SIAGAINDONESIA.ID Hari ini, Jumat (2/9/2022), Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, akan menggelar sidang putusan kasus pemalsuan surat dengan terdakwa H Zainal Adym, SH.
Namun dari informasi di lapangan, ada info majelis hakim yang memeriksa dan mengadili kasus pemalsuan surat ini dikabarkan akan menjatuhkan putusan bebas kepada terdakwa.
Sekedar diketahui, saat ini masa tahanan terdakwa akan habis pada 6 September 2022 mendatang.
Sebelumnya Kejaksaan Negeri (Kejari) Tanjung Perak Diah Ratri Hapsari menjatuhkan tuntutan 1 tahun penjara.
Bocornya putusan bebas tersebut sampai ke telinga Ormas Komunitas Rakyat Anti Korupsi (KORAK).
“Sejak awal kami sudah memantau kasus itu. Dan kemarin ada informasi kalau terdakwa mau dibebaskan,” kata Ketua Harian KORAK, Efianto pada awak media, Jum’at (2/9/2022).
Atas bocornya informasi ini, KORAK akan melaporkan dugaan bocornya putusan bebas tersebut ke Mahkamah Agung, Badan Pengawasan Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial maupun ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
“Andai kata putusan bebas itu benar, kita akan laporkan. Kita tunggu saja putusannya yang rencananya akan dibacakan hari ini setelah sholat Jum’at,” ujarnya.
Sementara itu, Humas PN Surabaya Suparno belum mengetahui kabar tersebut. Dia menyebut jika putusan majelis bersifat rahasia.
“Semua putusan majelis hakim itu rahasia, saya yakin tidak akan bocor,” katanya saat dikonfirmasi Jum’at (2/9).
Terpisah, Kasi Pidum Kejari Tanjung Perak Hamonangan P. Sidauruk menyerahkan keputusan perkara tersebut kepada majelis hakim.
“Kami akan menghormati apapun yang diputuskan oleh majelis hakim,” ujarnya.
Apabila putusan hakim tidak sesuai dengan tuntutan jaksa, maka pihaknya akan melakukan upaya hukum.
“Kita lihat saja putusannya. Kalau bebas iya kita kasasi,” tandasnya.
Diketahui, dugaan pemalsuan surat ini bermula ketika terdakwa membuat surat pengakuan hutang atau pemakaian dana kopontren tanggal 17 Juli 1996 perihal perjanjian penggunaan dana kopontren “Assyadziliyah” dalam tempo satu tahun sampai tanggal 17 Juli 1997.
Dalam perjanjian itu, terdakwa menjaminkan SHBG No 221 dengan obyek tanah dan bangunan yang terletak di Jl Prapanca No 29 Surabaya yang ditandatangani oleh terdakwa sebagai yang menerima perjanjian, yang seolah-olah ditandatangani oleh Soebiantoro sebagai yang membuat perjanjian dan disetujui oleh K.H. Achmad Djaelani sebagai Pengasuh Pondok Pesantren Assyadziliyah, padahal Soebiantoro telah meninggal sejak 22 Januari 1989.
Surat perjanjian itu selanjutnya digunakan oleh terdakwa untuk melakukan gugatan ke PN Surabaya dengan perkara No 211/Pdt.G/2016/PN.Sby tanggal 04 Maret 2016 dan berujung pada eksekusi, padahal objek tanah dan bangunan tersebut telah dijual oleh ahli waris Soebiantoro ke Ferry Widargo pada tahun 2005.
Mengetahui hal itu, Bambang Sumi Ikwanto akhirnya membawa dugaan pemalsuan surat tersebut ke ranah hukum. Oleh JPU, terdakwa didakwa dengan Pasal 263 ayat (1) KUHP.@