SIAGAINDONESIA.ID Unit Pelaksana Teknis Pengujian Mutu dan Pengembangan Produk Kelautan dan Perikanan (UPT PMP2KT), Banyuwangi di bawah naungan Dinas Kelautan dan Perikanan Pemprov Jatim berhasil melakukan uji coba membuat prototype produk biscuit anti stunting dari bahan ikan.
Kepala UPT PMP2KT, Eko Wahyu Hidayat yang dihubungi mengatakan, pembuatan konsentrat protein ikan (KPI) yang dilakukan timnya, mengambil bahan baku sebagian besar dari ikan.
“KPI dengan bahan ikan tuna dan bahan lainnya dibuat di laboraorium PMP2 KP, untuk skala yang lebih besar instansi kami siap bekerjasama,” jelasnya.
KPI lanjut Eko, adalah suatu produk konsumsi manusia yang diperoleh dari ikan utuh atau hewan air lain atau bagian ikan, dengan cara menghilangkan menghilangkan sebagian sebgian besar dan kadar air, sehingga diperoleh kandungan protein yang lebih tinggi dibandingkan dengan bahan baku asalanya.
“Kandungan proteinnya setara dengan lima ikan segar,” ungkapnya.
Daging ikan menjadi sumber protein, tulangnya sumber mineral (Ca,P) sedangkan mata, hati, telur, minyak mengandung Omega-3 dan Omega 6.
“Kami ingin memproduksi biskuit dengan campuran mata ikan tuna karena mengandung Omega lebih tinggi,” jelasnya.
Ditambahkan oleh Eko yang baru saja mengikuti kegiatan pelatihan Pengolahan Produk Berbasis Ikan di IPB, Bogor itu, instansinya berusaha menghasilkan KPI bermutu tinggi, selain tidak berasa ikan, tidak berbau, mempunyai kadar protein miimal 67,5 persen.
Hasil produksi dari prototype yang dibuat timnya diharapkan dapat menjadi sumber protein yang potensial sebagai pengganti susu skim di dalam formulasi produk biskuit bayi misalnya. Sebagai referensi stunting adalah masalah gizi kronis akibat kurangnya asupan gizi dalam jangka waktu panjang sehingga mengakibatkan terganggunya pertumbuhan pada anak.
Stunting juga menjadi salah satu penyebab tinggi badan anak terhambat, sehingga lebih rendah dibandingkan anak-anak seusianya.
Keamanan Pangan
Menanggapi soal kemanan pangan produk olahan hasil perikanan yang juga ditangani oleh KKP menurut Eko Wahyu Hidayat akan lebih tepat sasaran dan efisien jika Labaratorium Perikanan dilibatkan. Sebab hal itu sudah mempunyai payung hukumnya. Ada di pasal 13 Pergub no 112 tahun 2018 Tentang Kedudukan Susunan Organisasi, Uraian Tugas dan Fungsi serta Tatakerja DKP Jatim.
Menjamurnya produk olahan perikanan selama dipimpin oleh Gubernur Khofifah Indar Parawansa tidak terbantahkan. Akan tetapi karena regulasi, antara lain, Undang Undang No 11 tahun 2020 Tentang Cipta Kerja, sebagaimana tercantum dalam pasal 89 ayat 5 & 6 peran pemerintah daerah kurang maksimal.
“Keamanan pangan satu hal yang tidak bisa diabaikan karena langsung dikonsumsi masyarakat, sementara jika tidak diawasi dan diberikan pelatihan sesuai dengan standar atau baku mutu produk olahan sangat berbahaya,” jelasnya.
Terkait dengan hal tersebut dirinya mengusulkan agar soal pengawasan kemanan pangan ini daerah diberi peran yang lebih besar. Tanpa mengesampingkan peran KKP yang selama ini cukup besar akan tetapi tidak semua produk olahan yang dihasilkan UKM/UMKM termonitor semuanya yang jumlahnya ribuan itu.
“Sudah sepantasnya jika Sertifikat Kelayakan Pengolahan (SKP) dikeluarkan oleh KKP akan tetapi perlu melibatkan laboratorium Perikanan untuk ikut mengawasi, memonitor produk serta memberikan pelatihan soal mutu produk pengolahan.”
Menurut catatan yang dikutip dari Kompas, sistem pemantauan dan pengendalian jaminan keamanan pangan hasil perikanan di Indonesia belum memadai. Namun upaya perbaikan, termasuk mengatasi masalah cemaran kimia dari formalin, tak kunjung tuntas dilakukan. Makanan yang tercemar tidak hanya berdampak buruk terhadap kesehatan masyarakat, tetapi ternyata merugikan perekonomian nasional hingga Rp 205,5 triliun.
Disorot pula penolakan ekspor hasil perikanan dan belum memadainya uji petik pangan untuk pasar domestik serta contoh kasus keracunan pangan. Penolakan ekspor hasil perikanan Indonesia 2021 yang tercatat sebagai re-impor dari sisi nilai melonjak 332 persen dari tahun sebelumnya menjadi 26.591.460 dollar AS atau setara Rp 390 miliar. Kasus penolakan ekspor dari sisi volume melonjak fantastis, mencapai 534 persen, dari 1.459,25 ton menjadi 9.254,33 ton atau sekitar 462 kontainer 40 feet.
Jika kasus penolakan ekspor hasil perikanan meningkat, biasanya otoritas negara tujuan ekspor akan mengirimkan auditor untuk mengaudit menyeluruh sistem jaminan keamanan hasil perikanan. Ini dimulai dengan pemeriksaan legal basis hingga sejauh mana otoritas kompeten Indonesia melaksanakan pemantauan dan pengendalian rantai pasok perikanan dari hulu ke hilir.@k
Discussion about this post