SIAGAINDONESIA.ID Petisi 100 Penegak menuntut agar Presiden Jokowi segera dimakzulkan karena pelanggaran amanat konstitusi, prinsip-prinsip HAM, sejumlah UU/peraturan dan dugaan berbagai tindakan KKN.
Desak pemakzulan ini pernah disampaikan Petisi 100 pada Juli 2023 lalu di Ruang GBHN, Nusantara V, Gedung DPR-MPR RI, Senayan, Jakarta.
Setelah setahun berlalu, Petisi 100 menilai lembaga-lembaga negara seperti DPR dan MPR yang seharusnya melakukan proses pemakzulan telah gagal melakukan tugas dan fungsi konstitusionalnya.
Koordinator Petisi 100 Marwan Batubara dalam keterangan tertulisnya, Kamis (11/7) menilai menurut Pasal 7A UUD 1945, delik untuk terjadinya pemakzulan, baik berdasar pertimbangan administrarif, moral dan hukum sudah lebih dari cukup.
“Salah satu sebab gagalnya DPR memulai proses pemakzulan melalui pelaksanaan Hak Angket diyakini karena terjadinya politik penyanderaan di satu sisi, dan terjadinya dugaan korupsi oleh sejumlah anggota parlemen di sisi lain,” kata Marwan.
Marwan menambahkan, saat ini ambisi rezim oligarki untuk tetap mencengkeram kekuasaan demikian besar, sehingga merasa sangat nyaman untuk melakukan politik kekuasaan menghalalkan segala cara.
“Sebagai pemimpin eksekutif, Joko Widodo telah menempatkan diri di atas dua cabang kekuasaan lain, yakni kekuasaan legislatif, DPR yang telah dilumpuhkan melalui “politik sandera” dan kekuasaan yudikatif, MK dan MA, yang diduga berlangsung melalui politik bernuansa Korupsi Kolusi Nepotisme (KKN) dan otoriter,” tegasnya.
Dalam Petisi 100 pada Juli 2023, lanjutnya, pengkhianatan (sesuai terminologi Pasal 7A UUD 1945) Presiden Joko Widodo terhadap konstitusi antara lain adalah penerbitan Perppu tanpa dasar kegentingan memaksa (melanggar Pasal 22 UUD 45), menerbitkan Perpres APBN pengganti UU dengan mengeliminasi hak DPR (melanggar Pasal 23 UUD 45), membentuk UU IKN dan UU Ciptaker dengan mengeliminasi hak partisipasi publik/rakyat (melanggar Pasal 1 ayat (2), Pasal 27 dan Pasal 28E, UUD 45).
Selain itu tindakan pelanggaran HAM berat dalam peristiwa pembunuhan KM 50 juga dianggap melanggar Pasal 28 UUD 45 dan UU No.26/2000). Di antaranya dengan membiarkan proses penyelidikan dan penyidikan oleh pihak kepolisian bukan oleh Komnas HAM.
“Padahal pelaku kekerasan dalam KM 50 adalah aparat hukum itu sendiri. Hal ini menunjukkan sangat kuat dugaan Jokowi telah melindungi pelaku utama dari kasus KM 50,” urainya.
Sementara koordinator Petisi 100 Syafril Sjofyan menilai, Joko Widodo diyakini telah berkhianat terhadap konstitusi dengan menetapkan UU Minerba No.3/2020 pro oligarki (melanggar Pasal 33, Pasal 27, Pasal 28E UUD 1945). Hal ini, menurutnya, merugikan negara lebih dari Rp 7000 triliun.
“Program hilirisasi atau “seperempat hilirisasi”, serta berbagai kebijakan pro oligarki pro China dan insentif pajak, termasuk pencaplokan tambang milik BUMN dan penyelundupan bijih nikel, telah menguntungkan RRC dan merugikan negara ribuan triliun,” tuturnya.
Joko Widodo juga dianggap sebagai tokoh sentral di balik terbitnya Putusan MK No.90/ 2023 yang memungkinkan Gibran putranya lolos menjadi Cawapres.
“Intervensi otoriter Jokowi terhadap MK ini telah mengangkangi amanat reformasi, melanggar TAP MPR No.XI/1998, Pasal 24 UUD 1945 dan Pasal 22 UU No.28/1999,” tegasnya.
Hal lainnya, Jokowi dinilai telah bertindak tidak adil dengan menginstruksikan lembaga-lembaga Polri, BUMN, ASN, kepala-kepala daerah hingga kepala desa guna memenangkan Paslon No.2 (melanggar Pasal 9 UUD, Pasal 9 UU No.20/2023, dan Pasal 29 UU No.2/2002), mengubah kebijakan APBN dan ikut membagikan Bansos (melanggar Pasal 9 dan Pasal 23 UUD).
Intervensi otoriter atau cawe-cawe (istilah ini sengaja diperlunak) Jokowi terhadap lembaga yudikatif masih berlanjut.
