Oleh: Prihandoyo Kuswanto
PENUNDAAN pemilu mengakibatkan 101 kepala daerah berhenti diganti PLT. Ini problem. Dan, Mendagri mempunyai otoritas untuk mengganti kepala daerah. Sungguh aneh. Biasanya PLT itu tak lebih dari 6 bulan. Bayangkan kalau PLT itu separuh masa jabatan kepala daerah yakni 2,5 tahun. Mekanisme yang tidak demokrasi dan sarat dengan kepentingan politik penguasa.
Dengan adanya polisi atau TNI aktif yang dijadikan PLT kepala daerah, jelas hal ini melanggar hukum. Padahal sudah jelas polisi atau TNI aktif tidak boleh rangkap jabatan.
Reformasi mencabut Dwi Fungsi ABRI tetapi justru sekarang yang terjadi polisi menjadi multifungsi segala lini jabatan dirangkap dan lebih jauh lagi peran TNI sebagai combatan juga diambil fungsinya dengan mempersenjatai Brimob dengan peralatan militeristik. Bahkan operasi separatis direduksi menjadi pengacau keamanan bersenjata. Akibatnya TNI hanya diperbantukan pada polisi untuk menumpas sparatis. Padahal separatis itu punya panglima perang.
Banyak jabatan jabatan sipil yang diisi oleh polisi bahkan sebagai komisaris BUMN. Peran polisi semakin melanggar hukum. Sementara aturan rangkap jabatan itu ada Undang Undangnya.
Larangan Rangkap Jabatan
Pada Pasal 47 ayat (1) Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, “Prajurit hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan.”
Memang aturan ini juga aneh. Orang sudah pensiun kok diberi jabatan apalagi PLT kepala daerah. Orang pensiun itu ya selesai masa kerjanya.
Dari bunyi Pasal 47 ayat (1) Undang-Undang 34 Tahun 2004 tentang tersebut, jelas bahwa prajurit yang masih aktif tidak diperbolehkan untuk menduduki jabatan sipil.
Kemudian, larangan bagi Polri diatur pada pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI yang berbunyi, “Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.”
Serupa dengan TNI, anggota Polri diperbolehkan menduduki jabatan di luar kepolisian apabila ia telah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.
Mengenai yang dimaksud dengan jabatan di luar kepolisian dijelaskan lebih lanjut dalam Penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU Kepolisian, “Yang dimaksud dengan “jabatan di luar kepolisian” adalah jabatan yang tidak mempunyai sangkut paut dengan kepolisian atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri.”
Perlu diketahui pula, anggota TNI/Polri tersebut tidak pernah diberhentikan dengan hormat, tidak atas permintaan sendiri atau tidak dengan hormat sebagai prajurit Tentara Nasional Indonesia atau anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia. Aturan ini sesuai pada Pasal 23 ayat (1) huruf c Peraturan Pemerintah No. 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil.
Hal serupa tertuang dalam Peraturan Pemerintah No. 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil yang merupakan turunan dari Undang-Undang Aparatur Sipil Negara (ASN). Pasal 23 (1) huruf d, “Setiap warga negara Indonesia mempunyai kesempatan yang sama untuk melamar menjadi PNS dengan memenuhi persyaratan sebagai berikut: tidak berkedudukan sebagai calon PNS, PNS, prajurit Tentara Nasional Indonesia, atau anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia”.
Aparatur Sipil Negara (ASN) adalah profesi bagi pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang bekerja pada instansi pemerintah. Kemudian, Pegawai Aparatur Sipil Negara adalah pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang diangkat oleh pejabat pembina kepegawaian dan diserahi tugas dalam suatu jabatan pemerintahan atau diserahi tugas negara lainnya dan digaji berdasarkan peraturan perundang-undangan. Dari pengertian tersebut, jelas bahwa pegawai ASN merupakan pegawai yang bekerja pada instansi pemerintah.
Selain itu pula, anggota TNI yang masih aktif pun dilarang untuk melakukan kegiatan bisnis tertuang pada Pasal 39 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, “Prajurit dilarang terlibat dalam: kegiatan menjadi anggota partai politik; kegiatan politik praktis; kegiatan bisnis; dan kegiatan untuk dipilih menjadi anggota legislatif dalam pemilihan umum dan jabatan politis lainnya.”
Dengan adanya larangan ini, selama masih aktif anggota TNI dilarang untuk menjadi pengusaha.
Sedangkan aturan bagi anggota POLRI yang masih aktif, diatur pada Pasal 5 huruf f Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia mengatur beberapa larangan bagi anggota Kepolisian RI dalam rangka memelihara kehidupan bernegara dan bermasyarakat, yaitu: memiliki saham/modal dalam perusahaan yang kegiatan usahanya berada dalam ruang lingkup kekuasaannya.
Jadi, penekanan larangan tersebut lebih kepada pencegahan kemungkinan terjadinya KKN antara perusahaan yang di dalamnya terdapat anggota POLRI dengan instansi kepolisian. Jika ditelaah dari bunyi pasal tersebut, tidak ada larangan bagi anggota POLRI yang masih aktif, baik untuk menjadi pemegang saham dalam perusahaan swasta nasional ataupun menjadi komisaris atau direksi perusahaan lain yang tidak berhubungan dengan Polri.
Sebagai penegak hukum kalau Polri tidak mampu menegakan hukum pada institusinya tentu akan menurunkan kepercayaan masyarakat. Hal ini seringnya Kapolri mengumbar jargon Presisi. Agar Polri mentaati aturan tidak rangkap jabatan juga bagian dari jargon Presisi.
Semoga ketegasan Kapolri masih tersisa di tengah badai Sambo yang melumat kepercayaan rakyat.@
*) Ketua Pusat Studi Kajian Rumah Pancasila