By Rizal Ramli
SINCE taking office in 2014, President Joko Widodo has made systematic efforts to weaken the country’s democratic institutions and practices.
Ever since the advent of the Suharto regime in the mid-1960s, corruption has been a major problem for Indonesia – and it is unlikely to get better any time soon.
After the resignation of Suharto and the collapse of his New Order regime during the Asian Financial Crisis in 1998, we believed that a democratic and less corrupt Indonesia was on the horizon. Restrictions on mass media were removed, democratic reforms were put in place, and with greater transparency in the body politic and the creation of the Corruption Eradication Commission, or KPK, there were ostensibly good reasons to believe that the demons of the Suharto era has been exorcised for good.
Starting with the Abdurrahman Wahid administration in 1999, which I served under as an economics minister, and then during Megawati Sukarnoputri’s term in office ending in 2004, it seemed the optimists would be proven right. According to Transparency International, a global civil society organization, Indonesia experienced a dramatic decrease in corruption during these years.
Yet the situation suddenly took a turn for the worse in 2004 with the presidency of Susilo Bambang Yudhoyono. According to Transparency International, by the end of Yudhoyono’s first term in office in 2009, the level of corruption in Indonesia had not been reduced significantly. However, many Indonesians believed Yudhoyono was a clean figure, and hence better than Suharto. Although five of Yudhoyono’s ministers and top-ranking officials in his administration were sentenced to jail on corruption-related charges, public opinion about Yudhoyono and the KPK remained high since it was believed that they were doing the right thing.
When Joko Widodo won the 2014 election there were again reasons for optimism. A non-elitist politician with a clean track record, Widodo’s humble and easy-going manners suggested a break from the past. Having also joined his cabinet as a coordinating minister during his first term in office, I saw up close what I believed up to be an honest and sincere man who wanted the best for his nation.
Unfortunately, I was proven wrong. Many of the men and women within Widodo’s inner circle and his coalition partners proved to be terribly corrupt, with a massive conflict of interests, resulting in poor and corrupted governance. Instead of displaying leadership, Widodo failed to use an iron fist to deal with wayward politicians when it was most needed and as a result corruption quickly spiraled out of control. To wit, the most recent report from Transparency International shows that corruption is now at its highest level in more than two decades.
Such a sobering reality, of a president unwilling to use his powers to fight corruption, reminds me somewhat of the Suharto years. Suharto himself was not extraordinarily corrupt and reportedly lived a modest lifestyle. Yet he gave free rein to his family members, party leaders, cabinet members, and the business elite to enrich themselves and amass vast fortunes. By doing this Suharto essentially developed a loyal base that enabled him to stay firmly in power.
Instead of wielding power to build an even better Indonesia, Suharto used patronage politics to satisfy his lust for power. Widodo is guilty of the same, only in this situation, it is even more inexcusable because it didn’t have to be this way.
The KPK, which was initiated in the last year of the Wahid government in 2001 and formed in late 2002, was doing a reasonably good job at fighting corruption and had some notable successes in prosecuting high-profile cases involving powerful politicians. Then, in 2013, the National House of Representatives (DPR) started deliberations on a bill which, if it passed, would effectively weaken the KPK. Unfortunately, neither Widodo nor his men tried to consult or lobby the DPR to cancel it. As expected, when the bill was finally passed into law, Indonesians were visibly upset, and large street demonstrations erupted. Widodo remained silent.
But these are not the only faults of Widodo. Unlike his predecessors, Widodo has failed to act as a guardian of Indonesia’s democracy. According to the Democracy Index, a highly respected annual survey conducted by the Economist Intelligence Unit, from the beginning of the Widodo presidency Indonesia has been ranked as one of the world’s worst performers in terms of democratic backsliding. Indeed, the survey captures the realities Indonesians have faced over recent years: democratic norms and institutions have been undermined, the media has been bullied into remaining uncritical of the government, and the government has weaponized harsh laws on defamation and blasphemy to silence its critics.
Widodo’s story is rich with irony: he become president because Indonesia had turned democratic, but when he was in power, he started a systematic effort to weaken democratic institutions and practices.
