Mulai Fokus Pembuktian Ijazah Palsu Jokowi

Sebagai Manusia Jokowi  Stress?

Mei 31, 2025
Transformasi Laut Cina Selatan: Pusat Kerjasama Ekonomi

Di Antara Tubuh dan Pikiran

Mei 31, 2025
Vasektomi Sebagai Syarat Bansos, Haram

Mengapa Mayoritas Masyarakat Tidak Percaya Ijazah Jokowi Asli? (Analisis Fiqih Islam)

Mei 31, 2025
Mulai Fokus Pembuktian Ijazah Palsu Jokowi
Opini

Sebagai Manusia Jokowi  Stress?

by redaksi
Mei 31, 2025
0
1.4k

Oleh: M Rizal Fadillah SAAT menjadi Presiden semua problema dapat diatasi dengan mudah. Aparat atau perangkat apapun dapat dioperasikan sesuai...

Read moreDetails
Transformasi Laut Cina Selatan: Pusat Kerjasama Ekonomi

Di Antara Tubuh dan Pikiran

Mei 31, 2025
1.4k
Vasektomi Sebagai Syarat Bansos, Haram

Mengapa Mayoritas Masyarakat Tidak Percaya Ijazah Jokowi Asli? (Analisis Fiqih Islam)

Mei 31, 2025
1.4k

REKAYOREK

Ini Asal Mula Nama Grup Band Rock Elpamas

10 Feb 2025

Informasi Konstruktif Melindungi dan Melestarikan Seni Budaya…

13 Feb 2025

Bahasa Universal Itu Bernama Matematika

13 Feb 2025
Sabtu, Mei 31, 2025
SIAGA INDONESIA NEWS
  • Home
  • Berita
  • Ekonomi
  • Hukum
  • Politik
  • Lainya
    • Kriminal
    • Dunia
    • Nusantara
    • Alutsista
    • Siaga Bencana
    • Opini
    • Podcast
No Result
View All Result
SIAGA INDONESIA NEWS
No Result
View All Result
Home Opini

Mengapa Kita Butuh Disruptive Bureaucrat

by redaksi
Mei 29, 2025
Reading Time: 4 mins read
A A
Transformasi Laut Cina Selatan: Pusat Kerjasama Ekonomi

Radhar Tribaskoro. Foto: ist

491
SHARES
1.4k
VIEWS
Share on FacebookShare on Twitter

Oleh: Radhar Tribaskoro

DALAM dunia birokrasi yang kaku, lamban, dan penuh tata cara formal yang sering kali mematikan semangat perubahan, sosok disruptive bureaucrat muncul seperti badai yang membelah kesunyian. Mereka tidak datang untuk sekadar menjalankan aturan, tetapi untuk mengubahnya dari dalam. Mereka tidak menunggu sistem berubah, tetapi justru memaksa sistem menyesuaikan diri dengan kebutuhan rakyat. Di Indonesia, figur-figur seperti Dedi Mulyadi dan Tri Rismaharini telah menjadi ikon dari jenis birokrat seperti ini. Mereka menunjukkan bahwa di tengah stagnasi dan kerumitan birokrasi, perubahan radikal dari dalam bukan hanya mungkin, tetapi juga sangat dibutuhkan.

Apa Itu Disruptive Bureaucrat?

Istilah disruptive bureaucrat menggabungkan dua kutub yang tampaknya bertolak belakang: birokrasi yang identik dengan stabilitas, proseduralisme, dan hierarki; dengan disruption yang konotasinya adalah gangguan, pelanggaran norma, dan inovasi radikal. Namun, justru pada ketegangan itulah lahir kekuatan pembaruan. Disruptive bureaucrat adalah birokrat atau pejabat publik yang melakukan pembaruan radikal terhadap sistem kerja birokrasi—baik melalui pendekatan personal, reformasi struktural, maupun pemanfaatan teknologi dan komunikasi—untuk mengejar hasil nyata bagi kepentingan rakyat.

Mereka tidak puas dengan rutinitas. Mereka menolak menjadi pengikut buta aturan-aturan yang tidak lagi relevan. Mereka memotong jalur yang tidak perlu, mengintervensi langsung ke lapangan, dan sering kali berbenturan dengan norma institusional. Dalam banyak kasus, mereka juga menjadi musuh di dalam birokrasi sendiri, karena cara kerja mereka mengguncang kenyamanan para penjaga status quo.

