Oleh: Daniel Mohammad Rosyid
SETELAH sekian minggu skandal pagar laut di utara Banten tak kunjung jelas penyelesaiannya, kini muncul rencana pembangunan Tanggul Laut Raksaksa sepanjang 700 km di utara pulau Jawa. Ini disampaikan Hasyim Joyohadikusumo beberapa waktu lalu. Biaya TLR ini diperkirakan mencapai ratusan triliun rupiah.
TLR ini dimaksudkan untuk menyelamatkan ribuan hektar lahan sawah subur yang ada di sepanjang utara P. Jawa dari ancaman kenaikan muka laut dan penurunan tanah pesisir P. Jawa. Ini merupakan perluasan tanggul yg kini sudah ada namun gagal menyelamatkan Jakarta, juga ancaman yg sama di Semarang-Demak. Proposal rekayasanya diajukan oleh konsultan Belanda dan didukung oleh ITB.
Hemat saya, ini solusinya yang kurang realistis, dan tidak efektif. Sebabnya adalah sejak Orde Baru, orientasi pembangunan kita sangat ke darat, kurang memanfaatkan laut yang luasnya hampir 2 kali daratannya sejak UNCLOS mengakui kita sebagai negara kepulauan. Orientasi keliru ini dikoreksi Gus Dur dengan mendirikan Departemen Eksplorasi Laut yang dipimpin pertama kali oleh Sarwono Kusumaatmaja. Namun reorientasi ini tidak dilanjutkan Megawati, dan terbengkalai di era SBY. Beban pembangunan di P. Jawa makin tak terpikul oleh ekosistem P. Jawa. Konsentrasi pembangunan di Jabodetabek Punjur, Semarang dan Surabaya menyebabkan eksploitasi air tanah di utara P. Jawa yang mengakibatkan penurunan P. Jawa di bagian Utara, sementara kawasan hulunya mengalami deforestasi serius akibat konversi catchment area menjadi kawasan pemukiman dan industri. Ini berlangsung terus hingga hari ini.
Di Surabaya terjadi situasi yang sama di mana lahan-lahan konservasi di Barat dan Timur dikonversi menjadi kawasan komersial. Kawasan aglomerasi Gerbang Kertosusila berkembang pesat, kecuali ke Bangkalan. Baik infrastruktur di Bangkalan yang terbelakang, maupun birokrasinya yang kurang kompeten gagal menarik investasi ke Bangkalan khususnya, dan Madura pada umumnya. Jembatan Suramadu yang underspec gagal menjadi kanal investasi masuk ke Bangkalan, sekaligus memperburuk kecekungan ruang Jawa Timur.
Jadi, akar persoalan kita saat ini adalah abai terhadap realitas kepulauan bercirikan Nusantara ini lalu mengadopsi model pembangunan berbasis teritorial sehingga gagal membangun pemerintahan di laut yang efektif yang mendorong investasi di laut secara efisien. Laut menjadi kawasan ekonomi berbiaya tinggi, dan tempat berbagai kegiatan ilegal dilakukan dari illegal fishing, waste dumping, mining dan sea grabbing untuk reklamasi bagi kepentingan komersial dan kawasan-kawasan eksklusif yang membahayakan kedaulatan.
Segera setelah reformasi, saat UUD1945 diganti oleh UUD2002 yang liberal kapitalistik, kesenjangan pendapatan kita memburuk dengan rasio gini tidak berubah di sekitar 0.39-0.41. Ersatz capitalism era Soeharto berkembang menjadi full-fledged capitalism era Jokowi yang makin rakus, termasuk rakus lahan darat dan laut. Obsesi pertumbuhan tinggi tanpa pemerintahan di laut yang efektif telah gagal menyebarkan pembangunan secara merata ke seluruh Indonesia. Kesenjangan spasial antara P. Jawa dan KTI melebar. Beban P. Jawa menumpuk makin tak terpikul. Hemat saya, pembangunan TLR di utara P. Jawa tidak akan mengurangi beban yang dipikul Jawa, tapi malah berpotensi semakin memberatkannya.
Strategi yang lebih efektif untuk mengurangi beban P. Jawa, sekaligus memeratakan pembangunan ke seluruh Indonesia adalah 1) membangun pemerintahan maritim yang efektif sehingga investasi di laut menjadi makin menarik, 2) merelokasi pembangunan ke Kalimantan, Sulawesi, Maluku, NTT dan Papua, terutama dengan membangun kota 2 pelabuhan baru sebagai simpul logistik maupun energi baru dan terbarukan, 3) mendidik warga muda Indonesia agar kompeten, sehat dan produktif untuk berpartisipasi membangun di kawasan-kawasan baru tersebut, terutama di sektor agro-maritim, bukan sektor pertambangan yg ekstraktif dan polutif. Jadi, pembangunan SDM dan institusi yg tepat lebih penting daripada pembangunan fisik proyek-proyek mercu suar dengan resiko mangkrak too big to fail yang besar serta memperparah kesenjangan spasial dengan Kawasan Timur Indonesia.
Solusi struktur keras yang invasif dan polutif seperti TLR tidak akan efektif menyelesaikan persoalan yan kita hadapi 20 tahun ke depan menyambut Indonesia Emas 2045 yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Perlu dicermati bahwa PSN SWL di Pamurbaya di Surabaya merupakan solusi sementara karena kegagalan Madura menjadi kawasan investasi baru yang efisien. Jika Madura bisa diintegrasikan ke dalam ekonomi Jawa Timur, Madura tidak saja akan menjadi kawasan pertumbuhan baru Jawa Timur tapi juga menolong Kawasan Timur Indonesia yg selama ini secara logistik sangat bergantung pada Surabaya.
Jika pagar laut sepanjang 30 km saja masih menyisakan banyak masalah, apa lagi Tembok Laut Raksana 700 km yg akan mengubah ruang Nusantara secara permanen secara drastis.@
*) Penulis akademisi dari @Dept. Teknik Kelautan ITS