In the final analysis, the Widodo administration has single-handedly turned back the clock on Indonesian politics by 25 years. Even more damning is the fact that, unlike Suharto, his time in office has seen the emergence of dynastic politics. Widodo’s two sons, Gibran and Kaesang, and even his son-in-law Bobby Nasution, have big political ambitions. Gibran is now the mayor of Surakarta, Kaesang has announced his intention to run for political office, and Bobby is the mayor of Medan. It is known that they harbor ambitions for running for even more powerful positions in the future, all of which suggest the Widodo family is looking to build a family empire.
During last year’s G-20 summit on the island of Bali, Widodo took advantage of his being the host by taking front stage and trumpeting Indonesia’s achievements as a democracy. Nothing could be farther from the truth. While Indonesia is indeed an electoral democracy, it is now semi-authoritarian in practice. Such is Widodo’s legacy.
TERJEMAHAN
Memutar Arah Bandul Jarum Jam
Sejak munculnya rezim Suharto pada pertengahan 1960-an, korupsi telah menjadi masalah besar bagi Indonesia – dan sepertinya tidak akan membaik dalam waktu dekat.
Setelah pengunduran diri Suharto dan runtuhnya rezim Orde Baru selama krisis keuangan Asia pada tahun 1998, kami percaya bahwa Indonesia yang demokratis dan tidak terlalu korup sudah di depan mata. Pembatasan media massa dicabut, reformasi demokrasi diberlakukan, dan dengan transparansi yang lebih besar dalam tubuh politik dan pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), merupakan alasan yang baik untuk percaya bahwa era Suharto telah berlalu.
Dimulai dari pemerintahan Abdurrahman Wahid pada tahun 1999, di mana saya menjabat sebagai Menteri Ekonomi, dan kemudian selama masa jabatan Megawati Sukarnoputri berakhir pada tahun 2004, tampaknya optimisme akan terbukti benar. Menurut Transparency International, sebuah organisasi masyarakat sipil global, Indonesia mengalami penurunan korupsi yang dramatis selama beberapa tahun ini.
Namun situasi tiba-tiba berubah menjadi lebih buruk pada tahun 2004 dengan kepresidenan Susilo Bambang Yudhoyono. Menurut Transparency International, hingga akhir masa jabatan pertama Yudhoyono di tahun 2009, tingkat korupsi di Indonesia belum berkurang secara signifikan. Namun, banyak orang Indonesia percaya Yudhoyono adalah sosok yang bersih, dan karenanya lebih baik dari Suharto. Meski lima menteri Yudhoyono dan pejabat tinggi di pemerintahannya dijatuhi hukuman penjara atas tuduhan korupsi, opini publik tentang Yudhoyono dan KPK tetap tinggi karena dianggap melakukan hal yang benar.
Ketika Joko Widodo memenangkan pemilu 2014, kembali ada alasan untuk optimistis. Seorang politisi non-elitis dengan rekam jejak yang bersih, sikap Widodo yang rendah hati dan santai membuat sikap optimisme itu beralasan. Setelah juga bergabung dengan kabinetnya sebagai Menteri Koordinator pada masa jabatan pertamanya, saya melihat dari dekat bahwa Presiden Jokowi merupakan orang yang jujur dan tulus serta menginginkan yang terbaik untuk bangsanya.
Sayangnya, saya terbukti salah. Banyak elit di lingkaran dalam Jokowi dan mitra koalisinya terbukti sangat korup, dengan konflik kepentingan yang masif, mengakibatkan pemerintahan yang buruk dan korup. Alih-alih menunjukkan kepemimpinan, Jokowi gagal menggunakan tangan besi untuk berurusan dengan politisi yang bandel saat dibutuhkan dan akibatnya korupsi dengan cepat lepas kendali. Intinya, laporan terbaru dari Transparency International menunjukkan bahwa korupsi sekarang berada pada level tertinggi dalam lebih dari dua dekade.
