Tingkatkan Mental dan Spiritual Prajurit, Yonif 320/ Badak Putih Gelar Kajian Agama

Tingkatkan Mental dan Spiritual Prajurit, Yonif 320/ Badak Putih Gelar Kajian Agama

Mei 31, 2025
Mulai Fokus Pembuktian Ijazah Palsu Jokowi

Sebagai Manusia Jokowi  Stress?

Mei 31, 2025
Transformasi Laut Cina Selatan: Pusat Kerjasama Ekonomi

Di Antara Tubuh dan Pikiran

Mei 31, 2025
Tingkatkan Mental dan Spiritual Prajurit, Yonif 320/ Badak Putih Gelar Kajian Agama
Alutsista

Tingkatkan Mental dan Spiritual Prajurit, Yonif 320/ Badak Putih Gelar Kajian Agama

by wiwin boncel
Mei 31, 2025
0
1.4k

SIAGAINDONESIA.ID   Dalam rangka meningkatkan pembinaan mental dan spiritual prajurit, Yonif 320/Badak Putih menggelar kegiatan kajian pagi dengan tema “Waspada Bahaya...

Read moreDetails
Mulai Fokus Pembuktian Ijazah Palsu Jokowi

Sebagai Manusia Jokowi  Stress?

Mei 31, 2025
1.5k
Transformasi Laut Cina Selatan: Pusat Kerjasama Ekonomi

Di Antara Tubuh dan Pikiran

Mei 31, 2025
1.4k

REKAYOREK

Ini Asal Mula Nama Grup Band Rock Elpamas

10 Feb 2025

Informasi Konstruktif Melindungi dan Melestarikan Seni Budaya…

13 Feb 2025

Bahasa Universal Itu Bernama Matematika

13 Feb 2025
Sabtu, Mei 31, 2025
SIAGA INDONESIA NEWS
  • Home
  • Berita
  • Ekonomi
  • Hukum
  • Politik
  • Lainya
    • Kriminal
    • Dunia
    • Nusantara
    • Alutsista
    • Siaga Bencana
    • Opini
    • Podcast
No Result
View All Result
SIAGA INDONESIA NEWS
No Result
View All Result
Home Opini

Untuk Apa Aturan Jam Malam Pelajar Diberlakukan, Haruskah Digugat?

by redaksi
Mei 30, 2025
Reading Time: 4 mins read
A A
Gubernur Bukan Panglima: Menakar Kewenangan Dedi Mulyadi terhadap Bupati dan Wali Kota di Jawa Barat

Ketua Hasrat, Sugiyanto (SGY)-Emik. Foto: dok

492
SHARES
1.4k
VIEWS
Share on FacebookShare on Twitter

Oleh: Sugiyanto (SGY)-Emik

DARI sisi tujuan, pada prinsipnya saya mengapresiasi kebijakan jam malam bagi pelajar karena dapat membentuk kedisiplinan waktu bagi generasi muda. Namun, penerapannya tidak dapat dipisahkan dari prinsip hukum tata negara dan asas otonomi daerah.

Terkait hal tersebut, perlu diketahui bahwa tidak ada dasar hukum dari pemerintah pusat yang secara eksplisit memberikan kewenangan kepada gubernur untuk menetapkan kebijakan jam malam bagi pelajar di seluruh kabupaten/kota. Situasi ini menjadi semakin kontroversial apabila kebijakan tersebut diberlakukan tanpa konsultasi menyeluruh dengan para kepala daerah setempat.

Kebijakan jam malam pelajar menjadi sorotan publik setelah Gubernur Jawa Barat (Jabar), Dedi Mulyadi—yang dikenal luas dengan sapaan “Bapa Aing” atau “Kang Dedi Mulyadi” (KDM) menerbitkan Surat Edaran Nomor 51/PA.03/DISDIK tertanggal 23 Mei 2025.

Surat edaran tersebut ditujukan kepada para bupati dan wali kota se-Jawa Barat, serta kepada kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama dan kepala dinas pendidikan provinsi, berisi instruksi pembatasan aktivitas peserta didik di luar rumah antara pukul 21.00 hingga 04.00 WIB, dengan beberapa pengecualian.

Aturan itu didorong oleh semangat pembentukan karakter generasi Panca Waluya—yakni Cageur, Bageur, Bener, Pinter, tur Singer—sebagai nilai-nilai khas budaya pendidikan Jawa Barat. Namun, cara kebijakan ini diberlakukan secara top-down melalui surat edaran, sehingga mungkin menimbulkan persoalan serius dalam konteks sistem pemerintahan daerah dan potensi pelanggaran atas prinsip otonomi.

Dalam sistem pemerintahan Indonesia, pembagian kewenangan diatur melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Pasal 1 angka 5 menegaskan bahwa daerah memiliki kewenangan mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya.

Sementara itu, Pasal 91 menyatakan bahwa gubernur bukanlah atasan dari bupati/wali kota, melainkan perpanjangan tangan pemerintah pusat untuk pembinaan dan pengawasan umum. Oleh karena itu, gubernur tidak berwenang secara sepihak menginstruksikan kebijakan yang menyangkut urusan wajib daerah, seperti pendidikan dasar tanpa dasar aturan yang mengikat.

