Oleh: Dr. Herlindah, S.H., M.Kn
BADAN Pengusahaan (BP) Batam berencana merelokasi penduduk Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau. Jumlah penduduknya kurang lebih 7.500 jiwa.
Pemerintah beralasan relokasi dilakukan guna mendukung rencana pengembangan investasi di Pulau Rempang. Rencananya dibangun kawasan industri, jasa, dan pariwisata dengan nama Rempang Eco City. Proyek ini bahkan masuk dalam Proyek Strategis Nasional (PSN) pemerintah pusat.
Namun sebelum itu, konflik pun muncul. Rakyat Rempang menolak relokasi. Bentrok pun terjadi. Bahkan anak sekolah yang masih melakuan aktivitas belajar mengajar terpaksa dihentikan.
Sebenarnya terjadinya konflik lahan di Pulau Rempang perlu ditelusuri bagaimana proses pemberian Hak Pengelolaan Lahan (HPL) sebelumnya. Harus jelas dulu apakah sudah tuntas baik secara de jure maupun de facto.
De jure, masalah status hak secara yuridisnya (hubungan hukum), sedangkan secara de facto hubungan secara fisiknya terkhusus masyarakat yang lebih dulu ada (kampung tua dan pendatang lainnya).
Penetapan HPL berdasarkan Keppres tersebut, semestinya diikuti dengan proses pendaftaran HPLnya. Tentunya harus melalui rangkaian kegiatan pendaftaran tanahnya yaitu perekaman data yuridis dan data fisiknya.
Untuk data fisik, ini terkait erat dengan eksistensi masyarakat yang menghuni di lokasi yang ditetapkan HPL tersebut. Jika sudah ada penghuninya, maka harus diselesaikan dahulu urusan antara calon penerima HPL dengan masyarakat yang telah ada tersebut.
Kondisinya harus clean and clear, harus jelas status hubungan hukumnya antara masyarakat dengan tanah yang menjadi objek HPL. Apakah nanti masyarakat harus pindah lokasi keluar lokasi ataukah tetap berada di dalamnya.
Hal ini juga berkaitan bagaimana pemerintah melihat atau memposisikan masyarakat yang ada tersebut. Masyarakat masuk dalam kategori yang mana, apakah masyarakat adat, apakah masyarakat biasa.
Penilaian keberadaan masyarakat, bukan berdasarkan setelah penetapan HPL dalam Keppres tapi sebelum penetapan itu dibuat. Pemerintah wajib menghormati masyarakat yang telah mendiami terlebih dahulu.
Sebab pemilik hak atas tanah tertinggi itu hak bangsa, dan masyarakat yang ada tersebut bagian dari bangsa.
Investor asing posisinya tidak lebih tinggi dari posisi masyarakat itu. Pemberian hak kepada investor (apalagi asing) harus dipastikan akan membawa kesejahteraan seluruh bangsa, tak terkecuali masyarakat yang ada di Pulau Rempang.
Hal yang harus diperhatikan juga cara-cara penyelesaian masalah. Pemerintah harus melihat situasi, butuh sinergisitas antar lembaga negara. Jangan masing-masing punya pendapat yang berbeda, sehingga memicu berbagai polemik dan rawan ditunggangi berbagai kepentingan tersembunyi. Siapa yg harus tegas, ya presidennya sebagai pemimpin. Pastikan situasi kondusif tanpa ada kekerasan.
Kasus ini akan menjadi contoh juga dalam pemberian HPL-HPL di wilayah lainnya. Seperti adanya wacana penetapan HPL terhadap lahan-lahan ex-HGU yang dikuasai BUMN. Dimana di lokasi tersebut telah ada masyarakat yang menguasai secara turun menurun.
Selain itu, perlu dipahami bersama mengenai penyebutan Tanah Negara. Ada tanah negara bebas dan ada tanah negara tidak bebas.
Tanah negara bebas adalah tanah yang tidak dilekati hak apapun dan tidak dikuasai secara fisik oleh siapapun (orang atau badan hukum). Sedangkan tanah negara tidak bebas adalah tanah yang tidak dilekati hak atas tanah tetapi di atasnya terdapat penguasaan-penguasaan baik secara formal (termasuk HPL, hak garap berdasarkan ijin garap kepada pemerintah, sudah menempati sejak sebelum Indonesia merdeka) maupun secara informal (masyarakat pendatang lainnya yang tidak dengan ijin yang menempati tetapi sudah berlangsung bertahun-tahun secara turun menurun).
Karena itu jika harus melakukan pembebasan tanah, maka pendekatannya berbeda.@
*) Dosen Hukum Agraria FH Universitas Brawijaya Malang.
Discussion about this post