SIAGAINDONESIA.ID (Surabaya) – Guru Besar bidang Pragmatik Universitas Negeri Surabaya (Unesa) Prof. Dr. Suhartono, M.Pd menyoroti ungkapan Presiden Prabowo terkait korupsi. Kala itu, Presiden Prabowo menyampaikan pernyataan tidak ada kata maaf bagi para koruptor dan tindak pidana korupsi harus dihukum berat.
Ungkapan Presiden Prabowo itu menarik minat Suhartono dan menjadikan sebagai objek penelitian dan disampaikan dalam orasi ilmiah berjudul “Indonesia, Korupsi, Presiden Prabowo, dan Pragmatika” pada Pengukuhan Guru Besar Unesa, Minggu, 22 Desember 2024 di Graha Sawunggaling, Unesa Lidah Wetan.
Dalam orasi ilmiahnya, Suhartono menyoroti ungkapan Prabowo pada Peringatan Hari Guru Nasional (HGN) 25 November 2024 di Jakarta. Prabowo, saat itu dengan tegas menyatakan kecamannya terhadap para koruptor dan menegaskan bahwa tidak ada tempat bagi koruptor di Indonesia.
Pria kelahiran Tuban, 10 Februari 1971 itu menilai bahwa Prabowo menyampaikan sikap anti korupsinya secara tegas, tidak terbata-bata, tidak ada keseleo lidah dan sebagainya. Berdasarkan analisis yang dilakukan, ditinjau dari perspektif ilmu bahasa yaitu pragmatika, apa yang diucapkan oleh Prabowo adalah bahasa perintah.
“Bahasa perintah merupakan bagian dari tindak direktif, dimana tindak direktif adalah bagian dari tindak lokusi yang merupakan salah satu dari tiga tindak ujar (lokusi, ilokusi, dan perlokusi),” terangnya.
Ungkapan Prabowo itu, jelas Suhartono, termasuk dalam bahasa perintah. Hal itu ditunjukkan dengan kalimat yang diujarkan yaitu: “Saya memberi peringatan, korupsi harus berhenti di Republik Indonesia. Kabinet Merah Putih, pemerintah yang saya pimpin, tidak akan ada toleransi kepada korupsi dan pencurian dan penyelewengan. Berhenti, berhenti, berhenti!”
Kalimat Prabowo tersebut menunjukkan bahwa tidak ada pilihan yang diberikan kepada mitra bicara kecuali mengikuti penyataan tersebut. Selain itu, juga tidak ada kedekatan psikologi antara Prabowo dan mitra bicara yaitu koruptor, yang menunjukkan makna marah.
Suhartono juga menyebut, dalam banyak data, terungkap bahwa korupsi berkaitan dengan pendidikan. Data dari BPS. misalnya, menunjukkan informasi bahwa semakin tinggi jenjang pendidikan semakin tinggi persepsi korupsi.
“Itu berarti jika dalam setahun kebocoran data 100 triliun bisa dicegah, maka Indonesia bisa memiliki universitas gratis pada semua kabupaten dan kota di Indonesia” tambah pria asal kabupaten berjuluk “Bumi Wali” tersebut.
Suhartono menjelaskan, pragmatik atau pragmatika adalah ilmu penggunaan bahasa yang diperlukan oleh semua orang dalam berbagai kepentingan. Ia tertarik untuk mengkaji ujaran yang disampaikan Prabowo karena dinilai apa yang disampaikan Prabowo adalah topik aktual yang menjadi hajat hidup banyak orang dan menyangkut kepentingan nasional.
“Ujaran itu baru saja disampaikan Prabowo akhir-akhir ini, dan disampaikan secara berulang-ulang dalam berbagai konteks. Itu berarti pengetahuan tentang korupsi tersimpan baik pada hipocampus atau bagian otak yang menyimpan informasi dan tinggal menunggu konteks saja. Jika konteks sudah ada dan tepat, maka disampaikan oleh Prabowo. Untuk itu, saya memilih topik penelitian terkait ini,” paparnya.
Sebagai guru besar bidang pragmatik, Suhartono bertekad mengembangkan penelitian pragmatik terkait dengan ilmu lain. Ia akan mengambil langkah penelitian multidisipliner dan interdisipliner dengan menggabungkan pragmatik dengan bidang lain, semisaln bidang neurologi dengan pragmatik (neuropragmatik), menggabungkan pragmatik dengan sosiologi (sosiopragmatik), pragmatik dengan psikologi (psikopragmatik) dan lain-lainnya.
“Harapan saya, peminat pragmatik lebih banyak karena terkait dengan penggunaan bahasa secara nyata sehingga ke depan semakin banyak orang yang mampu menyingkap berbagai fenomena kebahasaan melalui pragmatik ini,” harapnya. (*)
Penulis: Azhar
Editor: Basyir