya.
Yang parahnya, sebut Daeng, UU Migas gagal menarik minat pelaku usaha dalam menanamkan modalnya dalam investasi disektor minyak dan gas.
“Juga gagal dalam menarik minat lembaga keuangan melakukan pembiayaan. Gagal menekan resiko usaha di bidang hulu migas,” papar dia.
Daeng mengatakan, belum direvisinya UU Migas hingga saat ini lantaran ego sektoral stake holder migas khususnya lembaga legislasi atau dalam hal ini banyak fraksi.
“Adanya politik transaksional dari oknum lembaga legislatif dan eksekutif. Sinkronisasi antara pemerintah pusat dan daerah lemah,” tuturnya.
Ia memandang, pergantian aktor di badan legislatif hingga tahapan pembentukan RUU menjadi UU yang begitu panjang juga menjadi faktor penyebab tak kunjung direvisinya aturan tersebut.
“Pemerintah yang seharusnya pro aktif dalam mendorong revisi UU No 22 Tahun 2001,” tandasnya.@