SIAGAINDONESIA.ID Sejak semua kegiatan berisiko tinggi yang mengancam biota laut ditetapkan Kementerian Kelautan dan Perikanan harus melalui izin Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL), tercatat sudah tiga pemangku kepentingan yang berusaha di laut atau bersentuhan dengan laut resah.
Sebelumnya tercatat keluhan dari pengusaha Kontraktor Migas yang tergabung dalam SKK Migas Jabanusa. Hal tersebut terungkap ketika berlangsung Semnas Pemanfaatan Ruang Laut yang diselenggarakan Persatuan Wartawan (PWI) Jatim kerjasama dengan DKP Jatim.
Saat berlangsung sosialisasi PKKPRL beberapa waktu lalu keluhan yang sama diutarakan oleh anggota dan pengurus asosiasi Galangan Kapal (Iperindo) Jawa Timur.
Keluhan kali ini datangnya dari pengusaha tambak udang intensif yang tergabung dalam Shrimp Club Indonesia (SCI).
“Untuk mendapatkan ijin persetujuan memasang pipa Inlet untuk menyedot air laut dan pipa outlet untuk saluran pembuangan biayanya mahal untuk membayar konsultan hingga 70 juta,” ungkap Ketua Umum SCI, Haris Muhtadi saat beraudiensi dengan Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Jatim.
Menurut Hari Muhtadi yang didampingi Ketua SCI Jember, Kuncoro Basuki, biaya resmi pembayaran ke negara (PNBP) untuk pipa berdiameter 8 dim, panjang 500 meter tarifnya tidak sampai Rp 1 juta.
“Terus terang kami sebagai pengusaha tambak resah dengan aturan baru ini apalagi khusus di Jawa Timur para pengusaha tambak udang intensif di pantai utara juga harus menyertakan rekomendai dari Lantamal 5 mengingat masuk di wilayah Pertahanan dan Keamanan.”
Lebih lanjut Hari mengatakan, anggotanya sebelum diberlakukan aturan baru PKKPRL, mengeluhkan berbelitnya proses perizinan yang mencapai 21 item yang melibatkan lima kementerian membuat pengusaha sulit untuk mencapai target produksi udang yang ditetapkan KKP.
“Target produksi udang dari KKP pada 2024 naik 2,5 kali lipat. Kami merasa itu akan sangat sulit karena kami di lapangan banyak menghadapi kendala, terutama terkait perizinan yang mencapai 21 item ditambah lagi PKKPRL,” kata Hari menyoroti peraturan pemerintah pusat dan daerah yang tidak sinkron sehingga mempersulit operasional budi daya tambak di lapangan.
Menanggapi hal itu Kepala DKP Jatim, Insa Anshori mengatakan, semua ini kuncinya ada di pusat yang seharusnya tidak melakukan intervensi secara detail hingga di bawah 12 mil yang merupakan kewenangan provinsi.
“Pusat itu seharusnya hanya memberi pedoman, pengawasan dan sertifikasi sedang untuk perijinan kembalikan ke daerah sebagaimana dimaklumatkan undang undang pemerintah daerah,” tegasnya.
Saat ini Pemprov Jatim dan sekitar 22 provinsi lainnya sedang berupaya agar kewenangan pengelolalaan 12 mil laut termasuk perijinan berusahanya dikembalikan ke provinsi sehingga mudah dan efisien,” jelasnya.@K
Discussion about this post