Oleh: Ahmad Khozinudin
JANGAN anggap remeh opini umum, termasuk dalam urusan Pemilu. Boleh saja Anda punya suara, tetapi jika Anda sudah diopinikan kalah, maka suara anda tak lagi bernilai. Anda tidak dapat suara, sudah tepat karena Anda diopinikan kalah. Anda dapat suara, Anda tetap kalah, karena suara yang Anda dapatkan akan dianggap hasil curang.
Begitulah nasib pasangan Prabowo Gibran. Statusnya kena skak ster. Terpaksa memakan buah simalakama. Apa sebabnya?
Siapapun tidak bisa menampik bahwa kampanye dan keberpihakan Jokowi adalah untuk 02. Seluruh Paslon mengkritik keberpihakan Jokowi, kecuali paslon 02.
Sehingga, opini umum yang terbentuk adalah Jokowi curang untuk mendukung Prabowo Gibran, dan Prabowo Gibran mendapatkan keuntungan dari kecurangan Jokowi sehingga mendiamkan. Karena itu, berapapun perolehan suara Prabowo Gibran tidak akan dipercaya publik.
Menang, dianggap curang. Kalah, disebut biasa karena memang tidak memiliki basis dukungan. Begitu konsekuensi dari opini yang berkembang saat ini.
Apalagi, segenap elemen kampus dari UGM hingga UI sudah ikut suara. Bahkan, jaringan kampus Muhammadiyah juga lantang bersuara setelah pernyataan PP Muhammadiyah melalui Majelis hukum dan HAM PP Muhammadiyah diabaikan.
Jadi, jangan anggap menang itu hanya faktor menguasai KPU, MK dan TNI Polri. KPU untuk memberikan putusan kemenangan, MK untuk melegalkan kemenangan, TNI Polri untuk menjaga kemenangan.
Ingat! Masih ada kekuatan Rakyat. Tanpa legitimasi dari rakyat, keputusan KPU dan MK tidak bernilai. Tanpa dukungan rakyat, penjagaan kekuasaan oleh TNI dan Polri tidak ada artinya.
Sayangnya, posisi Prabowo Gibran sudah terkunci. Sulit untuk keluar dari persepsi memanfaatkan kekuasaan Jokowi dan kalau menang akan dianggap menang curang.
Jadi, kalau pemenang Pilpres adalah Prabowo Gibran, rakyat pasti kompak akan menganggapnya curang. Apalagi, jika kemenangan itu dipaksakan satu putaran.
Situasi yang dihadapi Prabowo Gibran sulit. Sampai-sampai, penulis juga bingung bagaimana mencarikan jalan keluarnya.@
*) Sastrawan Politik