Oleh: Memet Hamdan
BUKAN hanya rencana ataupun aksi yang harus diolah kelola dengan baik dan apik, risiko adalah bagian yang tidak terpisahkan dari sebuah proses berkegiatan. Tidak terkecuali, sebuah proses perjuangan yang berjalan tanpa perencanaan yang komprehensif, sangat berpotensi terhambat atau menghadapi faktor baru yang bisa dinilai “kebetulan” ataupun memang “sengaja” dibuat oleh pihak yang berkuasa yang menjadi lawannya untuk menghadang gerak Oposan.
Perjuangan adalah bentuk nyata sebuah persaingan, ujungnya hanya satu diantara dua pilihan: MENANG atau KALAH. Demikian juga dengan perjuangan membela demokrasi di negeri ini.
Dalam perjuangan berdemokrasi di negeri ini dimana saat ini rakyat mayoritas yang beragama Islam harus “tersudut” dalam satu barisan oposisi berhadapan dengan minoritas politisi yang duduk bergabung dalam barisan kekuasaan pemerintahan dan berperan sebagai satu rezim penguasa yang didukung bukan hanya kekuatan dan keuangan tapi juga, bahkan terutama, oleh kekuasaan dan kewenangan konstitusional.
Sementara pihak oposan hanya memiliki kekuatan dan keuangan yang terbatas, sebaliknya pihak rezim penguasa disamping memiliki kekuasaan dan kewenangan juga memiliki kekuatan dan keuangan yang tidak berbatas.
Di atas kertas, bisa diprediksi secara cepat pihak oposan akan kalah.
Kalau opposan di negeri ini kalah, hal aneh akan terjadi yaitu mayoritas penduduk Indonesia yang beragama Islam akan tertindas dan dalam hitungan relatif cepat. Negeri ini akan berubah baik secara ideologis, politis, ekonomi serta ketatanegaraan.
Negeri ini tidak lagi akan memegang Pancasila sebagai dasar falsafah hidup berbangsa serta bernegara dan Undang Undang Dasar (UUD) 1945 yang sejatinya dibuat sebagai pengejawantahan semua gagasan Para Pendiri Negara ini untuk memakmurkan rakyatnya serta memberikan peran kepada negara di dalam kehidupan dunia internasional, akan berubah menjadi negara komunis yang berorientasi ke China.
Apabila oposan yang notabene merupakan keseluruhan masyarakat lokal tapi mayoritas penduduk beragama Islam, negeri ini akan berubah posisinya menjadi “mayoritas” yang tertindas.
Bisa diprediksi bahwa roda pemerintahan negeri ini selalu diancam instabilitas. Akibatnya, secara spesifik, yang sekarang ini namanya oposan akan habis dan dihabisi.
Kalau oposan menang, sejatinya, akan terjadi re-formasi total. Keberhasilan aksi masa dan/atau impeachment harusnya diikuti dengan Darurat Militer.
Masa transisi yang dipegang mMiliter harus tegas ditugasi untuk menunjuk seorang Mandataris Presiden dan dalam satu periode yang pendek (misalnya 6 bulan) dan harus menyelenggarakan Pemilihan Presiden yang fair secara konstitusional.
Kalau aksi masa berhasil mendesak DPR dan MPR melakukan impeachment, maka oposan harus bisa mendesak MPR dan Trium Virat tidak menempuh Darurat Sipil. Karena dengan Trium Virat dari komposisi figur saat ini akan tampil kemungkinan dominasi kekuatan Polri. Bila situasi seperti yang terjadi, untuk selanjutnya tentu kita bisa menduga apa yang akan terjadi.
Ada satu hal penting harus dikaji, yang sengaja saya simpan di bagian ahir tulisan ini yaitu pertanyaan kedua yang timbul setelah pertanyaan bagaimana pihak oposan harus mengelola “kecerdasan”, adalah siapakah diantara tokoh yang akan melanjutkan tampuk kekuasaan dalam pemerintahan Negeri ini.
Sepatutnya, pihak oposan tidak membahas aspek “siapa” ini, karena hal ini bisa mengakibatkan diantara komunitas oposan tidak pernah bersatu.
Siapa yang nanti akan melanjutkan pucuk pimpinan di negeri ini biarkan saja terjadi dalam proses “by accident”, tidak “by design”.
Atau dengan pilihan lain, dengan Darurat Militer ini diprogramkan Referendum. Ya, memimpin memang mengandung risiko dan harus di-menej dengan baik dan apik. Semoga.@
*) Pengamat Kebudayaan dan Pembangunan tinggal di Bandung