Dedi Mulyadi: Birokrat yang Menyatu dengan Warga

Salah satu sosok yang mencerminkan semangat disruptive bureaucrat adalah Kang Dedi Mulyadi, mantan Bupati Purwakarta dan kini Gubernur Jawa Barat. Gaya kepemimpinan Dedi sering kali dianggap tidak lazim. Ia menyapa rakyatnya dengan mengenakan pakaian tradisional Sunda, memimpin ritual budaya yang dianggap remeh oleh birokrasi modern, dan lebih sering ditemui berjalan kaki menyusuri gang-gang desa ketimbang duduk di belakang meja.

Namun esensi dari pendekatan Dedi bukanlah pada simbolisme, melainkan cara ia menyatukan diri dengan warga. Ia pernah berkata, “Saya tidak ingin menjadi pemimpin yang berbicara di podium, saya ingin menjadi bagian dari warga yang merasakan penderitaan mereka.” Ucapan ini bukan basa-basi. Dalam banyak kesempatan, ia turun langsung membantu warga yang rumahnya roboh, mengantar anak-anak ke sekolah, bahkan memediasi persoalan rumah tangga warga tanpa birokrasi panjang.

Dedi Mulyadi menunjukkan bahwa birokrasi tidak harus berjarak. Ia mendobrak pemisahan antara struktur formal negara dan kehidupan nyata rakyat. Dalam sistem yang kerap melayani dokumen lebih daripada manusia, pendekatan seperti ini adalah bentuk disrupsi yang menantang.

Tri Rismaharini: Emosi, Aksi, dan Transformasi

Contoh lain datang dari Tri Rismaharini, Wali Kota Surabaya dua periode yang kemudian menjadi Menteri Sosial. Risma dikenal luas karena gaya komunikasinya yang blak-blakan, emosional, bahkan dianggap temperamental. Namun di balik ekspresinya yang penuh gejolak, ada semangat disruptive bureaucrat yang kuat: keinginan untuk mengubah birokrasi dari struktur yang pasif menjadi mesin pelayanan yang responsif dan efektif.

Risma pernah mengamuk saat mendapati ada anak-anak jalanan yang terlantar di ibukota. Ia tidak memanggil rapat dulu, tidak menyusun kajian teknokratik dulu, tapi langsung membawa anak-anak itu ke tempat perlindungan, menghubungi dinas-dinas terkait, dan membuat sistem layanan sosial terpadu yang lebih manusiawi. Ia berkata, “Saya tidak mau anak-anak itu jadi korban. Kalau negara tidak hadir, apa gunanya kita ini pejabat?”

Langkah-langkah Risma selama di Surabaya juga sarat dengan inovasi: dari membangun taman kota yang inklusif, membenahi pendidikan, sampai menata sistem perizinan usaha. Ia tidak menunggu perubahan dari pusat. Ia mengubah dari daerah, dan keberhasilannya membuat banyak kota lain meniru.

Mengapa Indonesia Membutuhkan Disruptive Bureaucrat

Indonesia adalah negara dengan birokrasi besar, tetapi dengan tantangan pembangunan yang tak kunjung terselesaikan: kemiskinan struktural, kesenjangan sosial, tata kelola publik yang buruk, dan korupsi. Dalam situasi seperti ini, model birokrasi yang hanya melestarikan status quo justru memperpanjang penderitaan rakyat.

Sementara itu, pendekatan disruptive menjadi jalan keluar untuk membongkar sumbatan-sumbatan sistemik yang sudah mengakar. Kita butuh pejabat yang tidak takut dimusuhi kolega karena menolak kompromi yang membusuk. Kita butuh birokrat yang berani melangkah sebelum regulasi turun, selama hal itu demi kepentingan rakyat. Kita butuh figur yang membalikkan logika birokrasi dari “mengikuti prosedur dulu, baru melayani” menjadi “melayani dulu, sambil memperbaiki prosedur.”

Dalam pendekatan ini, disruption bukan berarti anarki, tetapi keberanian moral dan politik untuk mempercepat keadilan sosial. Ia adalah bentuk loyalitas tertinggi kepada rakyat, meski kadang harus melanggar kenyamanan institusional.

Tantangan dan Bahaya Disruptive Bureaucrat

Namun, disruptive bureaucrat bukan tanpa risiko. Ketika semangat pembaruan tidak diimbangi dengan akuntabilitas dan sistem nilai yang kuat, disrupsi dapat berubah menjadi pembenaran bagi otoritarianisme. Ketika figur kuat merasa dirinya satu-satunya agen perubahan, maka ia bisa melampaui batas etis dan hukum demi hasil yang ia anggap “baik”. Di sinilah letak bahaya terbesarnya: perubahan tanpa kontrol.

