Oleh: Radhar Tribaskoro
SEPAK bola, seperti hujan pertama setelah kemarau, tiba-tiba membasahi tanah kering nasionalisme kita. Saat Timnas Indonesia memastikan langkah ke putaran keempat Kualifikasi Piala Dunia, sorak-sorai tak hanya terdengar di stadion. Ia meledak di gang-gang sempit, di warung-warung, di ponsel tua yang menyala diam-diam di tangan tukang parkir, di obrolan sopir ojol yang semula letih, di mata anak kecil yang untuk pertama kalinya tahu bahwa bendera merah putih bisa berkibar bukan karena upacara 17-an, tapi karena gol di menit 44.
Ada rasa bangga yang meluap. Tapi kebanggaan itu—mari kita jujur—datang bersama sebuah tanya: mengapa hanya ini yang bisa membuat kita bersatu?
Indonesia, di mata dunia, lebih sering disebut karena bencana, korupsi, atau paradoks. Negara dengan kekayaan alam yang melimpah, namun impor beras. Negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, tapi satu per satu pilar demokrasi dilucuti, diam-diam. Negara Muslim terbesar, tapi suara toleransinya makin sayup.
Dan sekarang, ketika anak-anak kita menekuk Cina dan lolos dari grup “mengerikan” yang dulu seolah mustahil dilewati, dunia mendongak.
Bangsa yang sering dianggap enteng, kini membangkitkan rasa takut, rasa kagum, rasa penasaran. Tapi bukankah ini ironi? Apakah kita perlu mengguncang dunia di lapangan bola agar dunia mengingat bahwa kita ada?
Mencintai Siapa?
Ada satu tafsir yang mungkin terlalu pahit untuk ditelan, tapi tetap harus diucapkan: mungkin, sebagian dari kegembiraan kita adalah bentuk pelampiasan.
Terlalu lama kita merasa kalah. Di depan elit politik yang saling bersekongkol, di depan hukum yang tajam ke bawah, tumpul ke atas, di depan ijazah yang bisa diragukm.an tapi tak bisa ditanya, di depan anak-anak yang sekolah tapi tak yakin akan masa depannya.
Dalam sepak bola, tiba-tiba semuanya terasa sederhana: siapa bekerja keras, dia menang. Yang bermain indah, dielu-elukan. Yang malas, langsung diganti. Tak perlu oligarki, tak perlu ‘diplomasi istana’.
Mungkin karena itu kita mencintai sepak bola seperti mencintai keadilan yang lama hilang.
Bukan dari Podium, Tapi dari Tribun
Wajah-wajah yang menangis ketika Mars Indonesia Raya dinyanyikan sebelum kick-off bukan para menteri, bukan para jenderal, bukan para selebritas politik. Itu wajah para pekerja, petani, pengojek, pedagang kaki lima.
Nasionalisme yang tulus itu lahir bukan dari pidato, bukan dari tagar pencitraan, bukan dari mobil dinas yang lewat dengan sirine. Ia lahir dari pengorbanan: begadang demi menonton, membeli jersey meski gaji belum cair, menahan napas tiap lawan menyerang, dan menyalakan kembang api ketika kemenangan datang.
Pertanyaannya: mengapa nasionalisme yang paling murni justru datang dari rakyat biasa, sementara elit sibuk menyembunyikan ijazah, memperdagangkan kekuasaan, atau menyebar ujaran kebencian demi kursi?
Pemain Keturunan dan Arti Kebangsaan
Mereka yang mencetak gol—yang menendang bola dengan presisi, yang menyapu bola dengan gagah—beberapa di antaranya bukan anak kampung dari pelosok Indonesia. Mereka berdarah Belanda, Jerman, Nigeria, berdialek asing, berkulit terang.
Lalu, muncullah suara nyinyir: “Ini bukan tim nasional, ini tim diaspora!”
Namun, bukankah identitas Indonesia memang selalu cair? Nusantara ini dibangun bukan oleh kesamaan ras, tapi oleh kesediaan untuk berbagi tanah air, berbagi nasib, berbagi semangat.
Kebangsaan bukan tentang garis keturunan, tapi tentang keberanian untuk memakai merah putih dan memperjuangkannya. Di saat banyak elit justru mempermainkan merah putih demi kepentingan politik, para pemain keturunan itu justru menunjukkan loyalitas tanpa pamrih. Siapa yang lebih “Indonesia”?
Nasionalisme yang Tanpa Simbol Negara
Menariknya, dalam perayaan kemenangan Timnas, kita hampir tak melihat simbol negara yang biasa diagung-agungkan. Tak ada wajah politikus, tak ada logo partai, tak ada baliho “atas nama rakyat”.
Yang ada hanya: bendera, yel-yel, jersey, air mata.
Ini bukan nasionalisme yang diperintah, ini nasionalisme yang tumbuh. Bukan yang dipaksakan dari atas, tapi yang mekar dari bawah. Dan itu jauh lebih otentik.
Mungkin inilah yang perlu direnungkan oleh para penguasa: selama ini kalian gagal memelihara nasionalisme. Kalian ganti dengan slogan, kalian remehkan dengan skandal, kalian hilangkan maknanya lewat politik dinasti dan hukum yang dibeli.
Kini rakyat menunjukkan bahwa mereka masih bisa mencintai Indonesia—asal jangan disuruh mencintai kalian.
Sebuah Renungan untuk Elit
Kemenangan Timnas bukan hanya kemenangan sepak bola. Ia adalah momen refleksi nasional.
Bahwa bangsa ini belum mati. Bahwa semangat masih ada. Tapi ia tumbuh di luar institusi negara, di luar istana, di luar DPR.
Ia hidup di dada orang-orang biasa, yang muak dengan skandal, tapi masih bersedia berdiri menyanyikan Indonesia Raya.
Pertanyaannya: sampai kapan kalian terus menipu kami sambil berharap kami terus mencintai kalian?
Mungkin suatu saat nanti, ketika republik ini benar-benar guncang, bukan bom yang meledak. Tapi cinta yang kalian abaikan terlalu lama. Cinta yang begitu bergairah untuk sepak bola, tapi tak pernah kalian layani dengan kebijakan dan keteladanan.@
Discussion about this post