Oleh: Isa Ansori
MENCERMATI pengumuman pilpres tanggal 20 Maret 2024 yang memenangkan pasangan Prabowo-Gibran, nampaknya dinamika politik menuju kursi presiden dan wakil presiden belum berakhir sampai pada pelantikan tanggal 20 Oktober 2024.
Setidaknya kita bisa melihat dan meganalisanya dengan mengkolaborasi peristiwa politik dari tiga perspektif, yaitu persepektif pertama sebelum pendaftaran ke KPU dan penetapan bakal calon, kedua masa kampanye sampai dengan pencoblosan dan yang ketiga pasca pencoblosan.
Persepektif sebelum pendaftaran calon ke KPU, dimana Jokowi sebagai presiden terlihat sangat digdaya, bagaimana mengintervensi partai politik dengan cawe cawenya untuk menghadang calon diluar skenarionya.
Setelah gagal menskenario presiden tiga periode dengan berbagai dalih dan alasan, gagalnya upaya itu dikarenakan Nasdem keluar dari skenario itu dengan mencalonkan Anies Baswedan dan ketidaksetujuan PDIP melalui Megawati bahwa tiga periode jabatan presiden, merupakan pelanggaran kosntitusi. Gagalnya upaya tiga peride tidak menyurutkan Jokowi untuk mencari cara agar upaya memegang kendali kekuasaan tetap berlanjut dengan menempatkan orang orang pilihannya.
Meski pada awal-awal Jokowi berupaya mendorong Ganjar dan berpasangan dengan Eric Thohir, namun pada akhirnya dominasi Jokowi terhadap Ganjar ditutup rapat oleh Megawati dengan mengatakan bahwa pemilihan capres dan cawapres PDIP merupakan hak prerogatif ketua umum.
Meski demikian, pada fase ini, Jokowi masih kelihatan sangat digdaya, terbukti mampu mengendalikan partai-partai dalam koalisi pemerintahannya dengan meninggalkan PDIP, cawe-cawe Jokowi, melahirkan pasangan Prabowo-Gibran dengan jalan mengintervensi keptusan batas usia minimal calon melalui keptusan Sang Paman, Anwar Usman yang menjabat sebagai ketua MK.
Jokowi sukses mencengkram partai-partai di dalam koalisi pemerintahannya, PAN, Gerindra, Golkar karena berbagai kasus yang menyandera para ketua partai dan partai dan belakangan partai Demokrat setelah gagal memaksakan AHY sebagai cawapres Anies.
Partai Nasdem, PKB dan PDIP serta PPP yang merupakan bagian dari koalisi pemerintahan, memilih jalan lain dengan mencalonkan pasangan yang tidak dalam posisi bersama Jokowi. Partai Nasdem dan PKB memasangkan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar sedang PDIP dan PPP mencalonkan Ganjar Pranowo-Mahfud MD.
Pilihan jalan yang berbeda inilah membuat Jokowi geram terhadap partai-partai politik yang berseberangan ini, sehingga uapaya menghadang dengan berbagai cara menggunakan instrument kekuasaan dilakukan, mencoba membongkar kasus-kasus masa lalu dan mencari cela untuk mentersangkakan para calon di luar koalisi yang didukungnya.
Upaya itupun gagal setelah pendaftaran dan penetapan calon melalui KPU.
Ambisi Jokowi memenangkan pasangan Prabowo-Gibran tak bisa dibendung, dengan menggunakan kekuasaan dan isntrumen yang dimiliki, Jokowi habis-habisan dilakukan, bahkan dana bansos yang seharusnya dikeluarkan pada triwulan pertama pada bulan ketiga, bulan Maret sebesar 497 T dipaksakan untuk digelontorkan lebih awal sebelum pencoblosan, terakhir melalui dengar pendapat DPR RI, Komisi VIII dengan Mensos Risma, terindikasi bahwa sejumlah 78 T dana Bansos dalam kendali Mensos, selebihnya Menteri Risma tidak mengetahui.
Sampai di sini, Jokowi sangat digdaya dan berkuasa menjalankan ambisi-ambisinya, namun juga harus diakui bahwa koalisi pemerintahan Jokowi semakin berkurang karena ditinggalkan oleh Partai Nasdem, PKB, PDIP dan PPP.
Kabinet Jokowipun terbelah dengan mundurnya Mahfud MD menjadi cawapres Ganjar. Bahkan Mahfud cukup keras mengkritik Jokowi dengan politik dinastinya pada saat debat cawapres.
Pada masa pencoblosan nampaknya dugaan Jokowi bermain untuk memenagkan pasangan Prabowo-Gibran semakin kasat mata, dengan melakukan manipulasi opini melalui sirekap KPU yang dibantu oleh lembaga-lembaga survey suruhan. Terbukti kemudian bahwa server sirekap ini tidak dalam kendali KPU.
