Hary Tanoe Jangan Jadi Menkominfo

Jika Asli Mengapa Sembunyi dan Ciut Nyali?

Mei 19, 2025
Jabatan Kepala Daerah Bukan Konten Medsos, Presiden Perlu Susun Panduan untuk Penertiban

Presiden Prabowo Bangun Rumah Tanpa Banyak Perantara?

Mei 19, 2025
Anak Bukan Tentara: Pentingnya Pendekatan Kebijakan Publik yang Inklusif, Bukan ke Barak

Membaca Dedi Mulyadi Lewat Lensa Ilmiah: Gubernur Tak Biasa untuk Jawa Barat yang Luar Biasa

Mei 19, 2025
Hary Tanoe Jangan Jadi Menkominfo
Opini

Jika Asli Mengapa Sembunyi dan Ciut Nyali?

by redaksi
Mei 19, 2025
0
1.4k

Oleh: M Rizal Fadillah LOGIKA atau alasan rasional anak SD adalah jika rakyat meragukan dan mempermasalahkan ijazah Presiden atau mantan...

Read moreDetails
Jabatan Kepala Daerah Bukan Konten Medsos, Presiden Perlu Susun Panduan untuk Penertiban

Presiden Prabowo Bangun Rumah Tanpa Banyak Perantara?

Mei 19, 2025
1.4k
Anak Bukan Tentara: Pentingnya Pendekatan Kebijakan Publik yang Inklusif, Bukan ke Barak

Membaca Dedi Mulyadi Lewat Lensa Ilmiah: Gubernur Tak Biasa untuk Jawa Barat yang Luar Biasa

Mei 19, 2025
1.4k

REKAYOREK

Ini Asal Mula Nama Grup Band Rock Elpamas

10 Feb 2025

Informasi Konstruktif Melindungi dan Melestarikan Seni Budaya…

13 Feb 2025

Bahasa Universal Itu Bernama Matematika

13 Feb 2025
Senin, Mei 19, 2025
SIAGA INDONESIA NEWS
  • Home
  • Berita
  • Ekonomi
  • Hukum
  • Politik
  • Lainya
    • Kriminal
    • Dunia
    • Nusantara
    • Alutsista
    • Siaga Bencana
    • Opini
    • Podcast
No Result
View All Result
SIAGA INDONESIA NEWS
No Result
View All Result
Home Opini

Membaca Dedi Mulyadi Lewat Lensa Ilmiah: Gubernur Tak Biasa untuk Jawa Barat yang Luar Biasa

by redaksi
Mei 19, 2025
Reading Time: 4 mins read
A A
Anak Bukan Tentara: Pentingnya Pendekatan Kebijakan Publik yang Inklusif, Bukan ke Barak

Gubernur Dedi Mulyadi. Foto: ist

491
SHARES
1.4k
VIEWS
Share on FacebookShare on Twitter

Oleh: Radhar Tribaskoro

DEDI Mulyadi, atau akrab disapa KDM, adalah fenomena politik yang mencuri perhatian nasional. Gaya kepemimpinannya di Jawa Barat bukan hanya unik, tetapi juga mengguncang norma-norma birokrasi dan protokol politik yang telah lama mapan. Ia lebih memilih terjun langsung ke lapangan, membongkar beton sungai yang menyebabkan banjir, merapikan jalan-jalan dari pedagang liar, hingga membersihkan pasar induk dari tumpukan sampah yang mengendap selama bertahun-tahun. Ia melakukan semua itu tidak hanya dengan tangan besi, tetapi dengan hati. Ia membantu pedagang terdampak dan bahkan menggunakan uang pribadinya untuk mendanai tindakan kemanusiaan.

Namun, cara kerja “tak biasa” ini tak luput dari kontroversi. Pada 7 Mei 2025, dalam Musrenbang Provinsi Jawa Barat, KDM secara terbuka menyatakan kejenuhannya terhadap rapat-rapat yang tak berujung dan politisasi kebijakan. Katanya, “Bantaran sungai semestinya tidak boleh ada bangunan. Tetapi kalau saya bicara kepada DPRD untuk membersihkannya saya akan diajak rapat tidak selesai-selesai. Saya maklum, di bantaran sungai itu setiap partai punya konstituen. Maka lebih baik saya bongkar sendiri, saya tanggung jawab saya sendiri.”

Pernyataan ini kontan menyulut ketegangan politik. Puncaknya, pada 16 Mei 2025, fraksi PDIP DPRD Jawa Barat melakukan aksi walk out dari sidang paripurna, menuduh KDM merendahkan eksistensi partai politik dan enggan berkoordinasi. Dalam tanggapannya, KDM mengembalikan kritik itu dengan retoris: “Ingin dihargai tetapi tidak mau menghargai. Mengaku berjuang untuk rakyat tetapi giliran anggaran dibuat untuk kepentingan rakyat tak terima dianggap melanggar konstitusi.”

