Oleh: Prihandoyo Kuswanto
DIGANTINYA UUD 1945 dengan UUD 2002 telah merubah tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara justru kita masuk didalam alam ketidakadilan.
Semua yang berkuasa, partai politik, suka tidak suka, mau tidak mau, rakyat di partai politikan. Jika tidak ikut di dalam partai politik maka rakyat tidak punya hak bersuara, tidak punya hak memilih. Kedaulatannya sudah diamputasi.
Partai politik menjadi segala-galanya kehidupan rakyat. Ini ditentukan oleh suara politik, bahkan rusak dan tidak rusaknya kehidupan berbangsa dan bernegara ditentukan oleh banyak-banyakan suara di DPR .
Sistem berbangsa dan bernegara telah dirusak dari sistem kolektivisme menjadi sistem Presidensial banyak banyakan suara.
Bahkan visi misi negara diganti dengan visi misi Presiden, visi misi Gubernur, visi misi Bupati dan walikota.
Indonesia sudah tidak lagi mempunyai tujuan Keadilan Sosial Bagi Seluruh Indonesia.
Mungkin para elite lupa tujuan Indonesia merdeka di Alinea keempat merupakan visi negara merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Sedang misi negara adalah :
“Kemudian daripada itu untuk membentuk susunan pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Akibat digantinya UUD 1945 dan Pancasila sudah tidak menjadi dasar negara. Bangsa Indonesia di usianya yang ke 77 tahun semakin tersesat dan rusaknya keadaan bangsa dan negara.
Negara Indonesia tidak lagi berdasarkan hukum. Garda terdepan penegakan hukum adalah kepolisian. Tetapi alam Indonesia dan roh pendiri bangsa ini rupanya tidak terima dengan dirusaknya negara Indonesia .
Kasus Kaisar Sambo merupakan kekuatan roh pendiri bangsa yang membuka kerusakan Polri. Semakin hari kasus tersebut semakin membukakan mata batin kita ada yang salah dalam mengelolah negara ini.
Bagi pengelolah dan penikmat kekuasaan mungkin Indonesia dianggap baik baik saja. Tetapi sesungguhnya telah terjadi pembusukan yang sangat mengkuatirkan masa depan anak cucu kita.
Bagaimana tidak kuatir penegak hukum sebagai garda terdepan penegakan hukum justru oknum polisinya bermain narkoba, judi dan membeking tempat tempat portitusi dan diskotik tempat peredaran narkoba. Ini artinya oknum polisi sedang menghancurkan generasi mudanya sendiri .
Jika itu disebut oknum tetapi yang melakukan adalah Satgas Merah Putih sungguh mengerikan.
Semua setuju sebagai bangsa membutuhkan polisi yang kuat dan bermartabat bukan polisi sebagai penjaga negara justru menjadi pagar memakan tanaman.
Sebagai sebuah lembaga, DPR harusnya mampu mengkontrol jalannya pemerintahan yang terjadi. Ini justru DPR abai dalam pengawasan terhadap Polri.
Bukannya Satgas Merah Putih itu berdiri sejak Kapolrinya Tito?
Sudah ganti dua Kapolri mengapa tidak dipertanyakan atau dibubarkan. Begitu juga dengan Kapolri pengganti Tito apa tidak mengetahui sepak terjang Satgasus Merah Putih?
Artinya ada permasalahan yang Kapolri tidak mampu melawan Satgasus. Baru terbuka ketika kasus pembunuhan Brigadir Josua.
Kasus Sambo semakin hari semakin terbuka dan banyak hal baru yang timbul dan mencengangkan banyak pihak ditemukannya uang sebanyak 900 milyar di rumahnya, perjudian online bahkan terbongkarnya tempat perjudian casino.
Negara Indonesia telah menetapkan dirinya menjadi negara hukum. Nagara hukum adalah konsep negara yang bersandar pada keyakinan bahwa kekuasaan negara harus dijalankan atas dasar hukum yang adil dan baik.
Negara Indonesia adalah negara hukum. Demikian bunyi Pasal 1 Ayat 3 Undang-undang Dasar (UUD) 1945. Yang dimaksud negara hukum adalah negara yang di dalamnya terdapat berbagai aspek peraturan-peraturan yang bersifat memaksa dan mempunyai sanksi tegas apabila dilanggar.
Negara ini membutuhkan kepolisian untuk menjaga keamanan dan ketertiban. Oleh sebab itu polisi yang harus ditertibkan dahulu. Butuh perubahan sistem yang mendasar. Butuh meluruskan hukum. Tidak boleh lagi polisi melanggar aturan misal soal merangkap jabatan ini harus di akhiri sebab UU no 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI.
Larangan bagi Polri untuk rangkap jabatan diatur pada pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI yang berbunyi, “Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.” serupa dengan TNI, anggota Polri diperbolehkan menduduki jabatan di luar kepolisian apabila ia telah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.
Mengenai yang dimaksud dengan jabatan di luar kepolisian dijelaskan lebih lanjut dalam Penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU Kepolisian, “Yang dimaksud dengan “jabatan di luar kepolisian” adalah jabatan yang tidak mempunyai sangkut paut dengan kepolisian atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri.”
Perlu diketahui pula, anggota TNI/Polri tersebut tidak pernah diberhentikan dengan hormat, tidak atas permintaan sendiri atau tidak dengan hormat sebagai prajurit Tentara Nasional Indonesia atau anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia. Aturan ini sesuai pada Pasal 23 ayat (1) huruf c Peraturan Pemerintah No. 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil.
Penempatan sejumlah perwira TNI/Polri aktif dalam jajaran direksi dan komisaris perusahaan BUMN menggambarkan keengganan pemerintah melaksanakan reformasi TNI/Polri dan menjalankan amanat peraturan perundang-undangan.
Bagaimana kita mau memperbaiki hukum kita jika institusi polri sebagai penegak hukum justru melanggar hukum.
Sebagai bangsa apa negara yang separi. Ini yang kita cita-citakan. Butuh kesadaran untuk menyelamatkan negara ini. Tidak ada jalan lain selain kembali pada Pancasila dan UUD1945 asli. Sudah cukup kita melakukan akrobatik ketatanegaraan yang bertentangan dengan Pancasila.@
*) Ketua Pusat Kajian Rumah Pancasila