Oleh: Salamuddin Daeng
1. Keputusan Pemerintahan Donald Trump yakni memberlakukan Tarif tinggi terhadap impor barang ke AS ternyata masih berdasarkan kaidah di World Trade Organizatuon (WTO). Keputusan Donald Trump menggunakan reciprocal atau tindakan timbal balik atau tindakan balasan terhadap negara yang memberlakukan tarif dan non tarif barier dengan AS.
2. Terkait dengan Indonesia, Dasar kebijakan reciprocal ada banyak. Diantaranya gugatan kepada Indonesia yang dilakukan di WTO, soal larangan ekspor mineral, dll. Jadi dilakukanlah tindakan balasan ini.
3. Ada banyak non tarif barier lain yang bisa digunakan dan negara maju sering gunakan. Namun AS Memilih membalas dengan tarif barier. Ini memang langkah yang paling cepat dan lebih mudah bagi negara AS untuk memulihkan ekonomi, industri nasionalnya dan keuangannya.
4. *Namun ada yang mencolok dari kebijakan tarif AS, yakni pengenaan kepada negara ASEAN cukup tinggi. Relatif tinggi dibandingkan negara lainnya. Termasuk Indonesia dalam kelompok tarif tertinggi. Mengapa?*
5. Apakah AS curiga bahwa ekspor negara negara ASEAN terutama Indonesia tidak murni dihasilkan oleh Industrialisasi ASEAN akan tetapi merupakan bagian dari rantai pasok negara lain yakni China yang merupakan seteru AS.
6. Salah satu yang menjadi perhatian adalah ASEAN China Free Trade Agreement (CFTA) yang masuk dalam bagian ASEAN Free Trade Agreement (AFTA) yang dinaungi payung hukum ASEAN Charter atau kosntitusi penyatuan ASEAN.
7. Apakah AS mencurigai bahwa semua ekspor ASEAN itu ke AS diluar yang dilakukan oleh perusahaan AS sendiri di sumber daya alam adalah tidak benar merupakan produk negara ASEAN, tapi menggunakan kepabeanan ASEAN?
8. Ada banyak industry re ekspor di ASEAN termasuk di Indonesia. Industri semacam itu hanya melakukan paking di Indonesia. Industri semacam itu tidak terintegrasi dengan baik kepada ekonomi Indonesia.
9. Kalau bicara Indonesia sebetulnya tumpuan kita adalah ekspor sumber daya alam. Indonesia rantai pasok dari sekutu AS yang paling utama menyerap SDA Indonesia seperti Jepang, Korea, Singapura dll. Belakangan perusahaan China masuk ke sektor SDA seperti minyak, nickel, dll.
10. Freeport perusahaan asal AS misalnya mendapat kuota ekspor konsentrasi 1-1,3 juta ton setahun. Meskipun secara UU dan peraturan Indonesia hal itu dilarang. Nilai ekspor konsentrat tersebut mencapai 5-6 miliar dollar. Cukup besar dalam ukuran nilai ekspor Indonesia ke USA.
11. Momentum ini mungkin kesempatan bagi Indonesia untuk memperbaiki struktur industri nasional, memperkuat hilirisasi dan memperkuat pasar nasional. Industri re-ekspor yang hanya packing barang diduga hanya memanfaatkan kepabeanan Indonesia. Kegiatan semacam ini sebaiknya segera dikurangi karena tidak menguntungkan Indonesia.
12. Barang barang yang merupakan ekspor terbesar Indonesia Ke AS adalah kelompok barang impor Indonesia yang tertinggi terutama mesin dan peralatan listrik. Kemungkinan besar disinilah letak masalah Indonesia, mungkin AS mencurigai itu made in Indonesia “abal-abal”?.
13. AS Masih menguasai perusahaan minyak, tambang, perusahaan sawit, dll di Indonesia. Selain tambang mineral dan ekspor konsentrat, ekspor sawit perusahaan milik AS di Indonesia sangat besar. Singapura yang merupakan sekutu utama AS masih merupakan investor terbesar di Indonesia. hubungan Indonesia AS akan naik baik saja. Apalagi ke depan garis besar kebijakan Indonesia dan AS berada dalam tema yang sama yakni Berdikari atau berdiri di atas kaki sendiri.
14. Jadi kesimpulannya Indonesia tidak perlu melakukan tindakan balasan terhadap AS, karena pasti tidak ada gunanya. Karena kebijakan Donald Trump itu dapat menguntungkan Indonesia. Saat ini adalah momentum merapikan data ekspor Indonesia, memperbaiki struktur industri dan kualitas industri nasional.
15. Dampak kebijakan Donald Trump pada sisi lain akan memperkuat rantai pasok industri nasional terutama memajukan agenda hilirisasi dalam rangka membangun industri yang berorientasi ekspor yang terintegrasi dari hulu sampai ke hilir dan memperkuat pasar dalam negeri yang selama ini dikuasai impor.@
*) Direktur Asosiasi Ekonomi dan Politik Indonesia (AEPI)