Oleh: M. Isa Ansori
KABAR tentang kekerasan yang dialami W, seorang anak inklusi di salah satu sekolah di Surabaya, mengejutkan kita semua. Sebagai anak yang membutuhkan perhatian khusus, W seharusnya mendapatkan perlakuan yang penuh empati dan kasih sayang. Ironisnya, yang terjadi justru sebaliknya. Tidak hanya luka fisik atau mental yang dialaminya, tetapi juga goresan batin yang begitu dalam hingga membuatnya mempertimbangkan keputusan yang tidak seharusnya ada dalam benak seorang anak.
Padahal, sekolah tersebut telah mengklaim diri sebagai sekolah ramah anak. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar: Mengapa kekerasan masih bisa terjadi di lingkungan yang seharusnya menjadi tempat aman dan nyaman bagi anak-anak? Bagaimana peran konselor sebaya, guru, dan seluruh ekosistem sekolah dalam menjaga atmosfer ramah anak?
Sekolah Ramah Anak: Konsep yang Belum Terimplementasi Penuh
Sekolah ramah anak bukan sekadar label, tetapi komitmen yang harus diwujudkan melalui sistem, kebijakan, dan budaya sekolah. Prinsip dasarnya adalah memberikan perlindungan, menghargai keunikan anak, dan memastikan tidak ada satu pun anak yang mengalami diskriminasi atau kekerasan. Sayangnya, kasus yang menimpa W menunjukkan adanya celah dalam implementasi konsep ini.
Beberapa hal yang patut dievaluasi antara lain:
1. Minimnya Pemahaman Guru dan Staf
Guru sering kali menjadi garda terdepan dalam menciptakan suasana belajar yang kondusif. Namun, jika pemahaman mereka tentang kebutuhan anak inklusi masih kurang, maka potensi terjadinya ketidakadilan akan semakin besar.
2. Tidak Optimalnya Peran Konselor Sebaya
Konselor sebaya seharusnya menjadi jembatan bagi siswa yang merasa terisolasi atau mengalami tekanan. Namun, apakah peran ini sudah benar-benar dijalankan? Apakah siswa yang ditunjuk sebagai konselor sebaya telah mendapatkan pelatihan yang memadai?
3. Budaya Sekolah yang Belum Humanis
Kekerasan tidak hanya terjadi karena individu yang salah, tetapi juga karena sistem yang membiarkannya. Jika budaya sekolah masih membiarkan perilaku agresif tanpa sanksi atau upaya mediasi, maka kejadian serupa akan terus berulang.
Peran Orang Dewasa dan Konselor Sebaya
Peran orang dewasa, terutama guru dan kepala sekolah, adalah menciptakan lingkungan yang benar-benar ramah anak. Mereka harus menjadi panutan dalam bersikap dan bertindak. Konselor sebaya juga harus diberdayakan sebagai agen perubahan di antara teman-temannya. Namun, pelibatan mereka harus didukung oleh pelatihan yang komprehensif, pendampingan dari guru, serta evaluasi berkala.
Konselor sebaya tidak hanya bertugas menjadi pendengar yang baik, tetapi juga menjadi perpanjangan tangan untuk menyampaikan isu-isu yang dialami teman mereka kepada pihak sekolah. Dengan cara ini, potensi permasalahan bisa dideteksi dan ditangani sejak dini.
Membangun Kembali Budaya Sekolah Ramah Anak
Kasus W adalah panggilan bagi kita semua untuk menguatkan kembali atmosfer sekolah ramah anak di Surabaya. Langkah-langkah konkret yang perlu dilakukan meliputi:
1. Pelatihan Inklusif untuk Guru dan Staf
Guru harus dibekali pengetahuan tentang kebutuhan anak inklusi, teknik pengelolaan kelas yang ramah anak, serta kemampuan untuk mengidentifikasi dan menangani tanda-tanda kekerasan.
2. Penguatan Sistem Pelaporan
Anak-anak harus merasa aman untuk melaporkan segala bentuk kekerasan tanpa takut akan dampak negatif. Sistem pelaporan ini harus mudah diakses dan dilindungi kerahasiaannya.
3. Reformasi Budaya Sekolah
Semua pihak, mulai dari siswa, guru, hingga orang tua, harus dilibatkan dalam membangun budaya sekolah yang mengedepankan empati, kolaborasi, dan penghormatan terhadap perbedaan.
4. Evaluasi dan Pendampingan Konselor Sebaya
Program konselor sebaya harus dievaluasi secara rutin untuk memastikan perannya benar-benar efektif. Selain itu, pendampingan dari guru dan psikolog sangat diperlukan.
Menjadi Pengingat untuk Semua Pihak
W adalah cerminan dari banyak anak lain yang mungkin sedang mengalami hal serupa tetapi belum bersuara. Sebagai masyarakat, kita memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa setiap sekolah di Surabaya benar-benar menjadi tempat yang aman, nyaman, dan membangun.
Kekerasan terhadap anak, dalam bentuk apa pun, adalah pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Dalam konteks ini, mari kita jadikan Surabaya sebagai contoh nyata dari kota yang peduli pada masa depan anak-anaknya. Sebab, mereka adalah harapan yang akan menerangi masa depan kita.
Mari bersama, kita menguatkan kembali atmosfer sekolah ramah anak—bukan hanya sebagai slogan, tetapi sebagai kenyataan yang dirasakan oleh setiap anak.
Kepada semua orang tua dan wali murid, tentu kita semua menyadari bahwa banyak diantara kita yang waktunya sibuk untuk mencari nafkah demi anak anak dan keluarga, tapi sejatinya menjadi penting diantara keterbatasan kita sebagai orang tua kita memberi kepercayaan kepada para guru dan sekolah untuk mendidik dan menjadikan anak anak kita lebih baik. Hanya dengan kolaborasi dan membangun saling percaya, maka pendidikan anak anak kita dan masa depannya akan menjadi lebih baik lagi.
Kepada sekolah dan kawan kawan guru, apa yang terjadi pada W adalah pengingat untuk kita semua, bahwa antara guru dan murid tak boleh ada jarak, guru dan murid ibarat dua sisi mata uang yang saling membutuhkan, saling melengkapi dan saling menguatkan, orang tua, masyarakat daan lingkungan adalah pemanfaat hasil dari proses pendidikan yang sedang berjalan. Sehingga yang perlu kita renungkan dan yakinkan kepada diri kita semua, adalah tak ada murid yang bisa belajar dari guru yang tak dia cintai. Marikan jadikan proses belajar yang kita lakukan adalah proses saling menyayangi dan mengasihi, sehingga hati dan pikiran anak anak akan tersemai dengan ilmu dan kasih sayang yang bapak ibu guru berikan.@
*) Kolumnis, Akademisi, dan Ketua DPP Assosiasi Pegiat Pendidikan Ramah Anak Indonesia, Tinggal di Surabaya
Discussion about this post