SIAGAINDONESIA.ID Pedukuhan yang berada di Pegunungan Menoreh, berada di ketinggian 300 Mdpl, wilayah Kalurahan Hargotirto Kapanewon Kokap Kabupaten Kulon Progo ini. Berjarak 35 kilometer dari ibukota provinsi, di kota Jogyakarta.
Lumayan jauh perjalanan untuk menuju pedukuhan itu. Perjalanan satu jam lebih. Bukan jauhnya saja, tentunya perjalanan ke sana itu. Tapi juga jalan yang berkelak-kelok dan naik turun lembah-lembah Pegunungan Menoreh. Kendati demikian, tak susah menuju ke sana. Karena sepanjang jalan, tak ada jalan yang rusak: semua mulus dengan aspal hingga ke pedukuhan itu.
Untuk tahu Pedukuhan Segajih perlu, memang. Sebab di desa wisata itu banyak keunikannya. Bukan seperti desa-desa wisata kebanyakan dalam pengelolaan sebagai desa wisata.
Ini dirasakan Ester Novita, perempuan asal Manado Sulawesi Utara. Novita yang tinggal bersama teman-temannya di Pedukuhan Segajih, merasakan suasana ketenangan pedukuhan itu, selama lima hari tinggal, Rabu-Ahad (24-27 April 2024) lalu.
“Ya, desanya nyaman tenang. Enak untuk didiami, warganya ramah-ramah,” kata Novita saat itu.
Mendatangi Pedukuhan Segajih, tujuan Novita tak lain memang ingin healing dan me-refreshing diri. Sebab dalam satu tahun tinggal di Jakarta. Ia menghadapi kepenatan, melihat kesibukan Jakarta yang tak ada henti-hentinya.
“Pilihannya, ya gue mendatangi desa. Pas kebetulan ada teman di TikTok mau bikin acara di Segajih. Ya, gue mendaftar ikut. Sampailah gue di sini,“ beber Novita.
Rasa nyaman Novita selama berada di Pedukuhan Segajih. Memang benar terjadi dan tanpa reka-reka. Ia mengakui pula, jika Pedukuhan Segajih dalam pengelolaan desa wisata, bukan sekadar wisata jalan-jalan belaka. Tetapi banyak pengetahuan yang diperoleh selama lima hari itu.
Seperti ia mengatakan, bisa melihat langsung pembuatan gula semut dan Batik Sundhul Langit. Dan ini tak bisa Novita lupakan, wisatawan bisa terlibat langsung belajar membuat gula semut maupun batik.

Begitupula kata Marizha Poetry, perempuan asal Krian Sidoarjo Jawa Timur. Menurutnya, kenyamanan Pedukuhan Segajih untuk ditinggali memang benar adanya.
“Desanya nyaman untuk ditinggali, “ ucap Rizha, panggilannya, saat bercakap-cakap dengan teman-temannya.
Bukan persoalan dirinya hanya sebentar tinggal (lima hari) yang kemudian ia mengatakan merasa nyaman di Pedukuhan Segajih. Ia menandaskan, jika penilaiannya itu sama sekali tidak bohong. Karena itu kemudian, ia berpendapat bahwa Pedukuhan Segajih telah menunjukkan sebagai desa yang berdaya dan mandiri.
“Ini yang bikin saya nyaman,“ kata Rizha.
“Sebutan desa wisata, bisa jadi estalase ya? Barangkali yang benar-benar perlu didayakan sumberdaya alam dan sumberdaya manusianya di sini,“ beber Rizha yang berprofesi sebagai Human Right Development (HRD) di sebuah perusahaan di Jakarta ini.
Rizha melihat Pedukuhan Segajih masih nampak banyak sumberdaya alam yang perlu dikelola warga. Serta sumberdaya manusia yang memang masih perlu ditingkatkan.
