Oleh: Radhar Tribaskoro
DI sebuah desa di lereng gunung, seorang ibu menyusun daftar belanja harian sambil menghitung sisa uang di celengan plastik. Ia bukan menteri, bukan ekonom. Tapi pagi itu, ia sedang mengambil keputusan anggaran. Ia sedang menimbang antara membeli beras atau membayar arisan koperasi. Sederhana dan sunyi, tapi demokratis.
Seseorang pernah berkata—entah siapa yang mula-mula menyusunnya—bahwa koperasi adalah demokrasi yang bekerja di dapur-dapur rumah rakyat. Kalimat ini tak tercetak dalam kitab klasik Montesquieu atau tertulis di dinding parlemen. Tapi ia mengandung kebenaran yang terlalu dalam untuk didebatkan. Ia hidup di pasar, di kantong para buruh tani, di kertas penghitungan sederhana yang mencatat simpanan harian.
Kita sering melihat demokrasi sebagai pawai. Ada suara nyaring, ada poster besar, ada pidato yang membahana. Demokrasi diasosiasikan dengan gedung tinggi bernama DPR atau dengan TPS di bawah tenda plastik. Tapi mungkin kita lupa bahwa demokrasi, pada dasarnya, bukan hanya tentang memilih pemimpin. Demokrasi adalah soal mengelola hidup bersama—dalam kesetaraan, dalam partisipasi, dalam rasa saling percaya.
Koperasi adalah bentuk paling senyap dari demokrasi. Ia bekerja dalam logika berbagi, bukan memperebutkan. Ia hidup dari kebersamaan, bukan kompetisi. Ia tumbuh dari kebiasaan saling mengandalkan, bukan saling mencurigai. Di dalam koperasi, keputusan diambil bersama. Satu suara, satu orang. Tidak berdasarkan saham, bukan berdasarkan modal, tapi berdasarkan partisipasi.
Muhammad Hatta, proklamator yang tak pernah merasa nyaman duduk di kursi kekuasaan, barangkali yang paling awal menyadari potensi koperasi sebagai alat perjuangan. Bagi Hatta, koperasi bukan sekadar alat ekonomi, tapi juga alat pendidikan politik. Rakyat yang belajar menabung bersama, menentukan harga bersama, mengelola risiko bersama, pada dasarnya sedang belajar berdaulat atas hidupnya sendiri.
Koperasi adalah cara untuk mengangkat demokrasi dari langit wacana ke bumi kenyataan. Ia tak butuh konstitusi untuk lahir. Ia tumbuh dari gotong royong, dari rasa malu bila tak menepati giliran pinjaman, dari rasa percaya bahwa uang yang disimpan hari ini akan kembali sebagai pinjaman besok.
Namun sayangnya, koperasi tak pernah menjadi bintang dalam langit politik kita. Ia kalah gaung dari konglomerat, tenggelam dalam kerumunan startup, atau dicurigai sebagai alat politik elektoral belaka. Padahal di balik koperasi, ada sejenis keheningan yang menandai kedewasaan. Karena dalam koperasi, rakyat tidak meminta-minta. Mereka mengatur diri mereka sendiri.
Hari ini, kita menyaksikan sistem ekonomi yang semakin menjauh dari nilai demokrasi. Pasar bebas mengandalkan egoisme. Negara terlalu sibuk melayani pemodal. Dan koperasi? Ia terpinggirkan, dianggap kuno, dianggap lamban. Padahal mungkin justru karena ia lambanlah, koperasi tidak terburu-buru membakar tanah, menebang hutan, atau memecah masyarakat.
Di banyak negara, koperasi menjadi tumpuan. Di Jepang, koperasi konsumen mengatur distribusi pangan dengan efisien dan adil. Di Skandinavia, koperasi perumahan menjamin tempat tinggal layak bagi rakyat. Di Kerala, India, koperasi perempuan menjalankan sistem ekonomi mikro yang menjangkau jutaan rumah tangga. Di negara-negara itu, demokrasi tidak hanya hadir di kotak suara, tapi juga di koperasi susu, koperasi kredit, koperasi anak muda digital.
Koperasi membentuk semacam publicness, ruang bersama yang tidak dikuasai negara, tetapi juga tidak diprivatisasi oleh pasar. Sebuah jalan ketiga. Sebuah alternatif.
Kita kerap bertanya, mengapa demokrasi terasa rapuh? Mungkin jawabannya ada di tempat yang tak pernah kita lihat. Di dapur. Di lembar tabungan koperasi. Di simpan-pinjam ibu-ibu kampung. Di titik-titik kepercayaan kecil yang membentuk jaringan besar solidaritas.
Demokrasi bukan dimulai dari pemilu. Demokrasi dimulai ketika orang belajar percaya pada orang lain. Ketika keputusan diambil bersama, bukan dipaksakan dari atas. Ketika orang belajar bertanggung jawab bukan hanya atas dirinya, tapi juga atas kelompoknya.
Dan koperasi, dengan segala kelemahan dan kesahajaannya, adalah laboratorium tempat itu berlangsung setiap hari.
Maka ketika kita mendengar ungkapan itu lagi—koperasi adalah demokrasi yang bekerja di dapur-dapur rumah rakyat—kita tidak harus mencari siapa yang mengatakannya. Kita hanya perlu membuka mata dan melihat bahwa barangkali, demokrasi tidak sedang mati. Ia hanya sedang beristirahat. Diam-diam bekerja. Di balik tumpukan buku simpanan, di antara tangan-tangan yang menghitung hasil panen, atau di sela pembicaraan kecil dalam rapat mingguan koperasi.
Di sanalah, barangkali, demokrasi masih hidup. Tanpa sorotan kamera. Tanpa panggung. Tapi nyata. Dan bekerja.@
Discussion about this post