Pemerintahan Presiden Joko Widodo dapat menjadi contoh nyata bagaimana semangat disruption bisa menjelma menjadi masalah baru. Jokowi sendiri sering digambarkan sebagai figur rakyat biasa yang memotong jalur birokrasi. Ia merintis banyak proyek infrastruktur, menyederhanakan perizinan, dan mengedepankan akselerasi pembangunan.

Namun dalam prosesnya, justru terjadi pelemahan terhadap lembaga-lembaga pengawasan seperti KPK, pengabaian terhadap partisipasi publik dalam UU Cipta Kerja, dan penggunaan aparatur negara untuk konsolidasi politik. Percepatan pembangunan dijadikan pembenaran untuk melangkahi mekanisme demokrasi. Disrupsi yang tidak dibarengi dengan pembatasan kekuasaan justru menjadi ilusi pembaruan.

Kita menyaksikan bagaimana retorika disruptive digunakan untuk menggilas oposisi, menyederhanakan proses legislasi secara tergesa-gesa, dan membentuk koalisi politik yang terlalu besar untuk dikritik. Apa yang semula merupakan niat baik—membangun lebih cepat, melayani lebih langsung—telah menjelma menjadi struktur kekuasaan yang sulit dikoreksi.

Penutup: Disrupsi yang Berakar pada Etika

Maka, kebutuhan Indonesia terhadap disruptive bureaucrat bukan sekadar pada gaya atau keberanian mereka, tetapi pada nilai yang mereka junjung. Dedi Mulyadi dan Risma menunjukkan bahwa disrupsi birokrasi bisa tetap manusiawi, empatik, dan bersandar pada keadilan sosial. Disrupsi bukan untuk pencitraan, bukan pula untuk menumpuk kekuasaan, tetapi untuk membalikkan struktur yang tidak adil.

Disrupsi sejati adalah yang memecah kebekuan demi rakyat, bukan demi penguasa. Kita butuh lebih banyak birokrat yang berani keluar dari barisan jika barisan itu mengarah pada ketimpangan. Tapi mereka juga harus punya kompas moral yang jelas: bahwa semua perubahan, sekacau apapun, harus berpihak pada keadilan.

Kalau tidak, kita hanya berpindah dari birokrasi yang lamban ke otoritarianisme yang cepat tapi sewenang-wenang. Dan itu bukan kemajuan, melainkan regresi yang dibungkus modernitas. Indonesia butuh disruptive bureaucrat yang etis, bukan sekadar efektif.@

Share196Tweet123
Previous Post

Kredit Macet Berjamaah di Banyuwangi Bisa Memicu Konflik Sosial, Pemerintah Daerah Harus Turun Tangan

Next Post

Terobosan Fiqih Islam Dalam Isu Ijazah Palsu Jokowi

Berita Terkait

Mulai Fokus Pembuktian Ijazah Palsu Jokowi

Sebagai Manusia Jokowi  Stress?

by redaksi
Mei 31, 2025
0
1.4k

...

Transformasi Laut Cina Selatan: Pusat Kerjasama Ekonomi

Di Antara Tubuh dan Pikiran

by redaksi
Mei 31, 2025
0
1.4k

...

Vasektomi Sebagai Syarat Bansos, Haram

Mengapa Mayoritas Masyarakat Tidak Percaya Ijazah Jokowi Asli? (Analisis Fiqih Islam)

by redaksi
Mei 31, 2025
0
1.4k

...

Next Post
Vasektomi Sebagai Syarat Bansos, Haram

Terobosan Fiqih Islam Dalam Isu Ijazah Palsu Jokowi

Discussion about this post

REKAYOREK

Ini Asal Mula Nama Grup Band Rock Elpamas

10 Feb 2025

Informasi Konstruktif Melindungi dan Melestarikan Seni Budaya…

13 Feb 2025

Bahasa Universal Itu Bernama Matematika

13 Feb 2025
  • Disclaimer
  • Indeks
  • Pedoman Media Siber
  • Redaksi

Copyright © 2021 Siaga Indonesia

No Result
View All Result
  • Home
  • Berita
  • Ekonomi
  • Hukum
  • Politik
  • Lainya
    • Kriminal
    • Dunia
    • Nusantara
    • Alutsista
    • Siaga Bencana
    • Opini
    • Podcast

Copyright © 2021 Siaga Indonesia

This website uses cookies. By continuing to use this website you are giving consent to cookies being used. Visit our Privacy and Cookie Policy.