Oleh: Prihandoyo Kuswanto
GEGAP gempitanya menyikapi putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat atas gugatan Partai Prima, para pakar ahli hukum saur manuk membuat opini. Padahal mereka ahli hukum yang harusnya kalau tidak setuju ya masuk di ranah hukum bukan dijalankan atau di Medsos teriak teriak menebar opini.
Mungkin dia lupa azaz “res judicata pro veritate habetur” dengan arti putusan hakim harus dianggap benar sampai putusan inkracht. Dan masih ada langkah hukum hingga PK (peninjauan kembali).
Justru kita melihat akrobatik para pakar dengan segala analisanya untuk membuat opini bahkan ada melontarkan agar hakimnya dipecat.
Pokok putusan PN Jakpus atas gugatan Partai Prima nomor 757/Pdt.G/2022/PN.Jkt.Pst antara lain berbunyi “4. menghukum tergugat membayar ganti rugi materiil sebesar 500 juta rupiah kepada penggugat, 5. menghukum tergugat untuk tidak melaksanakan sisa tahapan pemilihan umum 2024 sejak putusan ini diucapkan dan melaksanakan tahapan pemilihan umum dari awal selama lebih kurang 2 tahun 4 bulan 7 hari serta 6. menyatakan putusan perkara ini dapat dijalankan terlebih dahulu secara serta merta (uitvoerbaar bij voorraad)”.
Jadi sudah jelas aturan hukum itu bagaimana ada yang mengatakan putusan itu melanggar UUD 1945. Menurut pemikiran kami harusnya putusannya tidak ada Pilpres atau Pemilu sebab negara berdasarkan Pancasila dan penjelasan pembukaan UUD 1945 pokok pikiran pembukaan UUD 1945 adalah dengan sistem permusyawaratan perwakilan. Bukan pilsung, pilpres, atau pilkada.
Jadi apakah partai partai politik itu berideologi Pancasila atau tidak? Kalau berideologi Pancasila harusnya yang dijalankan sistem permusyawatan perwakilan. Bukan kekuasaan diperebutkan banyak banyakan suara kalah menang, pertarungan, kuat-kuatan, dan kaya-kayaan. Jelas bertentangan dengan Pancasila.
Dengan demokrasi liberal yang basisnya individualisme jelas bertentangan dengan Pancasila. Bahkan lebih aneh lagi negara yang asalnya Bhineka Tunggal Ika direduksi hanya tinggal satu golongan yaitu golongan politik. Apa pernah pendiri negeri ini menyatakan bahwa negara ini hanya untuk satu golongan golongan partai politik?
Jadi kalau putusan pengadilan menunda Pemilu harusnya justru membubarkan saja pemilu dan kembali pada Pancasila dan UUD 1945. Mengembalikan MPR sebagai lembaga tertinggi negara bukannya UUD 2002 hasil amandemen tidak sah? Bukannya UUD 1945 hasil dekrit Presiden 5Juli 1959 tidak pernah dicabut atau dibatalkan dan masih berlaku sampai detik ini.
Kalau pakar tatanegara membantah, tunjukan bukti kapan UUD 1945 hasil dekrit presiden 5 Juli 1959 dibatalkan dan tidak berlaku lagi.
Jikalau UUD nya bermasalah maka keputusan hakim boleh jadi sesuai dengan UUD 2002 yang tidak sah. Kalau sudah begitu bagaimana menunjukan sah dan tidaknya kepastian hukum jika diletakan pada UUD 2002 yang tidak sah?
Jadi ada dua UUD yaitu UUD 1945 hasil dekrit presiden 5 Juli 1959 dan UUD 2002 dimana kepastian hukum di negeri berdasarkan hukum ini?@
*) Ketua Pusat Studi Kajian Rumah Pancasila