Lebih jauh lagi, bahwa, UUD 1945 Pasal 18 ayat (5) menjamin bahwa pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya. Dalam kerangka itu, kebijakan mengenai aktivitas peserta didik di luar jam sekolah—apalagi yang berdampak langsung terhadap tata kehidupan masyarakat—merupakan kewenangan kabupaten/kota.

Untuk itu, maka kebijakan seperti jam malam seharusnya dirumuskan melalui musyawarah dan ditetapkan oleh kepala daerah tingkat dua berdasarkan kebutuhan lokal, bukan melalui perintah dari gubernur.

Surat Edaran Gubernur Jabar tersebut juga bukan produk hukum yang bersifat mengikat. Tidak seperti Peraturan Gubernur (Pergub) atau Peraturan Daerah (Perda), surat edaran bersifat administratif internal dan tidak memiliki kekuatan hukum normatif. Oleh karena itu, bupati dan wali kota boleh jadi tidak memiliki kewajiban hukum untuk menjalankan isi surat edaran tersebut, terutama jika substansinya dinilai menyalahi prinsip otonomi daerah atau bahkan hak asasi anak.

Sekali lagi, saya harus mengakui bahwa tujuan diberlakukannya jam malam bagi pelajar pada dasarnya baik. Namun, saya berpendapat bahwa jika kebijakan tersebut diterapkan tanpa kajian berbasis data (evidence-based policy) dan tanpa melibatkan partisipasi publik, maka hal itu berpotensi melanggar hak-hak dasar anak.

Situasi ini menjadi semakin kompleks apabila dikaitkan dengan prinsip dasar otonomi daerah, yang menekankan pada kemandirian serta penghormatan terhadap kewenangan pemerintah kabupaten/kota dalam merumuskan kebijakan di wilayahnya masing-masing.

Lebih jauh lagi, faktanya, tanpa aturan jam malam pelajar pun, sebagian besar orang tua yang memiliki anak usia sekolah tentu sudah membatasi aktivitas anak mereka di luar rumah pada malam hari, terutama jika tidak ada tujuan yang jelas.

Bahkan, di sejumlah wilayah tertentu di Jawa Barat, khususnya desa-desa terpencil, aturan semacam ini sebenarnya tidak dibutuhkan. Pada umumnya pelajar mungkin sudah berada di rumah dan beristirahat sejak selepas waktu magrib. Terlebih, mungkin Pelajar sudah tidur sekitar pukul tujuh malam atau selepas waktu Isya.

Kebijakan Sentralistik di Era Otonomi Daerah?

Reformasi membawa semangat otonomi daerah dengan desentralisasi kewenangan dari pusat ke daerah. Namun, kebijakan seperti jam malam pelajar oleh Gubernur Jawa Barat boleh jadi menunjukkan gejala kebijakan sentralistik dari provinsi ke kabupaten/kota. Kebijakan ini jelas menimbulkan pertanyaan karena mungkin dapat dianggap minim kajian data dan partisipasi publik, serta tidak mempertimbangkan kondisi wilayah yang beragam.

Kemudian, aturan jam malam pelajar juga boleh jadi berpotensi melanggar prinsip otonomi daerah yang menekankan koordinasi, bukan subordinasi. Jika dibiarkan, mungkin kecenderungan ini dapat menggerus semangat desentralisasi dan menciptakan ketimpangan kebijakan di tingkat lokal.

Fenomena ini menunjukkan adanya potensi pelanggaran prinsip otonomi daerah, di mana seharusnya hubungan antar level pemerintahan dibangun atas dasar koordinasi, bukan subordinasi. Pemerintah provinsi idealnya bertindak sebagai fasilitator pembangunan, bukan pemegang komando tunggal.

Atas kebijakan Gubernur Jawa Barat, KDM, tersebut, wajar jika muncul sejumlah pertanyaan: Untuk apa aturan ini diberlakukan? Apakah kebijakan ini didasarkan pada kajian yang kuat dan relevan?

Pertanyaan selanjutnya, apakah Menteri Dalam Negeri perlu mengambil sikap tegas terhadap kebijakan yang berpotensi menyalahi semangat otonomi daerah? Dan apakah bupati atau wali kota sebaiknya menempuh jalur gugatan untuk menjaga kewenangan pemerintahannya?

Jangan-jangan, kebijakan sentralistik justru kembali menguat di era yang seharusnya menjunjung tinggi prinsip desentralisasi.

Di sinilah peran Menteri Dalam Negeri menjadi sangat penting. Berdasarkan Pasal 373 UU No. 23 Tahun 2014, Mendagri bertindak sebagai pembina dan pengawas penyelenggaraan pemerintahan daerah provinsi. Maka, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian boleh jadi perlu memberikan klarifikasi sekaligus teguran apabila ada praktik kebijakan yang berpotensi melewati batas kewenangan gubernur. Kejelasan ini penting untuk menjaga keseimbangan relasi antara provinsi dan kabupaten/kota dalam kerangka negara kesatuan.