Sumberdaya alam, menurut Rizha, di Pedukuhan Segajih ini masih banyak tanaman yang tumbuh. Kelapa, misalnya. Sudah didaya-gunakan dijadikan gula semut. Warga memproduksi gula semut, merupakan bentuk pemberdayaan sumberdaya alam.
Selain kelapa, ada pula tanaman yang produktif. Seperti kakao, kopi, kapulaga, cengkih dan tanaman lain: masih nampak berserikat merimbuni Pedukuhan Segajih. Tanaman-tanaman ini, menurut Rizha, masih belum tersentuh warga secara optimal.
“Pemberdayaan sumberdaya alam ini ya, yang mungkin… yang bisa membawa desa wisata Segajih ini bertahan. Tinggal menentukan pasarnya saja dalam pengelolaan sumberdaya alam ini. Seperti bikin koperasi, misalnya paling tidak, itu solusinya “ urai Rizha yang kemudian menjelaskan, banyak desa-desa wisata yang sekadar menjual panorama desa, tak berlangsung lama tutup.
Ihwal peningkatan sumberdaya manusia, Rizha tak menampik, jika budaya global akan sangat memengaruhi kehidupan warga Segajih. Apalagi, bila Segajih kerap dikunjungi wisatawan.
Konsep Live In, yakni wisatawan membaur dengan warga yang ditawarkan Segajih, tak menutup kemungkinan akan berpeluang memengaruhi kehidupan warga.
Dalam hal ini, maksud Rizha, peningkatan sumberdaya daya manusia, bukan berarti mengubah tradisi warga di Segajih.
Justru yang bisa dijual kepada khalayak, agar tertarik dan datang ke desa wisata ini: locally wisdom: kearifan lokal, folklore, dan tradisi-tradisi yang ada di bumi Segajih ini.
“Salah satunya di sini, saya melihat kehidupan humanis masyarakat Segajih. Ini locally wisdom yang dimiliki warga di sini, “ ungkap Rizha.
Menginap di Rumah Simbah
Tinggal di Pedukuhan Segajih, memang benar-benar nyaman. Rasa ini bisa ditandai dengan keharmonisan warga Pedukuhan Segajih, yang tinggal di perbukitan dan lembah-lembah Menoreh itu. Belum lagi alam di pedukuhan itu. Dari segala penjuru memandang, mata akan disedapkan lingkungan yang asri dan bersih.

Menikmati kuliner khas di sana, juga menjadi ketertarikan sendiri: nasi tiplek, bothok sarang tawon, juga jamblong. Semua tersaji setiap hari.
Pedukuhan yang dihuni 100 kepala keluarga dengan 70 rumah tinggal itu. Memang mulai tahun 2017, sudah bersolek dengan desa wisatanya. Konsep “Menginap di Rumah Simbah”, yang ditawarkan, merupakan cara menarik untuk memantik perhatian khalayak.
“Ini jarang terjadi…,“ kata Steven, pria asal Manasa Sulawesi Utara, yang juga peserta penginap lima hari di desa wisata Segajih dengan nada heran.
Tempat tinggal, masih kata Steven, yang mestinya privasi, dijaga keterlibatannya dari pihak luar. Justru di sini diberi keleluasaan untuk ditinggali. Terutama para pengunjung dibolehkan memasak sendiri. “Belum ada desa wisata seperti ini,“ ungkap Steven masih dalam keheranan.
Steven bercerita, jika dirinya di Manado juga tinggal di desa. Tapi yang ia rasakan tak seperti di Segajih. Dan ia merasa iri dengan warga Segajih dengan sikap-sikapnya terhadap orang yang baru dikenal.
“Mereka kalau saya rasakan, seperti sudah kenal lama,” kata Steven.
Di balik pendapat penginap lima hari itu, sebenarnya ada cerita yang tersimpan. Hingga kini masih dalam ingatan warga. Pandemik Covid-19. Tak dinyana pandemik yang mendera dunia, tahun 2020 itu berdampak pula pada kelesuan pengelolaan desa wisata Segajih.