Realitas yang memprihatinkan, tentang seorang presiden yang tidak mau menggunakan kekuasaannya untuk memerangi korupsi, mengingatkan saya pada tahun-tahun Suharto. Suharto tidak terlalu korup dan kabarnya menjalani gaya hidup sederhana. Namun dia memberikan kebebasan kepada anggota keluarganya, pemimpin partai, anggota kabinet, dan elit bisnis untuk memperkaya diri mereka sendiri dan mengumpulkan kekayaan yang sangat besar. Dengan melakukan ini, Suharto pada dasarnya mengembangkan basis setia yang memungkinkannya untuk tetap berkuasa.
Alih-alih menggunakan kekuasaan untuk membangun Indonesia yang lebih baik, Suharto menggunakan politik patronase untuk memuaskan nafsu kekuasaannya. Jokowi ternyata melakukan hal yang sama.
KPK, yang dimulai pada tahun terakhir pemerintahan Wahid pada tahun 2001 dan dibentuk pada akhir tahun 2002, cukup berhasil dalam memberantas korupsi dan memiliki beberapa keberhasilan penting dalam menuntut kasus-kasus penting yang melibatkan politisi yang berkuasa. Kemudian, pada 2013, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memulai pembahasan RUU yang jika disahkan akan efektif melemahkan KPK.
Sayangnya, baik Jokowi maupun anak buahnya tidak berusaha berkonsultasi atau melobi DPR untuk membatalkannya. Seperti yang diharapkan, ketika RUU tersebut akhirnya disahkan menjadi undang-undang, masyarakat Indonesia tampak kecewa, dan demonstrasi besar-besaran meletus. Jokowi hanya diam.
Tapi ini bukan satu-satunya kesalahan Presiden Jokowi. Berbeda dengan para pendahulunya, Jokowi gagal berperan sebagai pengawal demokrasi Indonesia. Menurut Indeks Demokrasi, sebuah survei tahunan yang sangat dihormati yang dilakukan oleh Economist Intelligence Unit, sejak awal kepresidenan Jokowi, Indonesia telah diperingkatkan sebagai salah satu negara dengan kinerja terburuk di dunia dalam hal kemunduran demokrasi.
Memang, survei tersebut menangkap realitas yang dihadapi orang Indonesia selama beberapa tahun terakhir: norma dan institusi demokrasi telah dirusak, media telah diintimidasi agar tidak kritis terhadap pemerintah, dan pemerintah telah mempersenjatai undang-undang yang keras tentang pencemaran nama baik dan penistaan untuk membungkam para pengkritiknya.
Kisah Jokowi kaya akan ironi: dia menjadi presiden karena Indonesia telah menjadi demokratis, tetapi ketika dia berkuasa, dia memulai upaya sistematis untuk melemahkan institusi dan praktik demokrasi.
Dalam analisis terakhir, pemerintahan Jokowi memutar balik waktu politik Indonesia selama 25 tahun. Yang lebih memberatkan adalah kenyataan bahwa, tidak seperti Suharto, masa jabatannya telah menyaksikan munculnya politik dinasti. Dua putra Widodo, Gibran dan Kaesang, bahkan menantunya Bobby Nasution, memiliki ambisi politik yang besar. Gibran kini menjadi Wali Kota Surakarta, Kaesang telah mengumumkan niatnya untuk mencalonkan diri, dan Bobby adalah Wali Kota Medan. Diketahui bahwa mereka memiliki ambisi untuk mencalonkan diri untuk posisi yang lebih kuat di masa depan, yang semuanya menunjukkan bahwa keluarga Jokowi ingin membangun kerajaan keluarga.
Selama KTT G-20 tahun lalu di Pulau Bali, Jokowi memanfaatkan posisinya sebagai tuan rumah dengan tampil di depan panggung dan meneriakkan pencapaian Indonesia sebagai negara demokrasi. Tidak ada yang bisa lebih jauh dari kebenaran. Meskipun Indonesia memang merupakan demokrasi elektoral, namun dalam praktiknya sekarang semi-otoriter. Begitulah warisan Joko Widodo.@
*) Dr. Rizal Ramli is former Indonesian Coordinating Minister for the Economy (2000-2001) and former Coordinating Minister for Maritime Affairs (2015-2016).
Artikel ini sudah ditayangkan di thediplomat.com, Washinton DC pada 21 Februari 2023.