Tak kalah penting, kebijakan ini juga perlu ditinjau dari perspektif perlindungan anak sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Negara bertanggung jawab menjamin hak anak untuk tumbuh dan berkembang dalam lingkungan yang aman, nyaman, dan sesuai dengan kepentingan terbaik anak.

Dalam konteks ini, apabila para bupati dan wali kota merasa bahwa kebijakan gubernur telah melampaui kewenangan atau berdampak negatif pada kinerja pemerintahan mereka, maka jalur konstitusional. Langkah hukum seperti gugatan ke PTUN, permohonan judicial review ke Mahkamah Agung, atau pengajuan sengketa kewenangan antar lembaga ke Mahkamah Konstitusi perlu dipertimbangkan sebagai cara sah dan elegan dalam negara hukum.

Mekanisme hukum seperti tersebut dijamin oleh sistem peradilan Indonesia sebagai bentuk koreksi atas kemungkinan adanya potensi penyalahgunaan kekuasaan administratif. Apalagi, ini bukan pertama kalinya Gubernur Dedi Mulyadi menerbitkan kebijakan kontroversial.

Sebelumnya, publik juga dihebohkan dengan larangan wisuda siswa, pembatasan study tour keluar provinsi. Kebijakan ini diberlakukan secara tegas, termasuk melalui pemecatan atau penonaktifan Kepala Sekolah SMAN 6 Depok yang dianggap melanggar surat edaran sebelumnya.

Selaim itu, kebijakan kontoversial lainnya yakni, pembinaan siswa bermasalah di barak militer, hingga gagasan vasektomi sebagai prasyarat bantuan sosial. Pola-pola kebijakan seperti tersebut itu menunjukkan kecenderungan kemungkinan dari kepemimpinan yang sentralistik dan boleh jadi minim konsultasi, yang pada akhirnya menggerus semangat desentralisasi pascareformasi.

Ke depan, pemerintah provinsi harus lebih menekankan pendekatan dialogis, kolaboratif, dan berbasis hukum dalam menetapkan kebijakan yang menyentuh wilayah otonomi daerah lainnya. Gubernur seharusnya berfungsi sebagai koordinator dan fasilitator pembangunan antar daerah, bukan sebagai pemegang komando tunggal yang menetapkan kebijakan sepihak.

Dalam hal ini, prinsip dasar otonomi daerah—yakni kesetaraan antar level pemerintahan dalam bingkai koordinasi, bukan subordinasi—merupakan hal krusial yang perlu dipahami secara mendalam oleh semua pihak. Baik pemerintah pusat maupun pemerintah provinsi wajib mematuhi ketentuan fundamental yang mengatur pelaksanaan otonomi daerah.

Dengan demikian, pemerintah pusat melalui Kementerian Dalam Negeri wajib hadir dan bertindak dalam mengawal pelaksanaan otonomi daerah agar tidak menyimpang dari prinsip-prinsip good governance dan keadilan administratif. Kejelasan batas kewenangan bukan hanya penting untuk menjaga efisiensi pemerintahan, tetapi juga untuk menjamin perlindungan terhadap hak-hak warga negara—terutama anak-anak—yang menjadi subjek utama dari kebijakan ini.@

*) Ketua Himpunan Masyarakat Nusantara (Hasrat)

Share197Tweet123
Previous Post

TNI AL Bersama Tim Gabungan Berhasil gagalkan Upaya  Penyelundupan BBL Ilegal

Next Post

Amalan-amalan Bulan Dzulhijjah

Berita Terkait

Tingkatkan Mental dan Spiritual Prajurit, Yonif 320/ Badak Putih Gelar Kajian Agama

Tingkatkan Mental dan Spiritual Prajurit, Yonif 320/ Badak Putih Gelar Kajian Agama

by wiwin boncel
Mei 31, 2025
0
1.4k

...

Mulai Fokus Pembuktian Ijazah Palsu Jokowi

Sebagai Manusia Jokowi  Stress?

by redaksi
Mei 31, 2025
0
1.5k

...

Transformasi Laut Cina Selatan: Pusat Kerjasama Ekonomi

Di Antara Tubuh dan Pikiran

by redaksi
Mei 31, 2025
0
1.4k

...

Next Post
Vasektomi Sebagai Syarat Bansos, Haram

Amalan-amalan Bulan Dzulhijjah

Discussion about this post

REKAYOREK

Ini Asal Mula Nama Grup Band Rock Elpamas

10 Feb 2025

Informasi Konstruktif Melindungi dan Melestarikan Seni Budaya…

13 Feb 2025

Bahasa Universal Itu Bernama Matematika

13 Feb 2025
  • Disclaimer
  • Indeks
  • Pedoman Media Siber
  • Redaksi

Copyright © 2021 Siaga Indonesia

No Result
View All Result
  • Home
  • Berita
  • Ekonomi
  • Hukum
  • Politik
  • Lainya
    • Kriminal
    • Dunia
    • Nusantara
    • Alutsista
    • Siaga Bencana
    • Opini
    • Podcast

Copyright © 2021 Siaga Indonesia

This website uses cookies. By continuing to use this website you are giving consent to cookies being used. Visit our Privacy and Cookie Policy.