SIAGAINDONESIA.ID Salah satu isi dokumen Peraturan Daerah (Perda) No 10 Tahun 2023 Tentang RTRW Wilayah Provinsi Jawa Timur Tahun 2023-2043 yaitu soal penempatan lokasi dumping di tiga lokasi (Lampiran XVIII Matriks Ketentuan Kegiataan Pemanfaatan Ruang Laut hal. 75). Berdasarkan penulusuran, lokasi dumping tersebut tidak tercantum di Perda No 1 Tahun 2018 tentang RZWP3K Provinsi Jawa Timur Tahun 2018-2038. Hal tersebut semakin menguatkan dugaan bahwa lokasi dumping ‘pesanan’. Demikian dikatakan Direktur LBH Maritim Indonesia, I Komang Aries Dharmawan.
Sebelumnya diakui Kadishub Jatim, Nyono, lokasi dumping di Perairan Gresik berdasarkan usulan Dishub Jatim. Alasannya, antara lain di wilayah tersebut tidak ada ekosistem perairan dan termasuk area lintas kapal. “Ini kesalahan fatal dishub sebab di area tersebut termasuk zona fishing ground atau Wilayah Perikanan Tangkap (WPPN RI 712) dan Zona Perikanan Budidaya,” ungkap Komang. Di lokasi dumping tersebut saat ini PT. Semen Indonesia Gresik sedang berproses pengurusan ijin PKKPRL di Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Sedangkan lokasi dumping di Perairan Tuban diketahui atas usulan PT. Pertamina-Rosneft yang merupakan Proyek Strategis Nasional. Di lokasi dumping tersebut Pertamina-Rosneft akan melakukan aktivitas dredging. Demikian pula PT. Semen Indonesia Tuban sedang berancang-ancang untuk melakukan hal yang sama sebagaimana dikatakan Kadis Lingkungan Hidup Jatim, Jempin Marbun. Sementara lokasi dumping di Samudra Hindia (Banyuwangi Selatan) disulkan oleh perusahaan penambang emas di Gunung Tumpang Pitu, PT. Bumi Suksenindo.
Disesalkan Komang pernyataan Ketua Pokja dan Wakilnya yakni Kadis Lingkungan Hidup dan Kadis Kelautan dan Perikanan Jatim. Keduanya terkesan lepas tangan terhadap penempatan lokasi dumping. Menurut Komang di SK Gubernur No. 188/156/KPTS/013/2022 Tim Penyusun Dokumen Integrasi Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil ke Dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa Timur menunjuk 16 OPD di lingkup Pemprov.
“ Surat Keputusan Gubernur yang disebutkan bukan nama-nama pribadi dari kepala dinas akan tetapi, nama lembaga sehingga siapapun yang menjabat harus bertanggung jawab,” tegas Komang. Adapun menanggapi pernyataan Kadis LH bahwa SK Gubernur sudah habis masa berlakunya, hal tersebut menurut Komang mengada-ada dan tidak diatur di dalam SK tersebut.
Menyoroti kinerja Pokja yang terkesan lepas tangan dan buruknya kordinasi antaranggota dicontohkan Komang, tidak dilibatkannya PT. APBS sebagai pengelola Alur Pelayaran Barat Surabaya serta tidak dilibatkannya KSOP, Distrik Navigasi dan Unit Penyelenggara Pelabuhan dalam penetapan zona dumping. Padahal diatur di dalam Peraturan Menteri Perhubungan No PM 53 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 125 Tahun 2018 tentang Pengerukan dan Reklamasi, pasal 6 ayat 1.
“Lokasi Pembuangan Hasil Pengerukan (Dumping Area) di laut dan atau di darat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) ditetapkan oleh Penyelenggara Pelabuhan berdasarkan dokumen lingkungan hidup yang disahkan oleh instansi yang berwenang.” Tandas Komang.
Lebih lanjut Komang mengatakan sesuai dengan salah satu tugas dari KSOP adalah pelaksanaan pengawasan keselamatan dan keamanan pelayaran terkait dengan kagiatan bongkar muat barang berbahaya, barang khusus, limbah bahan berbahaya dan beracun (B3), pengisian bahan bakar, ketertiban embarkasi dan debarkasi penumpang, pembangunan fasilitas pelabuhan, pengerukan dan reklamasi, laik layar dan kepelautan, tertib lalu lintas kapal di perairan pelabuhan dan alur pelayaran, pemanduan dan penundaan kapal, serta penerbitan Surat Persetujuan Berlayar. Oleh karenanya penting sekali KSOP setempat itu dilibatkan.
Sementara itu, Kasie Lalu Lintas Laut KSOP Gresik, M. Devry yang dihubungi terpisah mengatakan , dirinya belum bisa menanggapi, karena belum mendapatkan informasi yang jelas. “Sampai dengan saat ini kami belum pernah diajak koordinasi terkait hal tersebut. Menurutnya, hal ini penting mengingat koordinator kegiatan pemerintahan di pelabuhan adalah KSOP atau KUPP setempat.
Bak gayung bersambut , soal revisi Perda RTRW mendapat respon cukup antusias dari berbagai pemangku kepentingan. Ketua KNTI Jawa Timur, Misbachul Munir yang juga salah satu ketua KNTI pusat mengatakan, apapun kegiatan yang mengatasnamakan dumping dan dredging adalah aktivitas yang merusak ekosistem laut. “Apalagi jika kegiatan tersebut berada di wilayah fishing ground. Ikannya jadi beracun, nelayannya terpuruk,” ujarnya.
Sementara itu Ketua HNSI Jawa Timur, Kamil Anadjib mengatakan, revisi Perda dianggap perlu dan penting apabila peruntukannya tidak sesuai atau kurang pas dengan peradaban di masyarakat setempat apalagi merugikan. “Maka hal ini perlu disegerakan agar tidak dijadikan dasar hukum untuk menentukan kebijakan,” kata Kamil.
Di sisi lain Direktur WALHI Jawa Timur, Wahyu Eka Setyawan mengatakan, Perda tersebut sejak awal memang harus direvisi, untuk hal-hal krusial, seperti dumping dan memperbolehkan menambang di kawasan hutan lindung. “Artinya memang harus ada review ulang Perda RTRW tersebut, dan harus direvisi karena sejak direvisi ulang, rancangan perda-nya tidak dibuka untuk publik,” ungkapnya. @masduki