Mengapa gaya kerja seperti ini bisa memunculkan kegaduhan sekaligus dukungan yang luar biasa? Pertanyaan ini perlu dijawab melalui pendekatan ilmiah. KDM bekerja bukan dengan paradigma birokrasi konvensional, tetapi dengan pendekatan sistem dinamis dan responsif, yang dalam teori governance dikenal sebagai adaptive leadership dan direct action governance (Heifetz, 1994; Ostrom, 1990). Ia bukan birokrat biasa, ia adalah pemimpin lapangan yang mendobrak tembok formalitas demi efisiensi dan keadilan.

Dalam konteks teori sistem sosial Niklas Luhmann (1995), tindakan KDM bisa dilihat sebagai upaya irritation atau gangguan sistemis terhadap sistem politik yang terlalu tertutup, terlalu berorientasi pada reproduksi formalitasnya sendiri. KDM menghadirkan diferensiasi baru: ia membawa logika moral dan logika efektivitas langsung ke dalam sistem yang biasanya hanya sibuk dengan logika politik dan logika prosedural. Dalam sistem seperti ini, suara rakyat sering tersaring oleh kepentingan partai dan tafsir konstitusionalisme yang sempit.

Tentu saja langkah seperti ini mengganggu struktur kekuasaan yang telah mapan. DPRD, sebagai representasi partai-partai politik, melihat langkah KDM sebagai bentuk ketidaksinkronan dan pengabaian terhadap fungsi representatif mereka. Namun publik melihat sebaliknya: KDM bekerja nyata, menyelesaikan masalah, dan memperlihatkan hasil. Konflik ini adalah benturan antara performance legitimacy (legitimasi berbasis kinerja) dengan procedural legitimacy (legitimasi berbasis prosedur).

Konflik serupa pernah muncul dalam studi-studi new public management (NPM) dan post-bureaucratic governance (Barzelay, 2001; Osborne & Gaebler, 1992), di mana pemimpin-pemimpin lokal yang berani membuat keputusan langsung dan tidak birokratis sering dituduh tidak demokratis. Namun riset menunjukkan bahwa ketika tindakan mereka efektif, akuntabel, dan transparan, masyarakat cenderung lebih mempercayai pemimpin semacam itu dibanding mereka yang hanya sibuk rapat tanpa hasil.

Peran media sosial dalam strategi kepemimpinan KDM juga tidak bisa diabaikan. Ia bukan sekadar mempublikasikan kerja-kerjanya, tetapi juga membangun ruang deliberatif alternatif yang memungkinkan publik langsung mengakses informasi, memvalidasi tindakan pemerintah, dan menyampaikan aspirasinya. Ini sejalan dengan gagasan Manuel Castells (2009) tentang networked politics, yaitu ketika aktor politik menggunakan jaringan digital untuk mengubah relasi kuasa, menciptakan konektivitas antara pemimpin dan rakyat, melampaui institusi formal.

Kasus pengiriman pelajar yang melakukan kenakalan ke pusat pendidikan militer adalah contoh menarik. Meski dikritik oleh LSM dan akademisi sebagai tidak ilmiah dan militeristik, kebijakan ini justru memperoleh dukungan luas dari netizen. Mereka tidak hanya membela KDM, tapi juga mengejek pengkritik sebagai bagian dari “rezim omong kosong.” Dukungan ini tidak hanya muncul karena kebijakan itu dianggap efektif, tetapi juga karena ada transparansi dalam proses pengambilan keputusannya dan pembiayaan yang berasal dari kantong pribadi gubernur. Dalam hal ini, KDM telah melampaui model governing by rule, dan beralih ke governing by trust.

Penolakan Gubernur Kalimantan Timur terhadap gaya KDM sebagai “gubernur konten” adalah ekspresi dari resistensi terhadap politik visual dan narasi personal. Namun di era mediatized politics, di mana publik lebih mempercayai pengalaman visual daripada wacana institusional, konten yang diunggah KDM bukan sekadar pencitraan, melainkan instrumen transparansi baru. Ia menciptakan rekam jejak digital yang bisa diaudit publik kapan saja.

Langkah KDM membongkar praktek dana hibah adalah bukti bahwa ia tidak hanya aktif secara operasional, tetapi juga sadar akan pentingnya system cleansing untuk memperbaiki tata kelola. Dana hibah yang diduga mengalir ke yayasan milik eks-wakil gubernur menjadi pintu masuk untuk mengungkap kedekatan politik yang disfungsional. KDM mengembalikan akal sehat dalam penganggaran publik: dana publik harus digunakan berdasarkan kebutuhan riil, bukan karena koneksi politik.

