Oleh: Ahmad Khozinudin
BARU pengumuman hitung cepat, Prabowo sudah pidato layaknya pemenang. Prabowo, juga kembali melakukan ‘sujud syukur’. Entah syukur untuk apa, syukur atas kecurangan yang terjadi secara terstruktur, sistematis dan masif?
Film Dirty Vote, telah mengabarkan kepada kita betapa kotornya Pemilu 2024. Jadi, siapapun yang menang dan bangga akan kemenangan, itu hakekatnya bangga atas kecurangan yang menyebabkan mereka menang.
Hari ini kalaupun Prabowo menang, itu kemenangan Gibran dan Jokowi. Buktinya, 2019 lalu berhadapan dengan Jokowi Prabowo kalah.
Pantas, Gibran pernah berkata :
“tenang Pak Prabowo, saya sudah ada di sini”.
Maksudnya, Jokowi telah back up penuh, dengan berbagai sarana dan sumber daya yang dia miliki selaku Presiden. Wajar saja, Jokowi sesumbar “Kalian Hebat Kalau Bisa Mengalahkan Saya”.
Untuk apa selebrasi kemenangan, di tengah proses Pemilu yang curang dan kotor? Bagi orang yang punya reputasi, wibawa dan harga diri, pasti malu. Namun benar kata Bivitri, untuk menang curang hanya butuh mental culas dan tahan malu (muka tembok).
Kalau mereka punya malu, tentu tak akan berani menampakan batang hidung dihadapan publik. Mereka, juga malu untuk klaim kemenangan, apalagi sujud syukur. Mereka tidak sadar, sedang melakukan selebrasi diatas cibiran dan cemoohan. Tapi mereka sudah menyiapkan mental tahan malu.
Peduli setan disebut curang, yang penting menang. Kalau tuduh, silahkan ke Bawaslu dan MK. Begitu pula, arahan Jokowi terkait Pemilu curang.
Umat Islam saat ini memang dilematis. Diam, seolah mengakui kecurangan. Melawan, khawatir dikhianati seperti tahun 2019.
Karena itu, umat Islam harus kembali kepada akidahnya, kembali pada perjuangan yang lurus yakni dakwah Islam. Dakwah untuk menerapkan syariah dan khilafah. Sudah saatnya, umat Islam meninggalkan demokrasi yang selalu berkhianat dan curang pada perjuangan umat Islam.
Sudah saatnya, umat Islam fokus mengerahkan seluruh energi dan sumber daya untuk tegaknya syariat Islam. Jangan sampai ada penyesalan untuk yang kesekian kalinya, menjadi tumbal demokrasi.
Prabowo adalah monumen pengkhianatan bagi umat Islam. Dia, yang pernah berjanji timbul dan tenggelam bersama rakyat, nyatanya timbul bersama kekuasaan dan meninggalkan rakyatnya sendirian tenggelam.
Hari ini, Prabowo merayakan kemenangan bersama Jokowi, orang yang dahulu dituduhnya curang, antek asing, antek aseng. Begitulah, politisi dalam sistem demokrasi. Tak punya harga diri, wibawa dan kehormatan.@
*) Sastrawan Politik
Discussion about this post