Bahkan menurut Roy Suryo, pakar telematika, menuding Sistem Informasi Sirekap ini tidak layak pakai. Penuh kejanggalan, menurutnya Sirekap mengalami beberapa perubahan padahal proses rekapitulasi sedang berlangsung. Pada tangal 14 Februari 2024, Sirekap sengaja dimatikan dengan dalih terkena serangan hacker, padahal menurut dugaannya memang sengaja dimatikan, karena untuk memasukkan script hasil “kecurangan”.
Roy mengamati pada hari pertama jam 19.00, belum ada TPS yang masuk, namun perhitungan sudah tercatat, Paslon 1, 24 %, Paslon 2, 58 % dan Paslon 3, 17 %. Bagi Roy ini merupakan kejanggalan.
Pada masa inilah kemudian terjadi banyak protes dari kubu 01 dan 03, sehingga melahirkan “koalisi bersama 01 dan 03” untuk melawan proses dan hasil pemilu yang dianggap penuh dengan kecurangan.
Seperti diduga, bahwa paslon 02 akan menang satu putaran dengan jumlah 58 % membuat hari-hari menjelang pengumuman, suasana politik daerah-daerah dan Jakarta semakin memanas, bahkan demo-demo memprotes kecurangan pemilu eskalasinya semakin meningkat.
Sikap aparat sepertinya semakin terlihat lebih longgar dan netral memperlakukan para demonstran, terbukti demo di depan KPU berlangsung sampai malam hari, meski juga tidak terlepas dari perilaku kekerasan aparat terhadap demonstran.
Kelonggaran sikap ini bisa dibaca bahwa menjelang diumumkannya perolehan hasil suara pilpres bahwa pengaruh Jokowi juga akan semakin berkurang. Para loyalisnya akan lebih banyak mendekat kepada Prabowo, karena jaminan kepastian masa depan partai politik pendukung akan berada di tangan Prabowo. Hal yang wajar mereka akan mendekat kepada Prabowo dan akan meninggalkan Jokowi secara perlahan.
Lalu amankah posisi Prabowo dan Gibran? Tentu masih belum setidaknya sampai dengan tanggal 20 Oktober 2024, saat pelantikan. Karena proses pemilu pilpres masih belum selesai dan masih menghadapi gugatan oleh kedua kubu paslon 01 dan 03. Bahkan masing-masing menyiapkan data hasil dan proses selama pemilu berlangsung yang mengindikasikan kecurangan. Bahkan kubu 01 melalui saksi-saksi yang disebar oleh PKS berhasil mengumpulkan data C1 dari seluruh TPS yang ada di Indonesia.
Suasana itulah yang kemudian membuat Jokowi cemas dan perlu bertemu Surya paloh dan meninggalkan PDIP. Surya paloh dianggap sebagai mitra yang masih bisa diajak bicara. Ajakan Jokowipun disambut baik oleh SP dan bertemulah mereka.
Langkah SP ini tidak bisa dianggap sebagai langkah cari aman dan pragmatis begitu saja, meski sejatinya banyak parpol yang bersikap seperti itu, berorientasi kekuasaan semata. Bisa diduga apa yang dilakukan oleh SP ini adalah langkah taktis untuk mengamankan partai dan mengawal sidang MK agar berjalan dengan fair dan konsisten mengawal perubahan.
Karpet merah yang disediakan oleh SP ketika mengundang dan mengakui hasil pilpres, tidak juga bisa dipahami bahwa SP menyerah, justru ini merupakan sinyal bahwa Jokowi sudah mulai ditinggalkan.
Setidaknya suasana istana dan Jokowi saat ini menghadapi masa-masa gelisah, yaitu demo-demo masyarakat sudah mengarah kepada menjadikan Jokowi sebagai musuh demokrasi, perampok reformasi, memunculkan politik dinasti yang itu jelas-jelas menjadi lawan dari agenda reformasi dan posisi kekuasaan sudah mulai bergeser kepada Prabowo.
Suasana politik Jokowi saat ini persis seperti ketika Soeharto dengan orde barunya akan tumbang. Lalu apakah Prabowo bisa menjadi jaminan Jokowi pasca lengsernya? tentu ini akan menjadi pertanyaan yang akan selalu menggelayuti pikiran Jokowi dan antek-anteknya. Jejak rekam Prabowo tentu akan menjadi catatan yang menakutkan bagi Jokowi dan antek-anteknya. Terhadap rakyat yang pernah berjuang dan menumpahkan darahnya saja, Prabowo tega meninggalkan, apalagi yang tahun 2019 adalah rivalnya. Selamat datang Indonesia baru, Indonesia emas, Indonesia yang menyerupai zaman Ken Arok. Perbahan harus dikawal dan harus terjadi.@
*) Kolumnis dan Akademisi, Tinggal di Surabaya