SIAGAINDONEASIA.ID Profesor Widi A Pratikto mengingatkan Menteri Kelautan dan Perikanan soal ekspor pasir laut. Menurut Pakar Kelautan dan Kemaritiman ITS dan mantan Dirjen Kelautan, Pesisir dan Pulau Pulau Kecil (KP3K) serta mantan Sekjen Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) di Era Rokhmin Dahuri tahun 2007 tersebut, Sakti Wahyu Tranggono agar berhati hati soal ekpor pasir laut sebagaimana tertuang dalam Peraturan Pemerintah No 26 Tahun 2023.
Pratikto memperhatikan bahwa PP 26 tahun 2023 diperlukan aturan di bawahnya untuk operasionalisasi serta dibentuknya Tim Pengendali dan Pengawas Pengusahaan Pasir Laut (TP4L) seperti yang pernah dibentuk pada tahun 2002-2003.
Selain itu karena menjaga sustainability dan ecological preservation maka perlu ahli dari engineering dan science yang memiliki pengalaman lapangan.
“Ekspor pasir laut seyogyanya memperoleh pertimbangan besar dan seksama,” ingatnya.
Ditemui saat rehat seminar “Kewenangan 0-12 Mil Laut” di salah satu hotel di Surabaya, Jumat, 16 Juni, Pratikto mengatakan pasir laut pernah akan dibuka pada tahun 2007 namun tidak jadi karena satu dan lain hal.
Lebih lanjut dijelaskan, kegiatan ini seyogyanya selalu memikirkan dampak untuk nelayan yang potensial menjadi sahabat KKP dalam segala giat.
Pratikto mengaku sudah dua kali dirinya berkomunikasi soal pasir laut dengan Menteri KK, Sakti Wahyu Tranggono. Dalam persoalan ekspor pasir laut tersebut, dirinya menyarankan melibatkan tim ahli atau pakar Sedimen (Aluvial, Pasir, Gravel, dll.) serta kajian lokasi perlu terikat erat termasuk dari unsur PSDKP.
“Koordinasi antar dirjen perlu dilakukan hal ini untuk mengurangi ekses yang tidak positip”, jelasnya.
Dirinya juga menyarankan dengan tidak adanya Badan Riset Kelautan dan Perikanan (BRKP) maka beberapa Universitas/Institut yang paham engineering ilmu tentang serta pihak kemanan laut dikoordinasikan untuk memberi masukan, pertimbangan dan justifikasi aspek teknis tersebut.
“Sosialisasi keluar sebaiknya dilakukan manakala didalam sudah kokoh dan kuat,” sarannya.
Perlu diketahui, izin ekspor pasir laut dijelaskan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut. PP tersebut resmi diundangkan pada 15 Mei 2023 lalu. PP kontroversial yang mengundang polemik itu mendapat reaksi keras juga dari masyarakat pesisir.
Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) menilai aturan baru terkait pengelolaan hasil sedimentasi di laut, yakni Peraturan Pemerintah (PP) No. 26/2023 merupakan upaya komersialisasi laut.
KNTI juga menyayangkan PP ini sama sekali tidak menyinggung nelayan dan pembudidaya yang berpotensi terkena dampak aktivitas pemanfaatan pasir laut, baik dalam konsideran maupun pasal-pasal di dalamnya.
Ketua DPP KNTI Bidang Advokasi dan Perlindungan Nelayan, Misbachul Munir, mengatakan penambangan pasir laut secara ekologi dapat meningkatkan abrasi pesisir pantai dan erosi pantai, menurunkan kualitas perairan laut dan pesisir pantai, berpotensi meningkatkan pencemaran pantai, dan menurunkan kualitas air laut dengan meningkatnya kekeruhan air laut.
Penambangan pasir laut juga dapat merusak wilayah pemijahan ikan dan nursery ground, merusak ekosistem mangrove, dan mengganggu lahan pertambakan, mengubah pola arus laut yang sudah dipahami secara turun menurun oleh masyarakat pesisir dan nelayan, hingga kerentanan terhadap bencana di perkampungan nelayan.
“Kerusakan daya dukung ekologi akibat pemanfaatan/penambangan pasir laut akan mengakibatkan terganggunya ekonomi nelayan dan masyarakat pesisir,” ungkapnya.
“Di antara kerusakan itu adalah menurunnya pendapatan nelayan, biaya operasional melaut yang makin tinggi, dan larangan akses dan melintas di areal penambangan pasir laut, hingga hilangnya lokasi penangkapan ikan bagi nelayan tertentu, seperti nelayan pertorosan atau tadah arus di Surabaya,” demikian Misbachul Munir yang juga pengurus Forum Masyarakat Kelautan dan Perikanan Jawa Timur itu.@K