Dari sini warga harus putar otak dan mengadu pembatinan mereka agar bagaimana desa wisata yang sudah dirintisnya itu tak mati.
Ancaman pandemik yang mereka tak tahu pula kapan berakhirnya. Tentu sangat disayangkan, bila hal itu terus terjadi. Padahal, tempat dan fasilitas desa wisata itu sudah ditata sedemikian rupa. Mulai lingkungan yang semula kurang sedap di mata, menjadi lingkungan permai. Dan pula sudah dibuktikan menjadi daya tarik wisatawan untuk mendatangi pedukuhan yang berada di titik koordinat: 7°47’54” 110°78” ini.
Kala itu pun sudah bermunculan wisatawan menginap di rumah-rumah warga, baik lokalan maupun luar negeri.
Ali Subkhan salah seorang warga yang juga pengide desa wisata, merasa harus bertanggungjawab. Ia tak henti-hentinya memutar otak agar ide desa wisata di tengah pandemik itu tetap jalan. Meski kala itu produksi gula semut oleh warga, tak terpengaruh pada sisi penjualan.
“Bayangkan, produksi gula semut justru terus meningkat. Mulai kita merintis desa wisata ini di tahun 2017, “ kata Subkhan.
Bisa jadi meningkatnya minat gula semut di pasaran Amerika dan Eropa itu. Disebabkan tanaman kelapa yang tumbuh memohon di pekarangan rumah warga itu, dirawat dengan benar oleh mereka. Pohon kelapa yang tumbuh 20 tahun itu, warga tak menggunakan cara-cara kimia. Pohon-pohon kelapa yang rata-rata memiliki tinggi 10-15 meter itu dalam perawatan benar-benar organik. Termasuk tak dibolehkan teraliri air sabun.
Gula semut yang kemudian dikenalkan palm sugar atau boleh disebut brown sugar. Sejak tahun 2017, memang telah menjadi lirikan pasar-pasar Amerika dan Eropa. Dalam paroh waktu itu, permintaan pernah mencapai 48.000 U$. Dibanding sebelum-sebelumnya, pada tahun 2014 misalnya. Hanya 34,7 U$.
Meski begitu, Subkhan tak harus menyambut gembira. Pandemik Covid-19, tetap ia sebut sebuah ancaman serius dalam usaha desa wisata ini. Beruntung, Subkhan selalu merawat kepandaian yang ia miliki, sebagai perupa.
Subkhan berpikir, apa salahnya bila keahliannya dalam melukis yang ditekuni, selama ini. Ia tuangkan dalam eksperimen membatik. Dan kemudian diajarkan kepada anak-anak muda Pedukuhan Segajih.
Sebab menurut Subkhan, cara itu paling tepat. Kemudian bisa dijual lewat online sebagai penghasil mereka. Apalagi bagi Subkhan, seni itu bebas tak terikat oleh definisi. Alhasil, tercetuslah batik Sundhul Langit, beraliran kontemporer, yang kini juga merupakan ikon desa wisata Segajih.
“Ya bersyukur, alhmdulillah. Saya menyebutnya batik kontemporer, “ ucap Subkhan.
Akhir dari buah pikir besar itulah, desa wisata Segajih membunga kembali. Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif pun kepincut memberi tanda prestasi, pada 23 Mei 2023.
Melalui menteri Sandiaga Uno pun menyambangi pedukuhan itu. Sambil melekatkan tanda prestasi menteri menginap semalam di rumah simbah.
“Pak Menteri menginap semalam di sini. Dan sempat membeli batik yang kita bikin,“ kata Subkhan, yang dilanjutkan menjelaskan, jika anugerah yang diterimanya itu, satu dari 75 desa terbaik dengan kategori berkelas dunia dalam Anugerah Desa Wisata Indonesia (ADWI) 2023.@Pliplo S.