Oleh: Radhar Tribaskoro
DI masa sekolah, kita mengenal dua kata yang terdengar seperti saudara kembar: netral dan non-blok. Keduanya sama-sama tak ikut perang, tak ikut kubu, tak ikut rebutan dunia. Tapi seperti semua saudara kembar, keduanya punya watak yang berbeda.
Negara netral adalah negara yang tidak berpihak secara militer dalam konflik internasional, dan itu dijaga oleh aturan hukum internasional. Ia tidak boleh menjadi jalur pengiriman senjata, tidak boleh memberi dukungan militer, bahkan tidak boleh memberi fasilitas logistik. Netralitas adalah pagar tinggi—dan siapa pun yang masuk harus menanggalkan semua bendera.
Contohnya adalah Swiss. Saat Rusia menyerbu Ukraina, Swiss memang tidak mengirim senjata, tapi mengadopsi sanksi ekonomi dari Uni Eropa. Banyak yang mempertanyakan, apakah itu masih netral? Jawabannya bergantung: apakah netral berarti tidak mengirim amunisi, atau juga tak boleh menunjukkan empati?
Lain halnya dengan Gerakan Non-Blok. Lahir di Bandung, tumbuh di Beograd. Ia bukan sekadar tak mau ikut blok Barat dan Timur—tapi ingin punya suara sendiri. Nehru, Tito, Nasser, dan Soekarno memproklamasikan bahwa dunia tidak hanya terdiri dari Washington dan Moskwa. Ada poros ketiga—yang tak ingin dipaksa tunduk pada perang yang bukan miliknya.
Non-blok adalah sikap politik. Netralitas adalah status hukum.
Non-blok bisa marah, bisa mengecam, bisa berdiri di podium dan berkata: “Ini tidak adil.” Netralitas hanya bisa diam, sambil berharap angin tidak terlalu kencang ke arah barat atau timur.
Mari kita uji perbedaan itu hari ini.
Ketika Israel menggempur Gaza, membunuh lebih dari 30.000 warga sipil dalam enam bulan, dunia terbelah. Barat menyebutnya hak membela diri, Timur menyebutnya genosida. Indonesia mengecam, tapi tak pernah mengambil peran aktif. Kita mengutuk, tapi tak memediasi. Kita berteriak, tapi tak menyentuh konflik.
Apakah itu sikap netral? Ataukah non-blok yang kehilangan roh?
Ketika Rusia menyerbu Ukraina, Indonesia mengambil posisi: tidak ikut sanksi, tidak ikut kirim senjata, tidak ikut aliansi. Tapi kita juga tidak mengecam dengan tegas. Tidak menolak invasi dengan lantang. Tidak menawarkan diri jadi penengah. Kita diam, bukan karena netral, tapi karena khawatir kehilangan pasar.
Netralitas seharusnya lahir dari prinsip. Tapi di Indonesia, netralitas sering lahir dari ketakutan.
Lalu datang babak berikutnya: kemungkinan perang antara Amerika Serikat dan Tiongkok—entah di Taiwan, Laut China Selatan, atau dunia maya. Ini bukan perang senjata saja. Ini perang klaim, pengaruh, dan sistem nilai.
Jika itu pecah, apa posisi kita?
Apakah kita akan kembali netral—diam, menyaksikan, dan berharap tidak kena getah?
Atau kita akan menghidupkan kembali semangat Non-Blok—berdiri, bersuara, dan berkata: “Kami tak akan ikut perang kalian, tapi kami tahu siapa yang mengancam perdamaian.”
Pilihan itu tidak mudah. Karena Tiongkok adalah mitra dagang terbesar. Tapi Amerika adalah mitra strategis. Tapi inilah arti dari kedaulatan sejati: berani berpihak pada nilai, bukan hanya pada pasar.
Barangkali, dunia multipolar hari ini justru memberi peluang bagi Indonesia untuk bersikap lebih cerdas. Tak harus ikut Washington. Tak harus tunduk ke Beijing. Tapi berdiri dengan wibawa, seperti dulu Bung Karno mengumpulkan bangsa-bangsa yang baru merdeka, dan secara implisit berkata:
“Biarkan dunia tahu bahwa kita bukan netral karena takut, tapi non-blok karena bermartabat.”
Kini, kata-kata itu tinggal gema dalam ruang diplomasi yang dipenuhi para penyambut investor. Kita hadir di forum-forum global, tapi pulang tanpa posisi. Kita berbicara di panggung PBB, tapi tak satu pun negara melihat kita sebagai juru damai. Kita bahkan datang ke Moskow, tapi tak mengatakan apa-apa tentang invasi.
Non-blok berarti aktif. Netral berarti pasif. Tapi pasif bukan berarti aman. Dalam dunia yang bergerak cepat, diam bukan strategi. Ia hanyalah penundaan dari kekalahan.
Dan jika kita tak segera memilih arah—kita akan tergelincir ke dalam kategori ketiga: bukan netral, bukan non-blok, tapi tak punya pilihan. Dan dalam sejarah, bangsa-bangsa seperti itu hanya punya satu takdir: dilupakan.@
Discussion about this post