Oleh: Oki Lukito
SIAGAINDONESIA.ID Wakil Rakyat Provinsi Jawa Timur saat ini tengah membahas Raperda Tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2019 Tentang Badan Usaha Milik Daerah. Perubahan ini diajukan gubernur untuk memperbaiki tata kelola BUMD agar lebih transparan, profesional, dan akuntabel sesuai dengan perkembangan regulasi terbaru. Kita berharap lahirnya regulasi ini mampu mengakselerasi belasan BUMD Jatim agar tidak lagi menjadi bulian karena setor deviden PAD kecil bahkan hingga ada ‘ancaman’ amputasi.
Salah satu pasal yang mendesak untuk direvisi di Perda BUMD yaitu Pasal 9 ayat 1 yang menyatakan bahwa penyertaan modal Pemerintah Provinsi untuk pendirian BUMD yang berupa barang milik daerah berbentuk tanah dan/atau bangunan tidak boleh dipindahtangankan ke pihak lain. Dengan persyaratan tertentu seyogyanya aset tersebut boleh dipindahtangankan untuk mengatasi faktor permodalan yang selama ini menjadi kendala.
Jika dicermati DPRD selalu terlibat pembahasan kinerja BUMD. Akan tetapi juga perlu dipertanyakan kontribusinya sebab jika diperhatikan dari tahun ke tahun, dari periode ke periode lima tahunan kondisi BUMD tidak banyak berubah tetap tinggal di landasan. Jauh dari obsesi tinggal landas. Hal penting lainnya yang dianggap menghambat adalah BUMD yang mengelola aset puluhan triliun itu di bawah komando seorang Kepala Bagian di Biro Perekonomian Setdaprov Jatim yang kewenangannya sangat terbatas. BUMD idealnya langsung di bawah koordinasi gubernur atau wakil gubernur.
Bukan rahasia umum permodalan adalah salah satu faktor yang menyebabkan BUMD sulit berkembang. Penyertaan modal dari Pemprov Jatim tidak lagi bisa diharapkan. Modal diibaratkan nutrisi. Semakin banyak modal dikucurkan semakin besar peluang suatu usaha untuk melipatgandakan keuntungan. Ibarat ayam membutuhkan pakan full nutrisi agar sehat dan sering bertelur. Bukan sebaliknya ayam dipukuli dipaksa supaya bertelur.
Sangat memprihatinkan dari sekian banyak BUMD sebagian besar memberikan kontribusi PAD minim. Pada Tahun 2024 tercatat Bank Jatim dan BPR Jatim memberikan setoran deviden di atas 8 miliar. Bank Jatim yang sedang bermasalah kredit fiktif tercatat setor deviden Rp 417 miliar selebihnya belasan BUMD setor di bawah 5 miliar dan terjadi penurunan setoran.
Sebetulnya sangat memungkinkan badan usaha plat merah tersebut berkembang jika diberikan kebebasan mencari modal dari lembaga keuangan maupun lembaga non Bank dengan jaminan atau pelepasan aset. Contoh berdirinya Danantara atau perusahaan induk (holding company) yang menggabungkan semua BUMN dan berencana menjaminkan dan menjual sahamnya untuk meningkatkan likuiditas.
Lahirnya Danantara seharusnya menginspirasi wakil rakyat dan gubernur serta jajarannya agar open minded bahwa mengelola aset BUMD secara profesional adalah keniscayaan. Apalagi pemerintah sedang berupaya mengejar target pertumbuhan ekonomi 8 persen yang didorong juga oleh sektor investasi. Peluang untuk mendirikan BUMD Holding terbuka lebar. Kemauan politik saja tidak cukup. Diperlukan political brave untuk mendongkrak kemajuan BUMD.
Usulan mereview atau mengkaji ulang Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2017 Tentang BUMD, Pasal 95 ayat 2 serta merevisi Perda Provinsi Jatim Nomor 8 Tahun 2019 Tentang BUMD Pasal 9 ayat 1 mendesak dilakukan jika menginginkan BUMD sehat dan mampu memberikan kontribusi PAD yang lebih besar.
Dalam konteks BUMD, perusahaan holding ini diyakini dapat membantu pemerintah daerah mengelola aset daerah secara lebih efektif dan efisien, serta meningkatkan pendapatan daerah. Diperkirakan aset BUMD Jatim mencapai puluhan triliun. Aset perusahaan ini sangat penting bagi calon investor serta dapat membantu investor menilai perusahaan dan potensi return on investment (ROI).
*Dewan Pakar PWI Jatim
Discussion about this post