Langkah efisiensi luar biasa dengan memangkas anggaran komunikasi dari 50 miliar menjadi 3 miliar adalah capaian monumental. Ini tidak sekadar soal anggaran, tapi soal efisiensi sistemik. Dengan memanfaatkan media sosial dan jaringan relawan digital, KDM menunjukkan bahwa komunikasi pemerintahan yang efektif bisa murah, cepat, dan tepat sasaran. Ini adalah contoh implementasi prinsip smart governance dalam kerangka digitalisasi pelayanan publik (Meijer & Bolívar, 2016).

Tentu saja, keberanian KDM ini bukan tanpa risiko. Ia berhadapan dengan sistem lama yang memiliki banyak pembela, baik di legislatif maupun di luar institusi. Namun, dalam konteks demokrasi substantif, tindakan seperti KDM seharusnya tidak dipandang sebagai pembangkangan, tetapi sebagai koreksi struktural. Ia membawa semangat restorasi publik ke dalam sistem yang terlalu lama dikendalikan oleh kompromi politik.

Untuk itu, dibutuhkan teoretisasi atas cara kerja KDM. Ia adalah figur disruptive bureaucrat yang patut dikaji bukan hanya sebagai individu populis, tetapi sebagai gejala dari transformasi kepemimpinan publik di era digital dan krisis kepercayaan. Ke depan, model seperti KDM bisa menjadi inspirasi bagi kepemimpinan daerah lainnya, asalkan tetap menjunjung transparansi, partisipasi publik, dan akuntabilitas.

Sebagai penutup, kita tidak sedang melihat sekadar seorang Gubernur Jawa Barat. Kita sedang menyaksikan eksperimen politik yang membawa demokrasi lebih dekat ke rakyat dengan cara yang langsung, transparan, dan penuh tanggung jawab. KDM adalah pengingat bahwa dalam dunia yang penuh basa-basi, kejujuran dan tindakan nyata bisa menjadi radikal.@

Referensi:

Luhmann, Niklas. (1995). Social Systems. Stanford University Press.
Heifetz, Ronald A. (1994). Leadership Without Easy Answers. Harvard University Press.
Ostrom, Elinor. (1990). Governing the Commons. Cambridge University Press.
Barzelay, Michael. (2001). The New Public Management: Improving Research and Policy Dialogue. University of California Press.
Osborne, D., & Gaebler, T. (1992). Reinventing Government. Addison-Wesley.
Castells, Manuel. (2009). Communication Power. Oxford University Press.
Meijer, A. & Bolívar, M. P. R. (2016). Governing the Smart City: A Review of the Literature on Smart Urban Governance. International Review of Administrative Sciences, 82(2).

*Penulis adalah mantan Sekertaris DPD Gerindra Jawa Barat

Share196Tweet123
Previous Post

BGN dan Mitra Kerja Sosialisasi Program Makan Bergizi Gratis di Desa Kedinding Sidoarjo

Next Post

Presiden Prabowo Bangun Rumah Tanpa Banyak Perantara?

Berita Terkait

Hary Tanoe Jangan Jadi Menkominfo

Jika Asli Mengapa Sembunyi dan Ciut Nyali?

by redaksi
Mei 19, 2025
0
1.4k

...

Jabatan Kepala Daerah Bukan Konten Medsos, Presiden Perlu Susun Panduan untuk Penertiban

Presiden Prabowo Bangun Rumah Tanpa Banyak Perantara?

by redaksi
Mei 19, 2025
0
1.4k

...

BGN dan Mitra Kerja Sosialisasi Program Makan Bergizi Gratis di Desa Kedinding Sidoarjo

BGN dan Mitra Kerja Sosialisasi Program Makan Bergizi Gratis di Desa Kedinding Sidoarjo

by Swara
Mei 18, 2025
0
1.4k

...

Next Post
Jabatan Kepala Daerah Bukan Konten Medsos, Presiden Perlu Susun Panduan untuk Penertiban

Presiden Prabowo Bangun Rumah Tanpa Banyak Perantara?

Discussion about this post

REKAYOREK

Ini Asal Mula Nama Grup Band Rock Elpamas

10 Feb 2025

Informasi Konstruktif Melindungi dan Melestarikan Seni Budaya…

13 Feb 2025

Bahasa Universal Itu Bernama Matematika

13 Feb 2025
  • Disclaimer
  • Indeks
  • Pedoman Media Siber
  • Redaksi

Copyright © 2021 Siaga Indonesia

No Result
View All Result
  • Home
  • Berita
  • Ekonomi
  • Hukum
  • Politik
  • Lainya
    • Kriminal
    • Dunia
    • Nusantara
    • Alutsista
    • Siaga Bencana
    • Opini
    • Podcast

Copyright © 2021 Siaga Indonesia

This website uses cookies. By continuing to use this website you are giving consent to cookies being used. Visit our Privacy and Cookie Policy.