Oleh: Daniel Mohammad Rosyid (@Rosyid College of Arts)
SETELAH ada wacana libur penuh selama Ramadhan seperri era Gus Dur dahulu, wacana itu kemudian menyusut menjadi libur seminggu di awal dan akhir Ramadhan. Sayang sekali gagasan Gus Dur ini tidak disegarkan kembali. Kita tahu bahwa Gus Dur bukan anak sekolahan seperti si Doel. Gus Dur adalah contoh otodidak par excellent. Dia pembaca luar biasa. Kesukaannya pada buku dikisahkan seperti ini: orang yang paling bodoh di planet ini adalah orang yang meminjamkan buku pada orang lain. Tapi ada yang lebih bodoh, yaitu orang yang mengembalikan buku pinjaman.
Seharusnya memang belajar sebagai jantung pendidikan dimulai dari buku. Dimulai dari membaca. Jika membaca buku adalah mengulang pengalaman penulisnya, membaca bisa juga diartikan mengalami. Orang bijak mengatakan pengalaman adalah guru terbaik. Pengalaman adalah dongeng yg tidak tertulis tapi ada dalam kesadaran dan ingatan. Konon anak-anak Bugis yg pintar disuruh ayahnya melaut. Yang nggak terlalu pintar disuruh sekolah. Juga di Madura. Manusia diciptakan dalam bentuk terbaik. Anak-anak adalah pembelajar yg cerdas, lebih cerdas daripada learning machines. Sekolah dan guru malah sering membuatnya jadi dungu.
Banyak guru tidak menghargai pengalaman murid-muridnya, terlalu disibukkan untuk menyelesaikan materi sajian yg sudah distandarkan secara nasional. Tidak banyak guru juga mengajarkan membaca yang menyenangkan. Perpustakaan di banyak sekolah adalah layanan yang terbelakang secara fisik maupun secara mindset. Penghargaan pada buku rendah sekali. Lebih penting komputer, AC dan bengkel.
Anak-anak kota Indonesia menghabiskan terlalu banyak waktu di sekolah. Miskin pengalaman 3D. Kurang berinteraksi dengan masyarakat dan lingkungan agro-maritim yang melimpah. Ini menjelaskan mengapa tingkat literasi siswa kita juga rendah : dijauhkan dari pengalaman dan buku. Juga mengapa kita gagap membangun pemerintahan di laut yang luasnya 2 kali luas daratan kita.
Banyak orang tua bingung jika anak-anak mereka lebih banyak di rumah. Padahal banyak yang bisa dilakukan bersama anak-anak mereka selama liburan. Mungkin banyak keluarga yang tidak cukup mampu untuk mengisi liburan bahkan untuk menyediakan makan pagi bergizi sekalipun. Makan pagi bergizi di rumah adalah pengalaman yg sangat mendidik. Jika disekolah hanya pengajaran atau ta’lim, di rumah, juga di masyarakat, yg terjadi adalah pengasuhan atau tarbiyyah. Sekolah hanya menyediakan makan siang bergizi seragam, di rumah disediakan makan bergizi yang kaya ragam.
Ruang-ruang kelas seringkali bukan tempat belajar terbaik, apalagi bagi anak lelaki. Sekolah mungkin tempat guru mengajar terbaik. Ini problem mendasar karena banyak pengambil kebijakan pendidikan melihatnya dari sisi supply, bukan dari sisi learning needs siswa. Yang dibutuhkan anak-anak muda saat ini adalah kesempatan belajar, bukan bersekolah. Bahkan formalisme persekolahan seringkali justru menjadikannya barang langka, mahal lalu mempersempit kesempatan belajar. Apalagi di zaman internet saat ini. Ini adalah zaman otodidak.
Hemat saya, libur sebulan penuh selama Ramadhan justru bisa memperkaya pengalaman siswa. Ini akan memperbaiki pendidikan anak-anak kita asalkan mereka tetap membaca, dan belajar di luar sekolah. Bisa di pesantren, menjelajahi kota, atau menjelajahi Nusantara untuk mengalami kekayaan agro-maritim yang melimpah. Mereka akan segera tahu jika laut atau pesisir Nusantara dikavling orang asing.@