SIAGAINDONESIA.ID Prof.Soeparto Wijoyo, ahli hukum lingkungan, yang juga dosen Sekolah Pasca Sarjana, Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, pernah mengatakan pada suatu acara rapat dengan Bappeko (kini Bappedalitbang) Kota Surabaya pada 2018. Sudah lama memang. Tapi gagasan itu tidak kadaluarsa. Masih everlasting, pada masa lalu, sekarang dan mendatang masih relevan.
Lingkungan senantiasa dikaitkan dengan alam atau menjadi lingkungan alam. Padahal lingkungan sendiri adalah segala sesuatu, yang ada di sekitar makhluk hidup dan memengaruhi perkembangan kehidupan, baik secara langsung maupun tidak langsung, dan mencakup komponen biotik (hidup) dan abiotik (tidak hidup).
Di dalamnya adalah budaya. Sementara Budaya sendiri adalah cara hidup, yang diwariskan dari generasi ke generasi dan dimiliki oleh sekelompok orang. Budaya juga dapat diartikan sebagai akal budi, pikiran, atau adat istiadat.
Gagasan Prof. Soeparto Wijoyo kala itu adalah terciptanya ruang publik tradisional, layaknya alun alun kota di setiap kecamatan di kota Surabaya.
Jika di kota ini ada 31 kecamatan, maka ada 31 Alun alun kecamatan. Deskripsi alun alun kecamatan ini adalah lahan lapang dimana di tengahnya terdapat satu pohon pelindung berupa pohon trembesi yang didukung pohon pohon endemik yang pernah tumbuh di Surabaya. Pohon endemik ini disesuaikan dengan toponimi yang ada di suatu kecamatan.
Misalnya di kecamatan dimana kelurahan Tanjungsari berada, maka dicarikan pohon Tanjung. Kemudian pohon tanjung ditanam di tepian lahan yang menyatu dengan alun alun. Misal di kecamatan Sukomanunggal, dibentuk alun alun Sukomanunggal, yang diberi tanaman Tanjung.
Lainnya lagi di kecamatan Wiyung, dibuatkan alun alun Wiyung dengan ditanam pohon Wiyu selain pohon utamanya, Trembesi.
Dengan terciptanya alun alun dengan koleksi tanaman endemik dan pohon trembesi tidak hanya menciptakan lingkungan alam yang nyaman, tetapi bisa memberi ruang sebagai tempat sosialisasi masyarakat. Ini merupakan ruang interaksi sosial budaya.
Maka alun alun kecamatan akan menjadi panggung terbuka yang alami bagi masyarakat. Alun-alun ini menjadi ajang ekspresi kreativitas seni masyarakat. Dengan demikian lingkungan tidak sekedar bermakna lingkungan hidup, tetapi lingkungan sosial dan budaya.
Di era sekarang memang tidak gampang mencari ruang kosong, tetapi bukan tidak mungkin tidak bisa.
Raperda Pemajuan Kebudayaan
Raperda Pemajuan Kebudayaan tengah dibahas oleh Panitia Khusus (Pansus) DPRD Kota Surabaya. Diharapkan dengan Perda Pemajuan Kebudayaan, objek objek Pemajuan Kebudayaan di kota Surabaya akan tergali dan dimajukan sehingga kita mengenal kembali apa sejatinya budaya Surabaya bauk yang benda maupun tak benda.
Raperda Pemajuan Kebudayaan ini akan menjadi penyeimbang pembangunan dan perkembangan kota secara fisik. Bahkan melalui Perda Pemajuan Kebudayaan, paradigma pembangunan kota bisa berbasis kebudayaan.
Di atas telah diungkap bahwa budaya adalah cara hidup, yang diwariskan dari generasi ke generasi dan dimiliki oleh sekelompok orang. Budaya juga dapat diartikan sebagai akal budi, pikiran, atau adat istiadat.
Maka berangkat dari pembangunan akal Budi, pikiran dan istiadat maka pembangunan kota Surabaya akan bermartabat dan hebat.@PAR/nng