Oleh: Daniel Mohammad Rosyid (@Rosyid College of Arts)
Di era post-truth di mana kebohongan disemburkan terus menerus melalui banyak media, lalu elektabilitas dipuja dan musyawarah dianggap usang dan ditinggalkan dalam proses-proses pengambilan keputusan publik, penting untuk mencermati sinyalemen Yudha Heryawan Asnawi.
Yudha berkata bahwa salah satu buku Antropologi yang beberapa kali dibacanya adalah tulisan Jan Newberry, antropolog Kanada yang menulis buku Back Door Java. Jan memotret kehidupan rumah tangga kelas pekerja Jawa yang dipenuhi ritual, aturan tak tertulis, dan irama kolektif.
Pintu belakang— Back door ~ simbol domestikasi—berfungsi lebih dari sekadar perantara ruang. Ia adalah jalur informal, penuh hirarki dan negosiasi, tempat negara dan individu saling mengintip tanpa pernah benar-benar bersitatap. Begitulah pintu: batas sekaligus peluang.
Yudha melanjutkan, dalam bahasa Jawa, pintu disebut “lawang”, pembuka sekaligus penutup. Dalam bahasa Belanda, “deur” mengindikasikan keteraturan; masuk melalui yang resmi. Pintu adalah pilihan: kau masuk, keluar, atau sekadar berdiri ragu di ambangnya.
Lebih jauh Yudha menulis bahwa secara teknis arsitektur, pintu adalah solusi; ia menyatukan dua ruang terpisah tanpa melarutkan identitas masing-masing. Secara antropologis, pintu adalah medium; simbol budaya yang melampaui fisik, tempat nilai, kekuasaan, dan norma bertransaksi. Sementara secara sosiologis, pintu adalah metafora; titik temu antara individu dan masyarakat, antara privat dan publik, antara aku dan kita.
Dalam riset akademik, pintu adalah tahapan metode ilmiah: mulai dari observasi (mengetuk), eksperimen (melangkah masuk), hingga konklusi (menutup kembali).
Musyawarah ibarat pintu ketabahan ilmuwan dalam menyusun kebenaran, satu lapis demi satu lapis.
Saya sependapat saat Yudha mencoba membawa ruang imajinasi tentang pintu ke dalam dunia riset akademik, khususnya di Indonesia. Riset di Indonesia sering kali menghadirkan paradoks: pintu pengetahuan yang terlihat terbuka ternyata bersekat-sekat tak kasatmata. Secara teknis, pintu akses data sering terkunci oleh birokrasi dan politisasi. Secara antropologis, riset kerap menjadi ruang eksklusif yang kehilangan sentuhan lokal.
Secara sosiologis, hasil penelitian lebih sering mengetuk pintu kekuasaan daripada pintu masyarakat. Sang ilmuwan berdiri di antara kehendak akademik yang luhur dan realitas yang penuh kompromi.
Di sini, pintu seperti musyawarah menjadi beban: apakah ia membuka ruang inovasi, atau justru membatasi langkah di bingkai kaku?
Di tengah kisruh banyak Proyek Strategis Nasional sebagai investasi publik yg mendominasi wacana publik akhir-akhir ini, saya mendapati bahwa pintu bisa bermakna musyawarah: sebuah cara menemukan solusi dari berbagai tawaran pandangan dan sikap dari banyak pihak dengan kepentingan yg berbeda bahkan bertabrakan. PSN diturunkan dari UU Omnibus Law Cipta Kerja, sangat teknokratik dan top down sehingga sarat dengan bias politik dari perspektif administrasi publik. Yudha menulis bahwa di balik paradoks itu, seperti musyawarah, pintu juga mengajarkan hikmah: untuk menemukan jalan, ilmuwan harus belajar rendah hati.
Para musyawirin harus mengetuk, mendengar, dan memahami bahwa kebenaran ilmiah bukanlah hasil dari sekali membuka, melainkan dari keberanian terus-menerus untuk masuk dan memahami ruang baru. Dalam dunia akademik, pintu yang tertutup bukanlah akhir, melainkan undangan untuk menciptakan kunci—sebuah karya, sebuah solusi, sebuah jawaban yang menghidupkan.
Dalam konteks PSN yang top down dan sangat teknokratik, musyawarah para pemangku kepentingan sebagai proses-proses bottom-up di tingkat lokal bisa merekonstruksi impian nasional dan pengembang menjadi impian bersama warga setempat bahwa no one is to be left behind.
Pembangunan mensyaratkan investasi apalagi untuk mencapai pertumbuhan tinggi. Obsesi pertumbuhan tinggi ini, sejak UUD2002 berlaku telah menjadikan ersatz capitalism era Soeharto menjadi full-fledged capitalism era Jokowi.
Di tengah narasi-narasi marxian yg mendominasi wacana publik, PSN harus direkonstruksi agar lebih inklusif dan memeratakan, bukan invasif, merusak lingkungan apalagi menggusur penduduk. Dampak-dampak negatif PSN perlu dikelola secara cermat.
Begitulah pintu, seperti musyawarah sebagai proses mengambil solusi bersama, dalam segala ambigunya, mengajari kita seni memahami. Bahwa di balik satir dan kebuntuan, selalu ada ruang untuk pencerahan. Bahwa pintu yang tampak rapuh kadang menyimpan rahasia yang paling kokoh: keberanian untuk terus melangkah, meski ruang di baliknya gelap dan tak pasti. Di sana, ilmu menjadi cahaya, dan pintu menjadi metafor keabadian pencarian manusia agar tidak cepat berhenti karena merasa benar sendiri.@
Discussion about this post