Oleh: Salamuddin Daeng
BERAPA dana yang diperlukan untuk membangun tiga juta rumah? Mari kita hitung berdasarkan harga rumah subsidi yang dipatok oleh BP Tapera. Untuk zona satu harga yang dipatok adalah 166 juta rupiah, zona dua 182 juta rupiah dan zona tiga sebesar 173 juta. Jika dipukul rata pada harga 180 juta rupiah per unit, maka dana yang diperlukan untuk menjalankan agenda perumahan Presiden Prabowo adalah senilai. 540 triliun rupiah.
Apakah dana ini besar? Tergantung sudut pandang. Jika kita melihat besarnya pengeluaran subsidi non perumahan yang disalurkan pemerintah, nilainya lebih besar dari itu. Sebagai contoh dana subsidi dan kompensasi BBM dan listrik nilainya berkisar antara 500-550 triliun rupiah. Jadi dengan ukuran subsidi BBM dan listrik yang tidak tepat sasaran selama ini maka nilai subsidi perumahan yang lebih tepat sasaran nantinya adalah jumlah yang ringan bagi pemerintah.
Artinya pemerintah sebenarnya sanggup menyediakan pendanaan perumahan subsidi sebanyak tiga juta rumah. Jika pemerintah membangun sendiri dengan menggunakan tanah milik pemerintah, dengan kelengkapan semua ijin yang dipermudah dari pemerintah, dengan fasilitas dan insentif fiskal dari pemerintah, maka pembangunan tiga juta rumah tidak serumit yang dibayangkan, dibandingkan kerumitan mendistribusikan BBM dan LPG subsidi yang banyak salah sasaran.
Memang akan muncul pertanyaan bagaimana mendistribusikan rumah yang telah dibangun? Bagaimana menjualnya, bagaimana cara rumah tersebut dapat dimanfaatkan oleh masyarakat? Sementara sekarang saja banyak rumah subsidi terbengkalai, separuh bangunan apartemen dan rumah susun tidak dihuni atau kosong. Semua terjadi karena masyarakat tidak sanggup membelinya atau tidak sanggup menyewanya. Kendala lainnya adalah lokasi perumahan dan apartemen jauh dari tempat mereka bekerja, aset rumah subsidi tidak dapat diperjual belikan dan lain sebagainya.
Namun point terpenting bagi Pemerintahan Prabowo adalah rumah milik negara tersedia dulu, sehingga memastikan semua rakyat Indoneia dapat memiliki tempat tinggal yang layak. Agar masyarakat mau membeli, mau menyewa dan cara lainnya agar masyarakat mendapat akses rumah seperti memberinya dengan gratis dalam jangka waktu tertentu dan kepada segmen tertentu seperti korban PHK, tunawisma, orang orang lanjut usia yang miskin, fakir miskin dan anak anak terlantar. Kelompok tersebut dapat dibagikan secara gratis dalam jangka waktu tertentu karena merupakan tugas konstitusi UUD 1945. Kehadiran negara di tengah tengah rakyat semacam itu sekaligus dapat menjadi tempat untuk melakukan pembinaan, pelatihan dan pendidikan bentuk lainnya, sehingga mereka dapat mandiri di masa mendatang.
Aset aset perumahan tersebut dapat berada di bawah pengelolaan kementerian Perumahan dan Kawasan Pemukiman (PKP). Dalam hal pengelolaan pihak PKP dapat bekerjasama dengan kementerian dan lembaga lain untuk menyediakan rumah atau apartemen untuk karyawan yang berpendapat paling rendah.
Untuk masyarakat umum kementerian PKP dapat mengelola rumah rumah milik negara tersebut dengan pihak swasta atau pengelola dengan harga sewa yang ditetapkan oleh pemerintah. Harga sewa tersebut harus semurah murahnya, tidak boleh melebihi sewa rata rata rumah kontrakan di masing masing tempat dimana rumah atau apartemen tersebut berada. Kelompok penerima manfaat rumah yang disewakan tersebut adalah kelompok non fix income atau masyarakat yang tidak punya slip gaji, namun punya pekerjaan dan ada pendapatan.
Apakah rumah milik negara yang dibangun negara tersebut dapat diperjual belikan kepada swasta? . Hal itu memungkinkan jika harga jualnya layak atau bagus, diputuskan oleh menteri secara langsung dan atas persetujuan Presiden. Hasil penjualan rumah secara gelondongan atau apartemen tersebut dapat digunakan sebagai dana abadi untuk membangun rumah di seluruh Indonesia berdasarkan kebutuhan dan permintaan masyarakat. Kalau membaca UU pendirian Danantara, saya rasa Danantara dapat melakukan ini bersama kementerian PKP.
Patut dicatat bahwa keberadaan rumah subsidi atau apartemen subsidi tidak akan menggangu bisnis perumahan atau apartemen komersial. Lagi pula tidak mungkin bisnis perumahan dengan masyarakat miskin. Nanti kalau orang miskin sudah diberdayakan, dilatih, dan dididik maka secara perlahan mereka akan punya kapasitas membeli rumah komersial yang lebih baik kepada pengembang swasta. Orang kalau punya uang tidak mungkin mau tinggal di rumah subsidi, kecuali orang itu pelit sekali dan punya niat curang!@
*) Direktur Asosiasi Ekonomi dan Politik Indonesia (AEPI)
Discussion about this post