“Setelah terlibat rekayasa Putusan MK No.90/2023 guna meloloskan Gibran jadi Cawapres, Jokowi diyakini terlibat sangat kuat atas terbitnya Putusan MK No.23 guna meloloskan Kaesang putranya menjadi Cagub/Cawagub. Maka otoriterianisme Jokowi guna tetap mencengkeram kekuasaan melalui politik dinasti nepotism semakin nyata dan berjalan lancar,” tandasnya.
Yang tidak kalah pentingnya, Jokowi dianggap telah bersikap otoriter dengan memindahkan 52% anggaran pendidikan menjadi dana desa. Ini berpotensi melanggar Pasal 23 dan 31 UUD 1945.
“Akibatnya biaya pendidikan mahal, tingkat putus sekolah tinggi dan daya tampung sekolah berkurang. Bonus demografi tidak dimanfaatkan secara optimal untuk mencerdaskan dan memajukan bangsa,” ujarnya.
Dalam hal membangun IKN serta infra struktur tol, pelabuhan, bandara dan kereta api cepat berbiaya mahal, Jokowi dinilai tanpa dukungan studi kelayakan, prioritas kebutuhan dan kemampuan keuangan negara, serta sarat pula dengan dugaan KKN dan mark-up biaya.
“Kebijakan ini antara lain telah meningkatkan hutang dan bunga hutang negara, serta membangkrutkan sejumlah BUMN dan beban APBN/biaya operasi kedepan,” imbuh Syafril.
Sikap nepotis dan menghalalkan segala cara oleh Jokowi jelas melanggar prinsip-prinsip moral dan Pancasila, serta sekaligus mengangkangi amanat reformasi dan melecehkan kehidupan demokrasi. Petisi 100 menilai pelanggaran berbagai ketentuan konstitusi dan UU/ peraturan jelas menunjukkan pengkhianatan Jokowi terhadap UUD 1945.
Karena itu Petisi 100 sebagai gerakan perlawanan rakyat dan sekaligus banteng terakhir demokrasi dan daulat rakyat belum bersatu dan tidak massif untuk menghentikan rezim Jokowi.
Maka, setelah gugatan pemakzulan Petisi 100 pada Juli 2023, bukannya berakhir atau lengser karena berbagai pelanggaran moral, konstitusional dan UU, Jokowi justru semakin merajalela menjalankan agenda politik kekuasaan melalui berbagai intervensi melanggar UUD 45, konstitusi dengan kebijakan otoriter.
Sejalan dengan fakta-fakta pelanggaran moral, konstitusional dan legal di atas serta demi tegaknya daulat rakyat, maka Petisi 100 menyatakan sikap sebagai berikut:
Pertama, menuntut agar DPR dan MPR segera memproses pemakzulan Joko Widodo.
Kedua, menuntut berlangsungnya berbagai upaya optimal dari segenap komponen bangsa, agar Jokowi selain dimakzukan seperti disebut pada point pertama diatas, juga sangat patut dimintakan pertanggungjawabannya melalui proses hokum dimuka Pengadilan.
Ketiga, menuntut agar Gibran sebagai anak haram konstitusi yang tidak legitimate agar tidak dilantik menjadi Wakil Presiden.
Keempat, menuntut agar ASN, TNI dan Polri bersikap netral sesuai konstitusi dan UU, serta tidak tunduk memihak kepentingan rezim nepotisme dan pengusaha oligarkis.
Kelima, mengajak seluruh elemen bangsa untuk bersuara dan berjuang demi memulihkan demokrasi dan kedaulatan rakyat yang telah dirampas oleh rezim oligarki nepotis.
Demikian pernyataan Petisi 100 dibuat dan disampaikan sebagai wujud tanggung jawab bersama dalam menegakkan kedaulatan rakyat berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Badan Pekerja PETISI 100 Plus:
1. Laksamana TNI Purn. Slamet Soebijanto
2. Jenderal TNI Purn. Tyasno Sudarto
3. Letjen TNI Mar. Purn. Suharto
4. Dr. Marwan Batubara
5. Dr. Anthony Budiawan
6. Mayjen TNI Purn. Soenarko
7. Dr. Abdullah Hehamahua, SH., MM.
8. HM. Mursalin
9. Habib Muhsin Alatas
10. Dindin S Maolani, SH.
11. Prof. Dr. H. Sanusi Uwes, MPd.
12. Mayjen TNI Purn. Deddy S. Budiman
13. Ir. H. Tito Roesbandi
14. Dr. Ir. Memet Hakim
15. HM. Rizal Fadillah, SH.
16. Memet Hamdan, SH., MSc.
17. Ir. Syafril Sjofyan, Bk.Teks., MM.
18. Mayjen TNI Purn. Robby Win Kadir
19. Brigjen TNI. Purn Hidayat Purnomo
20. Dr. M. Taufik, SH., MH
21. KH. Syukri Fadholi, SH., MKn
22. KH. Solachul Aam Wahib Wahab (Gus Aam)
23. Sutoyo Abadi
24. Donny Haricahyono
25. Dr. Abuya Shiddiq
26. Ir. Budi Riyanto
27. Laksma Purn. TNI Dr. Soni Santoso, SH., MH.@