SIAGAINDONESIA.ID Saat ini semua negara dikenakan tarif impor (dasar) sebesar 10 persen. Tarif impor resiprokal yang besarnya berbeda-beda untuk setiap negara ditunda maka berlakunya selama 90 hari.
Lalu apa saja dampak buruk dan baiknya untuk Indonesia? Bagaimana praktik di lapangan pemberlakuan tarif impor ini sejak diberlakukan 9 April 2025? Dan apa penyebab terjadinya penundaan ini?
Menurut Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies), Prof Anthony Budiawan, dengan tingkat tarif impor yang besarnya sama untuk setiap negara, untuk semua produk, maka tidak ada dampak sama sekali terhadap persaingan usaha antar negara.
“Sebaliknya, pengenaan tarif impor dasar ini harus ditanggung importir dan konsumen dalam negeri Amerika: harga produk akan menjadi lebih mahal, memicu inflasi,” kata Prof Anthony dalam keterangannya, Sabtu (12/5/2025).
Salah satu tujuan utama mengenakan tarif impor, katanya, seharusnya untuk melindungi produk (industri) dalam negeri dari produk asing, khususnya akibat praktek persaingan yang tidak sehat (tidak fair). Dia mencontohkan, negara asing memberi subsidi terselubung kepada produk atau industri tertentu, atau melakukan ‘manipulasi’ nilai tukar.
“Beberapa produk tertentu yang diimpor dari Indonesia, seperti tekstil, tidak bersaing dengan industri dalam negeri Amerika, karena produk tersebut sudah tidak diproduksi lagi di dalam negeri Amerika, serta tidak ada produk substitusinya,” urainya.
Dalam hal ini, lanjut Prof Anthony, instrumen tarif impor yang tujuan awalnya untuk meningkatkan daya saing industri dalam negeri, menjadi tidak berguna, alias mubazir.
Prof Anthony juga menjelaskan salah satu tujuan utama dari kebijakan tarif impor Trump adalah untuk mengurangi defisit neraca perdagangan AS. Artinya, dengan dikenakannya tarif impor maka diharapkan impor akan berkurang, dan industri dalam negeri bisa bersaing dan bisa bangkit kembali. Ini yang menjadi dasar semboyan “Make America Great Again”: membangkitkan industri dalam negeri.
“Tetapi, seperti dijelaskan di atas, untuk produk yang tidak diproduksi lagi di dalam negeri Amerika, tarif impor menjadi tidak berguna, dan tidak dapat untuk mengurangi defisit neraca perdagangan AS,” ungkapnya.
Terkait dengan penundaan tarif impor Trump, menurutnya, hanya berlaku untuk tarif resiprokal di mana Indonesia dikenakan 32 persen, selama 90 hari.
“Penundaan masa berlaku tarif resiprokal tersebut untuk memberi kesempatan kepada setiap negara agar bisa melakukan negosiasi dan kompromi, dengan sasaran agar defisit neraca perdagangan antar Amerika dan negara mitra dagang dapat diperbaiki (dikurangi),” demikian Prof Anthony.@