Oleh: Fatma Afifah
KURANG dari 2 (dua) bulan lagi, seluruh wilayah di Indonesia akan menggelar Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara serentak yang dijadwalkan pada Rabu, 27 November 2024. Pilkada tersebut terdiri dari pemilihan gubernur dan wakil gubernur, pemilihan bupati dan wakil bupati serta pemilihan wali kota dan wakil wali kota.
Berdasarkan data yang dirilis oleh Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU-RI), total daerah yang menyelenggarakan Pilkada serentak ialah sebanyak 545 daerah dengan rincian 37 provinsi, 415 kabupaten, dan 93 kota.
Besarnya total daerah yang menyelenggarakan Pilkada serentak tersebut diharapkan dapat melahirkan para pemimpin daerah yang amanah dan berkualitas sehingga bisa membangun fondasi yang kokoh bagi masa depan Indonesia yang lebih baik.
Sejumlah tantangan juga membayangi penyelenggaraan Pilkada serentak 2024. Mulai dari isu politik uang, perubahan regulasi KPU secara tiba-tiba, netralitas penyelenggara negara, Aparatur Sipil Negara (ASN) dan perangkat desa hingga isu hoaks serta penyebaran ujaran kebencian (hate speech).
Tantangan tersebut di atas sangat berpotensi terjadi, khususnya di daerah yang salah satu pasangan calonnya diikuti oleh petahana (incumbent) serta daerah yang pilkadanya hanya diikuti oleh calon tunggal atau melawan kotak kosong.
Mengapa tantangan tersebut bisa muncul di Indonesia? Salah satu teori yang dapat dikaitkan dengan isu tersebut ialah teori yang dikemukakan oleh salah satu pemikir dari Italia yakni Machiavelli.
Nicollo Machiavelli (1469-1527) adalah pemikir politik dari Florentine, Italia. Machiavelli merekam dinamika politik Italia di Abad ke-15 dengan melepaskan tabir moralitas yang sering digunakan oleh penguasa untuk mendapatkan legitimasi politik.
Baginya, lokus moral berada di luar domain politik dan dipisahkan sepenuhnya dari kekuasaan. Ia tidak memerlukan lagi rujukan dan legitimasi moral untuk meraih dan mempertahankan kekuasaan. Seorang pemimpin harus kuat dan menghalalkan segala cara untuk mempertahankan kekuasaan.
Machiavelli dalam “The History of Florence and The Prince” pernah menyampaikan nasihat politik kepada Pangeran yakni : 1.) menjadi seorang munafik dan pembohong yang hebat (to be a great hypocrite and a liar), 2.) mencapai hal-hal besar harus belajar menipu (to accomplish great things must learn to deceive); dan 3.) tidak pernah kekurangan alasan yang sah untuk mengingkari janjinya (never lacks legitimate reason to break his promises). Seluruh nasihat tersebut relevan dengan gaya kepemimpinan ala Machiavelli yakni politik tipu muslihat.
Pilkada pada hakikatnya merupakan sarana untuk mendapatkan kekuasaan yang dilegitimasi atau dibingkai dengan aturan hukum. Terlebih bagi seseorang yang sedang menduduki kekuasaan tersebut terdapat kecenderungan untuk mempertahankan kekuasaannya tersebut.
Calon yang merupakan seorang petahana, memiliki keuntungan yang signifikan dalam pemilu karena mereka sudah memiliki akses ke sumber daya negara, jaringan politik yang mapan, dan pengenalan publik yang tinggi.
Dalam pandangan aliran Machiavelli, petahana memiliki posisi yang kuat karena mereka telah menguasai “medan pertempuran” politik dan memahami seluk-beluk administrasi pemerintahan.
Penyalahgunaan sumber daya negara seperti menggunakan ASN, Perangkat Desa, memakai politik uang atau dengan menggunakan jaringannya untuk menyebarkan propaganda palsu di media sosial atau istilah zaman sekarang disebut sebagai buzzer politik inilah yang harus menjadi perhatian penyelenggara Pemilu seperti KPU maupun Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).
Aturan Pilkada di Indonesia telah memberikan rambu-rambu kepada peserta pilkada dalam mengikuti kontestasi pilkada 2024.
Seyogyanya penyelenggara pemilu juga harus melakukan antisipasi dengan meningkatkan sarana dan prasarana penegakan hukum pilkada termasuk menyusun peraturan Bawaslu yang lebih kuat dan komprehensif. Penerapan sanksi juga harus tegas dan bukan hanya sebatas teguran lisan belaka.
KPU, Bawaslu dan masyarakat juga harus aktif memantau penyelenggaraan Pilkada 2024 baik di kehidupan masyarakat secara langsung maupun di dunia maya melalui teknologi informasi dan komunikasi. Sehingga diharapkan, Pilkada 2024 benar-benar menghasilkan pemimpin yang berkualitas serta amanah dan bukan hanya pemimpin yang berorientasi pada kekuasaan saja seperti paham Machiavelli tersebut.@
*) Mahasiswi Prodi Ilmu Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya
Discussion about this post