Oleh: Salamuddin Daeng
Saat nongkrong di sebuah restoran di Jakarta, sempat bincang bincang dengan karyawan restoran tersebut. Karena sudah agak larut malam iseng bertanya, mbak tinggal dimana? Di Cikini katanya, wah hebat kata saya, tinggal di Cikini tentu orang punya uang, harga rumah dan tanah pasti mahal. Sementara kami cuma bisa tinggal di Depok, jauh dari Jakarta, punggung hampir bengkok melengkung karena kelamaan nyetir, tapi harga rumah atau tempat tinggal terjangkau. Lalu Mbak karyawan restoran itu bilang, kami ngekost pak, tiga orang sekamar, supaya bisa bayar sewa 2,5 juta per bulan. Emang kamarnya ukuran berapa? tanya saya. Ukuran 2,5×3 meter katanya. Tapi kalian satu kamar perempuan semua kan? Sambil kami semua ketawa.
Di Jakarta masih banyak orang orang yang tinggal di kontrakan sempit, ukurannya cuma 2×3 meter, yang tinggal 3-4 bahkan 5 orang. Bukan hanya kamar yang sempit, tapi juga lokasinya di gang sempit. kumuh, jauh dari layak huni. Kelompok inilah yang seharusnya ditolong dengan segera oleh pemerintah.
Belakangan ini muncul polemik tentang rencana pemberian subsidi rumah ukuran kecil yakni antara 28-30 meter kepada masyarakat terutama di kota kota besar. Ukuran rumah subsidi yang kecil ini dianggap tidak manusiawi, ukuran kandang manuk katanya alias ukuran kandang ayam.
Tapi kalau rumah 25 meteran atau 30 meteran itu adanya di samping Sarinah atau di daerah Cikini, saya rasa banyak yang mau membeli dengan harga 160 juta rupiah. Mengingat harga tanah di daerah tersebut per meternya mungkin sudah puluhan juta atau ratusan juta rupiah. Dengan uang 160 juta rupiah tidak mungkin bisa membeli tanah ukuran 10 meter di daerah tersebut. Bahkan untuk seluruh wilayah ibukota Jakarta dengan uang 160 juta rupiah atau harga rumah subsidi tidak mungkin bisa membeli tanah 10 meteran apalagi beserta rumah itu adalah mustahil.
Jadi bagaimana caranya pemerintah membangun rumah subsidi di Jakarta? Membangun rumah agar masyarakat tertarik membeli dan memiliki rumah di Jakarta. Rumah itu harus murah dan terjangkau oleh kantong para pekerja atau terjangkau dompet para penghuni rumah kontrakan. Saya rasa pemerintah tidak akan punya jalan keluar, walaupun sudah pusing tujuh keliling.
Ada usulan bangun apartemen atau rumah susun saja. Supaya bisa menampung banyak orang di atas lahan kecil dan sempit. Idealnya demikian. Bangun apartemen dan rumah susun. Apa benar demikian? Ternyata solusi itu tidak diminati! Apa buktinya? Orang Jakarta baik pekerja maupun pengangguran tidak tertarik tinggal di apartemen atau rumah susun. Buktinya saat ini 75% rumah susun dan apartemen di Jakarta tidak berpenghuni alias kosong. Orang orang takut tinggal di apartemen bukan hanya karena tidak punya uang, tapi takut ketinggian, takut kebakaran, takut gempa. Jadi tinggal di apartemen masih dianggap sebagai tindakan bunuh diri atau masuk dalam peti mati.
Jadi usulan rumah tapak dengan luas tanah yang lebih kecil di kota kota besar akan lebih rasional dan lebih disukai ketimbang usulan rumah susun atau apartemen yang telah terbukti gagal. Rumah tapak seukuran kamar kos asal harganya murah, kreditnya disubsidi oleh pemeirntah, pasti akan laris seperti kacang goreng. Coba saja bangun rumah ukuran 20 meter dengan dua lantai atau tiga lantai di daerah daerah yang tidak terlalu jauh dengan pusat kota, saya yakin akan lebih dipilih, dibeli, dibandingkan dengan jualan apartemen atau rumah susun. Sebab kalau kebakaran atau gempa, masih ada peluang selamat!
Atau kasih solusi lain yakni memprogramkan kembali transmigrasi. Jadi yang tidak mau tinggal di rumah kecil, atau lahan kecil, bisa melamar menjadi transmigran. Sudah pasti dapat rumah yang besar dengan ukuran tanah dan pekarangan lebih dari 200 an meter, dan bisa dapat lahan sawah minimal 1000 meter. Itu solusi yang lebih ampuh untuk merealisasikan proyek tiga juta rumah. Bikin lagi deh Kementerian Transmigrasi. Ok Gas!@
Discussion about this post