IKN Dalam Skeptisisme
Januari 28, 2023
SIAGAINDONESIA.ID Rekan sejawatnya lebih akrab memanggilnya Umar petinju. Perawakannya yang kekar sering menjadi andalan dan tumpuan untuk menyelesaikan jika ada...
Read moreOleh: Akhmad Sururi
KURIKULUM merupakan pilar terpenting dalam kegiatan pembelajaran. Proses pembelajaran, kurikulum, metodologi dan evaluasi pembelajaran menjadi satu paket untuk mencapai tujuan pendidikan. Tujuan pendidikan sesuai dengan UU Sisdiknas yaitu untuk mengembangkan potensi peserta didik supaya menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Saat sekarang Kurikulum MDT yang berkembang di Indonesia sangat variatif. Perkembangan yang variatif tersebut karena pemerintah lebih menghargai kekhasan MDT sebagai lembaga pendidikan non formal yang didirikan atas prakarsa masyarakat.
Hal ini yang membedakan dengan lembaga pendidikan formal dengan penguatan regulasi kurikulum. Regulasi tentang kurikulum pada lembaga pendidikan formal mengalami perubahan sesuai dengan kebijakan pemerintah.
Sementara perubahan kurikulum MDT lebih banyak mengekor pada kurikulum formal dalam kurun waktu tertentu. Pasca muncul KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi), Kementerian Agama belum menerbitkan buku pedoman kurikulum model KTSP, Kurtilas apabila IKM (Implementasi Kurikulum Merdeka).
Di lingkungannya Kementerian Agama muncul PMA yang mengatur tentang Kurikulum mulai tingkat MI s.d MA. Lain halnya dengan MDT dengan regulasi yang secara umum hanya mengatur tentang SKL (Standar Kompetensi Lulusan), SKKD dan Standar Pelayanan Minimal sebagaimana termaktub dalam buku Pedoman Penyelenggaraan MDT.
Secara umum kurikulum yang berkembang di MDT dapat dikelompokan menjadi tiga model . Ketiganya secara sistematika berbeda namun substansi tujuan tafaquh fiddinnya sama. Materi pokok dalam kurikulum MDT berisi pengetahuan Agama Islam, mulai Tauhid, Fiqih, Tarikh, Akhlak, Al Qur an, Hadis, Tajwid ditambah dengan bahasa Arab.
Pertama kurikulum tradisional berbasis Pesantren. Model ini banyak kita jumpai di MDT wilayah Pulau Jawa. (Jawa Tengah,Jawa Barat dan Jawa Timur). Tipe kurikulum ini lebih banyak mengadopsi tradisi secara turun-temurun dari pendiri MDT tersebut. Kecenderungannya menyesuaikan dengan pengelola MDT tersebut. Kalau mayoritas pengelola alumni Lirboyo maka sebagian besar kurikulum (kitabnya) mengacu pada kitab2 yang di ajarkan di Lirboyo. Begitu juga Kaliwungu, Ploso, Sarang dan Pondok Pesantren lainnya sebagai kiblat acuan kurikulum.
Kurikulum kelompok ini juga sudah mengalami elaborasi dengan materi yang diajarkan di beberapa Pondok Pesantren lainnya. Hal tersebut dengan pertimbangan melihat karakteristik peserta didik MDT dilingkungannya. Untuk implementasi kurikulum ini lebih banyak menggunakan tulisan Arab Pegon dengan bahasa Jawa atau bahasa Sunda.
Kelompok kedua adalah kurikulum yang di terbitkan oleh Kementerian Agama. Sistematika yang dikembangkan dalam kurikulum kelompok kedua ini sama persis dengan kurikulum yang diterapkan pada lembaga pendidikan formal. Mulai era tahun 80 an sudah muncul sampai dengan terakhir tahun 2012.
Model kedua ini mengalami beberapa perkembangan revisi menyesuaikan dengan sistematika pada lembaga pendidikan formal. Perkembangan pada lembaga pendidikan formal dengan kurikulum tiga belas (kurtilas) dan kurikulum merdeka yang sampai hari ini MDT belum ada penyesuaian secara konseptual.
Model yang kedua banyak digunakan oleh MDT di luar Jawa atau MDT yang berada di perkotaan. Secara implementatif kurikulum ini banyak menggunakan tulisan latin dengan bahasa pengantar bahasa Indonesia. Hal tersebut bertujuan agar lebih memudahkan terhadap akses pemahaman pada materi kurikulum. Namun demikian beberapa tahun yang lalu sebagian materi model kurikulum ini di tulis menjadi Arab Pegon.
Sistematika pembahasan dalam kurikulum model kedua sama dengan lembaga pendidikan formal. Contohnya bab thaharoh sebagai bahasan di tengah kelas 1 tidak bisa ditemukan lagi di kelas berikutnya. Materi Pengembangan akan muncul ketika jenjang lebih tinggi dari tinggal Awaliyah ke Wustho.
Berbeda dengan kurikulum mode pertama ala pesantren. Contohnya pembahasan Tajwid tentang hukum nun mati dan tanwin yang terdapat pada kitab Hidayatus Shibyan bisa kita temukan kembali pada kitab Tuhafatul Atfal di kelas yang berbeda. Begitu juga untuk mapel tauhid, fiqih dan lainnya. Pergantian mapel atau kitab dengan fan ilmu yang sama dengan peningkatan kelas bersifat pengembangan.
Kelompok ketiga model modifikasi pola pertama dengan kedua. Model ketiga ini menitikberatkan pada aspek materi yang berbasis pesantren dan kebutuhan peserta didik dengan sistematika model pola yang kedua. Model yang ketiga ini sudah memiliki pola SKKD (Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar).
Model ketiga ini penulis temukan di MDT Tasikmalaya. Melalui tim yang dibuat oleh FKDT Tasikmalaya, kurikulum MDT berdasarkan konsep rumusan yang disepakati dengan mengelaborasi model pesantren dari sisi materi sementara untuk urutan pembahasannya mengacu pada SKKD.
Adapun sumber pembelajaran kurikulum diambilkan dari kitab kita ala Pesantren dan sebagian bersumber dari buku pengetahuan Agama Islam. Sumber pembelajaran tersebut sebagai pegangan oleh pendidik.
Dari sekian Model Kurikulum yang dikembangkan oleh MDT tentu membutuhkan standarisasi. Standarisasi ini bersentuhan dengan pengendalian mutu dan kualitas pendidikan diniyah Takmiliyah.
Implementasi standarisasi sebagaimana termaktub dalam buku yang diterbitkan oleh Kementerian Agama membutuhkan peninjauan kembali. Hal tersebut bertujuan agar kurikulum MDT bisa diterapkan sesuai dengan konteks zaman dengan perkembangan psikologi peserta didik (santri).@
*) Wakil Sekretaris Jenderal Dewan Pengurus Pusat Forum Komunikasi Diniyah Takmiliyah
Copyright © 2021 Siaga Indonesia